Negara Darurat Mafia; Presiden Harus Memprioritaskan Pembersihan Institusi Hukum
Negara saat ini sedang dalam kondisi ”darurat mafia hukum”. Buktinya, praktik mafia hukum merasuki seluruh institusi penegak hukum. Ironisnya, hingga saat ini belum ada komitmen pemerintah untuk membersihkan institusi penegak hukumnya.
Demikian dikemukakan Koalisi Masyarakat Sipil di Jakarta, Minggu (18/4), menyikapi proses hukum yang tak kunjung tuntas di institusi penegak hukum.
Beberapa aktivis koalisi yang menyampaikan pernyataan sikap itu, antara lain, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Indonesia Corruption Watch Febri Diansyah; pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar; Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane; aktivis Imparsial, Pungky Indrawati; serta advokat Taufik Basari.
Koalisi memandang, kasus pegawai pajak, Gayus HP Tambunan, yang menyeret sejumlah penegak hukum di kepolisian, kejaksaan, Direktorat Jenderal Pajak, advokat, serta hakim masih disikapi secara parsial. Penegakan hukum hanya menyentuh orang-orang yang terlibat.
Presiden, sebagai pimpinan sejumlah lembaga yang terkait skandal hukum, menurut Koalisi, seharusnya memprioritaskan pembersihan institusi penegak hukum, termasuk mengganti struktur kepemimpinan di kepolisian dan kejaksaan. Presiden juga perlu mengevaluasi reformasi birokrasi dan segera menyusun regulasi pembuktian terbalik pada institusi penegak hukum.
Sanksi hakim
Selain Presiden, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial juga didesak untuk mengevaluasi sistem pengawasan dan pemberian sanksi terhadap hakim yang masih lemah. Komisi Pemberantasan Korupsi juga diminta memimpin pemberantasan mafia hukum di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat. Organisasi advokat juga perlu proaktif melawan praktik mafia hukum dan tidak membela anggotanya yang terlibat praktik mafia hukum.
”Masalah mafia hukum pada kasus Gayus, Bahasyim Assifie, dan Sjahril Djohan bukan masalah personal yang melibatkan oknum. Ini persoalan mendasar pada institusi penegak hukum yang memerlukan pembersihan secara institusional, bukan kasus per kasus,” kata Febri.
Bambang menilai, kepolisian masih ambivalen dalam membongkar mafia hukum di lembaganya. Mereka membentuk tim independen yang justru beranggotakan polisi, bukannya akademisi atau pihak dari luar.
”Seharusnya Susno Duadji (mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri) yang mengungkapkan kasus ini diperiksa dulu, tetapi ini malah tersangka dulu yang diperiksa. Penindakan (di kepolisian) baru menyentuh pangkat yang rendah, yang gede belum tersentuh,” katanya.
Neta S Pane mengungkapkan, makelar kasus hanya sebagian kecil dari praktik mafia hukum yang terjadi di kepolisian. Di luar itu, antara lain, masih ada makelar jabatan dan makelar proyek. (why)
Sumber: Kompas, 19 April 2010