Negara Minus Pelayanan Publik
"Kenapa Blackberry memilih Malaysia untuk lokasi anak perusahannya ketimbang Indonesia, yang menjadi target pasar terbesarnya di Asia Tenggara?"
HINGGA sekarang Indonesia selalu bermasalah dalam urusan pelayanan publik dan etika. Pelayanan publik kita tak ubahnya karet yang bisa dipelintir dan dipintal ke sana kemari menurut obsesi dan kepentingan masing-masing pejabat di dalamnya. Padahal pelayanan publik menjadi ukuran bagi proses dan mekanisme birokrasi yang langsung berhubungan dengan rakyat ataupun pihak-pihak lain dengan kepentingan yang luas atas nama lembaga di bawah institusi negara.
Ketika suatu negara dan bangsa sudah tidak memegang prinsip dan asas etika dan pelayanan publik, sudah pasti hal-hal terkait dengan mekanisme birokrasi baik di sektor publik (pemerintahan) maupun swasta akan membusuk karena rawan penyelewengan. Akibatnya, integritas negara runtuh di mata bangsa dan negara lain karena siapa pun akan ogah berurusan dengan institusi yang tidak memegang asas etika pelayanan yang benar.
Lihat misalnya, kenapa Blackberry memilih Malaysia untuk lokasi anak perusahannya ketimbang Indonesia, sementara kita hanya menjadi target pasar terbesarnya di Asia Tenggara? Faktor kemudahan dan keamanan berinvestasi menjadi pertimbangan absolut bagi investor dalam mengembangkan bisnisnya. Kita harus menerima kenyataan pahit ini jika akhirnya RIM, produsen Blackberry, membuka cabang di Malaysia karena kondisi kemudahan dan keamanan berinvestasi.
Indonesia masih menjadi momok bagi investor asing karena kondisi internal negara yang sangat amburadul, terutama tentang kepastian hukum yang belum bisa diandalkan dan berakibat kepada pelemahan layanan publik. Kita harus buka mata bahwa pelayanan publik di Indonesia masih rentan dengan suap, transaksi gelap, pungutan liar di hampir semua lini birokrasi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang berakibat kepada perilaku korupsi. Sementara hukum yang menjadi andalan sudah diamputasi dengan praktik-praktik busuk juga.
Amburadulnya etika dan pelayanan publik kita disebabkan karena jebakan-jebakan politik kekuasaan yang sarat kepentingan, impunitas hukum, dan mafia-mafia yang bermain di dalamnya sehingga urusan pelayanan publik pun menjadi korban nyata dari perilaku busuk politikus dan birokrat. Pihak-pihak seperti parpol, penguasa, pengusaha, dan wakil rakyat (DPR) yang terlibat dalam konflik kepentingan telah menjebak kasus-kasus korupsi yang belum tuntas dan penuh kejanggalan.
Etika Publik
Kita bisa berkaca pada belum tuntasnya dan munculnya kasus mafia pajak Gayus Tambunan, Antasari Azhar, Susno Duadji, Bank Century, korupsi proyek wisma atlet SEA Games, atau terbaru masalah suap di Kemnakertrans. Kasus-kasus besar tersebut dikelola secara sistematis sehingga menjadi jaringan mafia yang sangat sulit dibongkar.
Jalan keluar dari gurita pelayanan publik ini dibutuhkan suatu prinsip etika yang aplikatif, membumi dan dijaga seksama. Tekanan etika yang diletakkan pada aspek reflektif dalam upaya mencari bagaimana bertindak (bukan hanya pada masalah kepatuhan pada norma. Etika publik fokus ke dalam tiga bagian. Pertama; pelayanan publik berkualitas dan relevan. Artinya, kebijakan publik harus responsif dan mengutamakan kepentingan publik.
Kedua; fokus refleksi karena tak hanya menyusun kode etik atau norma, etika publik membantu mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etis. Dua fungsi ini menciptakan budaya etika dalam organisasi dan membantu integritas pejabat publik. Ketiga; modalitas etika: bagaimana menjembatani norma moral dan tindakan. Ketiga fokus itu mencegah konflik kepentingan.
Maka dari itu, operasionalisasi etika publik merujuk kepada modalitas etika, yaitu bagaimana menjembatani antara norma moral (apa yang seharusnya dilakukan) dan tindakan faktual. Modalitas sering didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu hal bekerja atau berfungsi atau tindakan khusus yang digunakan untuk mencapai tujuan, atau struktur yang mengorganisasi tindakan. Modalitas menjadi kekuatan dalam membentuk dan mengarahkan interaksi sosial dan sekaligus syarat atau prosedur di setiap perubahan mendasar. (10)
Bje Soejibto, pemerhati sosial dan politik, tinggal di Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 15 September 2011