Negara Oknum
KETIKA menutup rapat paripurna DPR, 3 Maret lalu, Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, kesimpulan dewan yang memilih opsi C (kebijakan bailout Bank Century dan implementasinya bermasalah) merupakan kemenangan rakyat. DPR telah menjalankan amanat rakyat dengan sebaik-baiknya.
Sungguhkah rakyat menang dalam skandal yang telah menyita perhatian banyak kalangan dan menghebohkan itu? Kalau benar, logikanya akan ada pihak-pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab karena kesalahan mereka dalam skandal tersebut. Tapi, tampaknya, peluang untuk terwujudnya hal itu sangat kecil. Mengingat, Presiden SBY segera menanggapi kesimpulan rapat paripurna DPR tersebut justru dengan substansi yang berlawanan.
Benarlah. Sebab, ternyata KPK -yang harus menindaklanjuti rekomendasi DPR secara hukum- telah memilih ''menyerah'' dengan melaporkan ''tidak ditemukan adanya penyimpangan'' dalam skandal Century ketika rapat dengar pendapat dengan DPR. Sementara itu, pemerintah sejak awal terlihat tak punya kemauan politik untuk menyelesaikan skandal tersebut. Terkesan ada hal-hal yang ingin ditutup-tutupi, sehingga Sri Mulyani -yang menjadi pintu masuk untuk mengungkap tuntas skandal itu- harus ''diamankan''.
Begitulah. Keadilan semakin jauh dari harapan karena kebenaran memang sudah (secara sengaja) ditinggalkan. Inilah negara yang dipimpin para penyamun yang tak peduli bahwa uang rakyat dan uang negara di dalam bank sakit itu harus diselamatkan sekuat tenaga. Yang penting, bagi para penyamun itu, mereka selamat dan kekuasaan dapat dipertahankan.
Boleh jadi, inilah tanda-tanda yang menunjukkan kecenderungan kegagalan sebuah negara yang sedang mengalami transisi. Sudah sepuluh tahun agenda demi agenda reformasi berjalan. Tapi, situasi dan kondisinya masih begini-begini saja -kalau tak mau dibilang lebih buruk daripada era sebelumnya.
Tidak ada visi yang jelas dan nilai-nilai luhur yang menjadi landasan etik pengelolaan negara ini pasca-1998. Itulah faktor utama yang menjadi penyebab. Hal tersebut terbukti, antara lain, dalam nepotisme dan despotisme yang kini semakin mewarnai perpolitikan Indonesia, baik di aras nasional mauun lokal.
Kegairahan berpolitik memang meningkat. Namun, orientasinya kapitalistis, bukan kesejahteraan rakyat. Sebab, politik kini semakin dipandang sebagai pekerjaan, bukan panggilan. Karena itu, alih-alih rasa bertanggung jawab dan kerelaan melayani rakyat, yang ada di sanubari politisi itu adalah nafsu mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
Begitulah politik picik yang identik dengan kepentingan dan karena itu selalu kalkulatif. Sangat berbeda dengan politik dalam pandangan Johanes Leimena (1905-1977) yang pernah menjadi menteri kesehatan dan menteri sosial, bahkan lima kali menjadi wakil perdana menteri dan tujuh kali memegang fungsi pejabat presidan RI era Soekarno. Secara keseluruhan, Leimena telah 18 kali menjadi menteri dalam rentang 20 tahun. Lazimnya, makin lama seseorang berkuasa, makin lupa diri dan koruplah orang itu.
Tapi, apa pandangan Leimena tentang politik dan kekuasaan? Politik adalah alat untuk melayani, sedangkan kekuasaan harus betul-betul didayagunakan sebagai alat demi mewujudkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat, bangsa, serta negara. Dengan demikian, kekuasaan tak semata berorientasi pada kepentingan praktis, melainkan alat belaka untuk melayani.
Apa yang dimaknai dan dihayati Leimena dalam berpolitik sebenarnya juga tecermin dalam sumpah para pemimpin lembaga-lembaga negara itu ketika mereka dilantik. Intinya menyatakan: (1) Akan memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945. 2) Akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kehidupan demokrasi dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.
Itulah yang seharusnya disikapi dan dilaksanakan secara konsisten oleh para pemimpin tersebut. Persoalannya adalah mereka pemimpin sejati atau bukan? Jika pemimpin sejati, hanya kebenaran dan keadilanlah yang mereka perjuangkan. Hanya hukumlah yang mereka taati. Hanya rakyat, bangsa, dan negaralah yang mereka layani.
Sebaliknya, jika mereka cuma pemimpin jadi-jadian, rakyat, bangsa, dan negara justru merupakan alat di tangan mereka demi melayani kapital dan kekuasaan. Sebab, hanya dua hal itulah orientasi sekaligus tujuan mereka: mengakumulasi kapital dan mempertahankan bahkan memperbesar kekuasaan.
Terkait skandal Century, kita khawatir akhirnya semua hiruk-pikuk yang berujung opsi C di DPR beberapa bulan silam itu berlalu dan terlupakan begitu saja tanpa ada pihak-pihak yang dituntut bertanggung jawab sesuai hukum. Indonesia akan menambah catatan tentang sebuah negara hukum dengan banyak pelanggaran yang tidak disertai hukuman bagi para pelanggarnya. Indonesia niscaya semakin mengukuhkan diri sebagai ''negara oknum'', tempat orang-orang yang bersalah selalu berhasil lolos dari jerat hukum karena jejaring kekuasaan dan atau kapital yang mereka miliki.
Sekali lagi, benarkah opsi C yang direkomendasikan DPR beberapa bulan silam merupakan kemenangan rakyat? Tidak. Sebab, pertama, masih banyak rakyat -yang pernah menanam uangnya di Bank Century- yang hingga kini masih menjerit pilu dan menuntut uangnya dikembalikan.
Kedua, kebijakan dan implementasi kebijakan yang salah dalam skandal itu, bagaimanapun, harus diganjar dengan hukuman setimpal bagi pihak-pihak terkait. Apa dan bagaimana hukumannya, itulah yang tak bisa kita jawab hingga kini.
Di Amerika Serikat, pada 2009, pernah mencuat kasus Bernard Madoff, pelaku penipuan atas dana-dana investasi USD 150 miliar. Diputus bersalah oleh pengadilan, dia akhirnya divonis penjara hingga 150 tahun.
Di Indonesia, harapan seperti itu mungkin terlalu jauh dari kenyataan. (*)
Victor Silaen, d oktor ilmu politik UI, dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 18 Juni 2010