Oknum Tidak Takut (OTT)
Rekor tangkap tangan yang digoreskan KPK hingga September tahun 2017 sudah mencapai 17 operasi. Tak dapat dimungkiri, di awal pemberitaan operasi tangkap tangan (OTT) seperti pada kasus yang melibatkan Mulyana WK atau Artalita, publik bersukacita bahwa koruptor yang sebelumnya dianggap untouchable dapat dijadikan pesakitan.
Gelombang operasi tangkap tangan yang dilakukan pada tahun-tahun awal KPK selalu menarik disimak. Akan tetapi, suguhan tontonan operasi dalam sebulan terakhir seharusnya membuat publik sedih. Mengapa? Ternyata oknum, baik penyelenggara negara maupun mitra usaha, yang terlibat tidak merasa gentar alias tak ada efek jera, sesuatu yang diharapkan muncul di awal operasi dilaksanakan.
Oknum dan OTT
Harus diakui jika pemeo yang muncul di publik menyikapi tertangkapnya sang oknum dengan pemahaman "sedang sial" atau "kurang sesajen". Penyikapan ini menunjukkan bahwa dampak efek jera dari operasi tidak terjadi. Bagaimana mungkin hal ini termanifestasi?
Jika merunut formula bahwa terjadinya korupsi disebabkan atau didorong oleh pemahaman akan keuntungan besar (high profit), yang diperoleh dengan risiko kecil (low risk) dan sumber daya yang dikeluarkan (relatif) kecil (low budget). Karenanya, operasi yang berjalan secara sporadis dan "musiman" belum membuat risiko menjadi lebih besar alias para pelaku tidak merasa rentan atau terancam.
Beberapa pihak kemudian mengusulkan hukuman perlu diperberat agar timbul efek jera. Referensi yang kerap dijadikan acuan adalah hukuman mati di China yang diyakini dapat meredam korupsi. Atau, hukuman pencabutan hak politik dan pemiskinan koruptor yang lazim digunakan di negara-negara Eropa Timur pascaruntuhnya tembok Berlin. Upaya spartan KPK dalam melakukan penegakan hukum maupun pencegahan korupsi sudah dilakukan secara maksimal. Hanya, harus diakui jika para koruptor tidak merasakan efek jera dari serangkaian OTT. Hukuman berlapis, aset dan kekayaan disita serta hak politik dibekukan koruptor masih jauh dari jera.
Belum munculnya efek jera disebabkan penindakan masih dalam skala terbatas dan dilakukan secara sporadis. Karena banyaknya oknum maka operasi tangkap tangan hanya mampu menangkap segelintir. Tanpa mengubah sistem insentif (godaan), peluang serta penegakan hukum yang terbatas dan terkadang kendur membuat efek jera tidak kunjung muncul. Perombakan sistem penyelenggaraan negara secara masif dan sistematis sangat mendesak dilakukan. Sudah waktunya dilakukan "turun mesin" sistem pemerintahan sehingga secara drastis mengubah korupsi tindakan tidak menguntungkan (no profit), berisiko (high risk), memerlukan sumber daya besar (high budget), dan hukuman pasti akan diterima jika melakukannya.
Menangkal Korupsi
Pendekatan pemberantasan korupsi kerap menggunakan pendekatan moral di mana seseorang dianggap menyimpang dari ketentuan atau norma akibat lemahnya moralitas. Korupsi seyogianya dipandang sebagai rangkaian kejahatan terorganisasi dengan motif dan modus tidak sebatas memperkaya diri sendiri. Penguatan moral individu atau nilai-nilai keluarga penting, tetapi luput dalam menempatkan korupsi sebagai bagian integral dalam membangun fondasi kekuasaan politik dan ekonomi. Perspektif demikian melampaui pemahaman yang memandang korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan untuk mengeruk finansial, apalagi menyederhanakan sebagai masalah moral(itas) saja.
Lantas, bagaimana menangkal korupsi? Harus diakui, di Indonesia, perbaikan representasi politik dalam memerangi korupsi belum dicoba. Pada negara-negara di mana sistem politik mengalami transformasi, upaya pemberantasan korupsi bergandengan tangan dengan gerakan politik baru (new politics). Pemberian "moratorium" bagi para penyelenggara "negara" yang terlibat dalam kejahatan politik/ekonomi semasa rezim sebelumnya atau dikenal dengan Lustration law, dimungkinkan karena adanya kolaborasi antara kelompok masyarakat sipil dan kelompok politik. Lustration law ini membatasi ruang gerak pelaku di masa lalu agar tidak mempunyai kewenangan dan peluang melakukan penyelewengan kekuasaan.
Contoh lainnya dari New Delhi, India, di mana gerakan India Against Corruption (IAC) bermetamorfosis menjadi partai politik AAP (Aam Aadmi Party) dan mengusung gagasan serta praktik "politik baru". AAP mengawinkan platform pemberantasan korupsi dengan rights movement melalui pendekatan partisipatif. Hasilnya sungguh mencengangkan di mana pada pemilu New Delhi tahun 2015 lalu, AAP memenangi 67 dari 70 kursi parlemen kota tersebut. Dengan menguasai hampir seluruh kursi parlemen, AAP kemudian membentuk pemerintahan daerah sendiri. Dengan kekuasaan mayoritas, AAP dapat dengan leluasa mengatur anggaran, menjalankan program dan memberikan layanan publik tanpa embel-embel korupsi. Korupsi yang merupakan wajah politik India, kini berkurang secara drastis.
Menyerahkan pemberantasan korupsi kepada KPK semata justru akan memperlambat penurunan tingkat korupsi. Yang muncul justru KPK dikeroyok oleh pihak-pihak yang selama ini terganggu dengan penegakan hukum yang dilakukan. Kita memerlukan inisiatif lain, baik pembenahan sistem secara menyeluruh dan mendasar atau mencoba pendekatan APP di India. Pendekatan baru ini diperlukan agar para koruptor terbatasi ruang gerak, peluang, dan ujungnya menjadi kapok.(zik)
Luky Djani, Peneliti Institute for Strategic Initiative
-----------------
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, Jum'at, 29 September 2017