Ongkos Haji 2009M/1430H Kental Manipulasi dan Korupsi
Ongkos Haji 2009M/1430H “Kental Manipulasi dan Korupsi” begitulah menurut Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) disela-sela paparan tentang BPIH di kantor ICW (17/6). Sebelumnya ia mendengar kabar bahwa pada 15 Juni 2009 merupakan finalisasi keputusan ongkos haji atau yang biasa disebut dengan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH). Dalam finalisasi tersebut Departemen Agama dan komisi VIII DPR telah menyepakati besaran BPIH 2009. Kedua lembaga negara tersebut sepakat bahwa ada kenaikan sebesar --dalam komponen dolar-- US$ 38 dari US$ 3.388 menjadi US$3.426 dan penurunan --dalam komponen rupiah-- Rp 401.000 dari Rp 501.000,00 menjadi Rp 100.000,00. Jika dilihat dengan sepintas memang tidak terjadi kenaikan BPIH tahun 2009 dibanding tahun 2008.
Dalam hal ini, komponen yang mengalami kenaikan versi kedua lembaga tersebut yang pertama masalah pemondokan baik di Mekkah maupun di Madinah, biaya komsumsi, dan yang terakhir biaya tidak langsung (Indirect Cost). Analisis Firdaus pertama mengangkat pemondokan Mekkah, dalam versi depag terjadinya kenaikan pemondokan di mekkah berkisar sebesar 2.577 real Saudi Arabia (SAR) dengan komposisi ring satu sebanyak 116 rumah dengan kapasitas 52.408 orang (26,39%), kemudian ring dua dan tiga sebanyak 290 rumah dengan kapasitas 142.869 orang (71,96%) dengan harga rerata SAR 2.414 tanpa merinci lebih jelas kualitas pemondokan tersebut. Menanggapi hal tersebut Firdaus menambahkan bahwa kontrak pemondokan sudah selesai pada bulan april 2009 maka seharusnya rerata harga pemondokan hanya sekitar SAR 2.000 bukan SAR 2.577. Terlepas dari itu jika harga yang ditawarkan depag benar yang mana rata-rata ring satu SAR 2.929 dengan kapasitas 26,39% dan harga rata-rata ring dua serta tiga adalah SAR 2.414 dengan kapasitas 71,96%, maka seharusnya harga rerata pemondokan di Mekkah adalah SAR 2.549,9 bukannya SAR 2.577. Dengan kata lain adanya selisih sebesar SAR 27,1 per calon Haji atau untuk keseluruhan 190.000 jamaah regular selisihnya sebesar SAR 5.147.385 (US$ 1.374.469). Jadi kesimpulannya adanya Mark Up rencana biaya komponen pemondokan di Mekkah untuk tahun 2009 sebesar US$ 1.374.469 atau Rp 14,431 miliar. Kedua pemondokan Madinah, Depag mengatakan untuk pemondokan di Madinah terjadi kenaikan dari SAR 500 menjadi SAR 600 untuk daerah wilayah Markaziah dan kenaikan dari SAR 400 menjadi SAR 500 untuk wilayah non Markaziah. Dengan demikian, kenaikan rerata pemondokan di Madinah adalah SAR 575. Berdasarkan audit BPK pada 25 febuari 2009 harga sewa pemondokan di madinah sudah memiliki standar harga tetap berbeda dengan mekkah yang cenderung berubah-ubah, yakni SAR 500 untuk markaziah dan SAR 400 untuk non markaziah. Dengan kata lain, terjadinya selisih (mark up) dalam rencana biaya pemondokan di madinah sebesar SAR 100 per Jamaah atau untuk 190.000 jamaah regular sebesar SAR 190.000 atau setara dengan Rp. 53,271 miliar. Ketiga, depag menyatakan bahwa terjadi kenaikan harga pokok di Arab Saudi sehingga biaya konsumsi terjadi kenaikan sebesar SAR 1 dari SAR 7 menjadi SAR 8 (diluar konsumsi Armina) dan total perjamaah sebesar SAR 50. Dalam hal ini, seandainya benar terjadi kenaikan biaya konsumsi sebesar SAR 1 perjamaah maka total biaya yang dikeluarkan adalah makan di Arminah 16 kali dengan SAR 200 dan makan di madinah, masa transit di Jeddah, Airport , dan lain-lain sebesar SAR 176 dengan asumsi 22 kali makan, kemudian total biaya makan selama haji SAR 376. Perhitungan ini seharusnya kenaikan biaya makan perjamaah sebesar SAR 22 dan bukannya SAR 50. Dengan kata lain terjadi mark up sebesar SAR 28 perjamaah atau dengan 190.000 jamaah regular, maka mempunyai total SAR 5.320.000 atau setara dengan 14,915 miliar.
Kemudian yang terakhir merupakan komponen biaya tidak langsung (indirect cost), versi depag menyatakan bahwa total biaya tidak langsung (di Indonesia dan Arab Saudi) sebesar Rp. 778.274.580.458 (Rp. 778,275 miliar) atau apabila dibagi perjamaah regular 190.000 dan khusus 205.000 orang akan dikenai sebesar Rp 3,796 juta. Berdasarkan laporan realisasi BPIH 2005-2007 hasil audit BPK dan hasil 2008 (unaudited) maka dapat diketahui pada tahun 1426 H atau 2005 sebesar Rp 139,913 miliar (Rp. 628.506 per jamaah), pada tahun 1427 H atau 2006 sebesar Rp. 84,832 miliar (Rp. 413.816 per jamaah). Pada tahun 2006 ini terlihat lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya karena adanya subsidi dari APBN. Pada tahun 2007 atau 1428 H maka sebesar Rp. 234,910 miliar (Rp. 1.145.904 per jamaah) dan perkiraan pada tahun 2008 (unadited) oleh BPK diperkirakan tidak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya karena total biaya operasional haji 1429 H lebih rendah 6% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika kita mengacu pada hal diatas maka pada tahun 2009 kenaikan realistis total biaya tidak langsung (indirect cost) tidak melebihi Rp 300 miliar sedangkan departemen agama menyatakan komponen biaya tidak langsung sebesar Rp. 778, 274 miliar. Dengan demikian, terjadi lagi adanya mark up dalam rencana biaya tersebut.
Banyaknya indikasi modus operandi mark up dalam ongkos haji ini tidak terlepas dari “monopoli” departemen dalam mengerjakan mulai dari rencana, implementasinya, bahkan evaluasinya pun dari departemen itu sendiri sehingga penyusunan dan penyelenggaraan BPIH ini tidak memenuhi kaidah transparansi dan akuntabilitas publik. Dan juga layanan haji selama ini cenderung tidak mementingkan calon jamaah haji terkait dengan kualitas pelayanan dan efisiensi biaya. Dengan demikian, BPIH tahun ini seharusnya diturunkan sebesar US$584,1 per jamaah dengan asumsi ICP (harga minyak mentah) US$ 70. Dalam hal ini, Presiden SBY seharusnya memerintahkan kepada Departemen Agama untuk meminta kajian ulang per komponen yang naik yang melibatkan masyarakat sehingga asas-asas transparansi dan akuntabilitas akan terpenuhi. Ghali-Abid
{mospagebreak title=Analisis Kasus oleh ICW}
Mewaspadai Korupsi Ongkos Haji 2009M/1430H
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji menyatakan bahwa ibadah haji diselenggarakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba. Tujuannya untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jemaah haji sehingga jemaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam.
Tapi dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan ibadah haji tiap tahun cenderung tertutup dan tidak akuntabel mulai dari penyusunan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), pengadaan-pengadaan peralatan dan perlengkapan haji, hingga penggunaan Dana Abadi Umat. Akibatnya biaya haji terus meningkat sedangkan pelayanan terus memburuk.
Masalah lain berkaitan dengan korupsi. Dalam rentang tahun 2002 hingga 2005 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan banyak penyimpangan yang berakibat negara dirugikan paling tidak senilai Rp. 700 milyar. Bahkan mantan Menteri Agama Said Agil Hussain Al-Munawar dan mantan Direktur jenderal bimbingan Islam dan penyelenggaran haji Taufiq Kamil divonis penjara. Keduanya terbukti melakukan praktek korupsi.
Secara umum ICW mencatat ada beberapa masalah berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji;
Dugaan Manipulasi BPIH tahun 2009/1430 H
Pada 15 Juni 2009 Departeman Agama dan Komisi VIII DPR telah menyepakati besaran (rerata) BPIH 2009 yaitu, kenaikan sebesar US$.38 (untuk komponen dollar) dari US$.3.388 (2008) menjadi US$.3.426, dan penurunan Rp.401.000 (komponen rupiah) dari Rp.501.000 (2008) menjadi Rp.100.000. Secara keseluruhan tidak terjadi kenaikan BPIH 2009 dibandingkan tahun 2008.
Akan tetapi, ICW menemukan kejanggalan dalam penghitungan beberapa komponen ongkos haji (BPIH) yang diklaim naik oleh depag-DPR. Antara lain, pemondokan di Mekkah, pemondokan di Madinah, biaya konsumsi, serta komponen indirect cost (biaya tidak langsung)
Pertama, berkaitan dengan biaya pemondokan di Mekkah. Menurut penghitungan Depag dan DPR mengalami kenaikan rerata sebesar SAR.2.577. Rinciannya, ring satu sebanyak 116 rumah dengan kapasitas 52.408 orang (26,39%) harga sewa-nya rerata sebesar SAR.2.929, ring dua dan tiga sebanyak 290 rumah dengan kapasitas 1.428.869 orang (71,95%) dengan harga sewa rerata SAR.2.414. Total rumah yang disewa adalah 406 rumah dengan kapasitas 195.277 orang.
Tapi berdasarkan hasil analisis ICW, jika depag-DPR mengklaim bahwa kontrak pemodokan sudah selesai pada bulan april 2009 mestinya rerata harga pemondokan hanya sekitar SAR.2.000 bukan SAR.2.577. Selain itu, apabila diasumsikan harga sewa versi depag adalah benar, dimana harga rata-rata ring satu adalah SAR.2.929 dengan kapasitas 26,39% dan harga rata-rata ring dua dan tiga adalah SAR.2.414 dengan kapasitas 71,95%, maka seharusnya harga rerata pemodokan di Makkah adalah SAR.2.549,9 bukannya SAR.2.577. Dengan kata lain terjadi selisih (dugaan mark-up) sebesar SAR.27,1/jamaah atau untuk keseluruhan 190.000 jamaah reguler selisihnya (dugaan mark-up) sebesar SAR.5.147.385 (US$.1.374.469).
Kedua, berkaitan dengan pemondokan di Madinah. depag dan DPR menyatakan terjadi kenaikan dari SAR.500 menjadi SAR.600 untuk wilayah Markaziah (naik SAR.100) dan kenaikan dari SAR.400 menjadi SAR.500 untuk wilayah non Markaziah. Komposisinya, wilayah Markaziah 75% dan Non Markaziah 25%. Total kenaikan rerata pemondokan di Madinah adalah SAR.575
Berdasarkan analisis ICW harga sewa pemondokan di Madinah sudah memiliki standar harga tetap berbeda dengan Mekkah yang fluktuatif (Audit BPK, 25 Feb 2009). Harganya SAR.500 (Markaziah) dan SAR.400 (Non Markaziah). Itu sebabnya harga rerata sewa pemondokan di madinah semestinya adalah SAR.475. ICW menduga telah terjadi mark-up dalam rencana biaya pemodokan di madinah sebesar SAR.100/jamaah atau untuk 190.000 jamaah reguler sebesar SAR.19.000.000 atau setara Rp.53,271 miliar
Ketiga, biaya konsumsi. Depag dan DPR menyatakan bahwa terjadi kenaikan harga pokok di Arab Saudi sehingga biaya konsumsi terjadi kenaikan sebesar SAR.1 dari SAR.7 menjadi SAR.8 (diluar konsumsi Armina). Total kenaikan konsumsi perjamaah sebesar SAR.50
Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis ICW jika memang benar terjadi kenaikan biaya konsumsi sebesar SAR.1/jamaah maka total biaya konsumi adalah: makan di Armina 16 kali dengan nilai SAR.200, makan di Madinah, masa transit di jeddah, airport, dll sebayak 22 kali = 22 X SAR.8 = SAR.176. Total biaya makan jamaah selama haji SAR.376. Seharusnya kenaikan biaya makan perjamaah sebesar SAR.22 dan bukannya SAR.50, atau terjadi selisih ( dugaan mark-up) sebesar SAR.28/jamaah
Keempat, komponen Indirect Cost (biaya tidak langsung). Menurut depag dan DPR total komponen (Indonesia dan Arab Saudi) sebesar Rp.778.274.580.458. Apabila di bagi rerata perjamaah reguler dan khusus (205.000 orang) sebesar Rp.3,796 juta/jamaah.
Sedangkan berdasarkan analisis ICW yang merujuk laporan realisasi BPIH 2005-2007 hasil audit BPK dan 2008 (unaudited), maka diketahui; realisasi indirect cost tahun haji 1426H adalah Rp.139,913 miliar (Rp.682.506/jamaah), realisasi indirect cost tahun haji 1427H adalah Rp.84,832 milair (Rp.413.816/jamaah), realisasi indirect cost tahun haji 1428H adalah Rp.234,910 miliar (Rp.1.145.904/jamaah), perkiraan realisasi indirect cost tahun haji 1429H adalah tidak berbeda jauh dengan tahun 1428H sekitar Rp.234,910 miliar (karena total biaya operasional haji 1430 H lebih rendah 6% dibandingkan tahun 1429H)
Karena itu, untuk tahun haji 1430H/2009M, jika diasumsikan terjadi kenaikan komponen indirect cost maka realistisnya tidak akan melebihi Rp.300 miliar. Sementara itu depag menyatakan total biaya komponen indirect cost tahun 1430H adalah Rp.778,274 miliar maka diindikasikan terjadi dugaab mark up rencana biaya indirect cost tahun haji 1430H sebesar Rp.478,274 miliar.
Selain empat faktor di atas, berkaitan dengan penurunan harga minyak dunia, biaya penerbangan yang menjadi komponen terbesar dalam penyelenggaraan ibadah haji semestinya turun. Berdasarkan simulasi ICW pada rata-rata biaya minyak US$ 70 biaya penerbangan sebesar US$ 1.444, biaya minyak US$ 80 biaya penerbangan sebesar US$ 1.650, biaya minyak US$ 90 biaya penerbangan sebesar US$ 1.856, serta biaya minyak US$ 100 biaya penerbangan sebesar US$ 2.062.
Dalam penghitungan ICW, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji 2009/1430 H semestinya lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Rata-rata penurunan sebesar 17,18 persen atau sebanyak US$ 584 atau Rp.5,8 juta dengan kurs Rp. 10.000.
Dugaan Korupsi Haji
Dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2005 dan 2006, Indonesia Corruption Watch menemukan dugaan korupsi meliputi penggunaan Dana Abadi Umat untuk talangan katering USD 6.456.912, saldo BPIH luar negeri tidak dimasukan dalam DAU senilai USD.2.079.195, dan peminjaman dana BPIH untuk membayar penerbangan senilai USD. 2.400.000.
Selain itu, juga ditemukan aliran dana yang berasal dari BPIH dan DAU tahun 2004 dan 2005 kepada Menteri Agama Muhammad Maftuch Basyuni. Dana tersebut digunakan untuk membayar tunjangan dan kegiatan operasional menteri agama. Totalnya mencapai Rp.807.353.772.
Data terbaru yang ditemukan ICW adalah dugaan mark-up dalam BPIH tahun 2005, 2006, dan 2007 sebesar US$ 33.256.949 atau Rp. 332.569.000.000 (1 USD = Rp. 10.000). Komponen-komponen yang diduga dimark-up adalah penerbangan, living cost, general service (maslahat ammah), konsumsi Arafah-Mina (Armina), serta angkutan darat (naqobah).
Mengembalikan kelebihan ongkos perbangan tahun 2008/1429 H
Sewaktu BPIH tahun 2008/1429 H ditetapkan pada Mei dan Juni 2008, harga minyak dunia mencapai titik tertinggi, yaitu US$ 140/barel. Akan tetapi pada saat ibadah haji dilaksanakan, harga minyak dunia mencapai titik terendah, US$ 40/barel.
Berdasarkan hitungan ICW terdapat selisih biaya penerbangan akibat penurunan harga minyak dunia. Karena itu, terdapat biaya yang mesti dikembalikan kepada jemaah haji sebesar Rp. 1,278 triliun atau rata-rata tiap jemaah Rp.6,6 juta.
Mendorong reformasi penyelenggaraan ibadah haji
Terdapat masalah dalam kelembagaan dan pengelolaan terutama keuangan. Departemen agama memonopoli seluruh kegiatan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Mulai dari penyusunan aturan dan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi.
Model pengelolaan yang monopolistik diikuti dengan ketertutupan dalam perencanaan maupun penggunaan anggaran. Karena itu, penyelenggaraan haji kerap diwarnai oleh praktek korupsi. Sebagai contoh dalam rentang tahun 2002 hingga 2005, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan banyak penyimpangan yang berakibat negara dirugikan paling tidak senilai Rp. 700 milyar.
Padahal anggaran dalam penyelenggaraan ibadah haji sangat besar. Mulai dari setoran awal 817 ribu calon jemaah haji yang jumlahnya mencapai Rp. 17 triliun, dana efesiensi penyelenggaraan ibadah haji yang dimasukan dalam rekening Dana Abadi Umat, piutang-piutang kepada beberapa lembaga, serta saham di Bank Muamalat Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas ada beberapa kesimpulan dan rekomendasi yang kami sampaikan:
- Penyelenggaraan Ibadah haji adalah tugas “misi nasional” dan bagian dari layanan ummat pada Depag dan dikelola secara nirlaba,
- Penyusunan BPIH 2009/1430H tidak memenuhi kaidah transparansi dan akuntabilitas publik,
- Penyusunan BPIH dan penyelenggaran layanan haji tidak memperhatikan kepentingan jamaah terkait dengan kualitas layanan dan efisiensi biaya,
- Dengan memperhatikan aspek tersebut dan hasil perhitungan ICW per-komponen biaya haji, maka:
- BPIH tahun 2009/1430H seharusnya turun sebesar US$.584,1/jamaah (asumsi, ICP US$.70)
- Meminta Presiden tidak menyetujui usulan BPIH versi Depag dan DPR dan melakukan kajian ulang per-komponen biaya dengan melibatkan masyarakat,
- Meminta presiden untuk memerintahkan kepada Depag untuk mengembalikan kelebihan biaya haji 2008/1429H sebesar US$.130.783.576 (Rp.1.278.176.760.000) kepada jamaah,
- ICW bersedia “berdiskusi” dengan Depag dan Komisi VIII DPR dalam forum terbuka guna membahas BPIH 2009 (per-komponen)
- Mendorong reformasi penyelenggaraan ibadah haji, dengan memperbaiki kelembagaan dan pengelolaan keuangan haji, termasuk didalamnya meninjau ulang hak monopoli departemen agama.
Jakarta, 17 Juni 2009
Indonesia Corruption Watch