Ontran-Ontran Dunia Kepolisian
ONTRANontran mantan Kabareskim Polri Komjen Susno Duadji memang menarik. Banyak makelar kasus di Mabes Polri, begitu katanya. Negeri ini pun geger. Tetapi, sebagai perbandingan, perlu rasanya menengok dunia polisi lainnya.
Simak apa yang terjadi di Moskow, 5 Maret 2010. Hari itu cuaca dingin. Tetapi, ratusan aktivis Rusia berkumpul di pusat kota. Mereka berunjuk rasa menuntut pemerintah untuk merombak total lembaga kepolisian Rusia yang makin korup.
''Data Kementerian Dalam Negeri Rusia menyebutkan, tingkat kejahatan di korps kepolisian telah meningkat 20 persen dari tahun ke tahun. Sebuah jajak pendapat menunjukkan, 60 persen korban kejahatan tidak mau lapor kepada polisi,'' tulis Andrei Skvarsky di Global Voices Online, 8 Maret 2010.
Dalam sebuah potret yang sama kelabunya, Olga R. Rodriguez dan Julie Watson dari Associated Press melaporkan dari Meksiko akhir tahun lalu bahwa rendahnya gaji telah menyeret banyak polisi menjadi pelindung para pengedar obat bius. Begitu korupnya hingga Presiden Felipe Calderon mengerahkan tentara untuk memerangi para pengedar obat bius. Pasukan militer sering bentrok dengan anggota-anggota polisi. Pada 2009 saja, terjadi 63 kali insiden bersenjata antara tentara dan polisi.
Laporan polisi korup juga datang dari Australia, negeri yang relatif makmur dan maju. The Sydney Morning Herald melaporkan, 17 Agustus 2009, Polisi Federal Australia berencana menggunakan jebakan suap dan obat bius untuk menangkap para polisi yang korup.
Sejarah Kepolisian
Ontran-ontran Susno Duadji memang banyak menyedot perhatian. Entah bagaimana nanti titik akhirnya. Tetapi, untuk memahami dunia kepolisian, perlu juga rasanya sedikit menengok masa lalu lembaga kepolisian.
Pada abad ke-19, Mendagri Inggris Sir Robert Peel mengusulkan pembentukan satuan polisi beranggota 1.000 personel untuk meredam kriminalitas dan kekerasan yang melanda wilayah London. Begitu muncul, usul itu ditolak parlemen dan masyarakat Inggris. Bagi mereka, kata polisi (police) yang dipinjam dari bahasa Prancis mempunyai konotasi satuan polisi rahasia yang kejam. Setelah melalui perdebatan panjang, UU Polisi Metropolitan London -yang dikenal sebagai Scotland Yard- disetujui pada 1829. Sebagai kompromi politik, polisi itu tidak dipersenjatai.
Amerika Serikat, bekas koloni Inggris, mencangkok sistem Inggris. Perjalanan lembaga itu banyak tersandung-sandung. Arthur Nederhoffer, pengarang buku Behind The Shield: The Police in Urban Society, menulis bahwa profesi polisi di AS mengalami apa yang disebut ''Zaman Gelap'' hingga pada 1900. Para politikus menguasai berbagai departemen. Gaji polisi rendah dengan perlengkapan yang kurang memadai pula. Akibatnya, antara lain, meluasnya korupsi dan tindakan brutal.
Mulai abad ke-20, berbagai reformasi dilakukan. Setapak demi setapak profesi itu terangkat baik prestisenya sejalan dengan diterapkannya pemberian penghargaan berdasar prestasi. Peralatan polisi makin hari makin lengkap. Perwira-perwira polisi juga mendapatkan pendidikan tinggi.
Dalam kaitan ini, Polri juga tidak ketinggalan. Berbagai perubahan ke arah perbaikan terus dilakukan. Momentum baru diperoleh Polri sejalan dengan datangnya reformasi politik di Indonesia sejak 1998 dengan berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru. Polri pun dipisahkan dari ABRI (TNI) dan kembali pada habitat yang benar. Sebab, tugas-tugas polisi memang berbeda dari tugas militer.
Bagaimana membentuk lembaga kepolisian yang kuat dan penuh integritas? Para pakar, pejabat pemerintah, dan para perwira senior kepolisian tentunya lebih tahu jawabannya. Namun, sejarah kepolisian Hongkong sangat menarik disimak.
Sebagaimana ditulis The Standard, koran bisnis Hongkong, pada 1970-an, wilayah yang saat itu masih dikuasai Inggris tersebut terkenal sangat korup. Ada polukisan, petugas pemadam kebakaran yang minta uang pelicin dulu sebelum menyemprotkan air ke rumah yang terbakar. Petugas ambulans pun tak akan membawa pasien yang sakit parah bila belum diberi ''uang teh''. Jangan tanya polisi Hongkong. Sangat korup.
Ernest Hunt, mantan perwira polisi, mengatakan kepada Daily Express di London bahwa 95 persen polisi Hongkong saat itu korup. Adalah polisi sendiri sebenarnya yang menjalankan kejahatan di Hongkong! Dia sendiri mengaku selama karir mendapat suap 6 juta dolar Hongkong. Jumlah itu ''hanya sekuku jari dibanding teman-teman perwira polisi lainnya''.
Titik balik terjadi pada 8 Juni 1973, saat Kepala Polisi Wilayah Wanchai Peter Fitzroy Godber tiba-tiba pulang ke Inggris meninggalkan tugasnya. Padahal, dia akan dimintai keterangan setelah diketahui memiliki kekayaan jutaan dolar di rekening sejumlah negara.
Kegegeran meledak di tengah tuntutan warga Hongkong bagi penangkapan Godber dan pemberantasan korupsi.
Godber akhirnya dapat diseret ke pengadilan Hongkong dan diganjar hukuman 31 bulan, sedangkan rumahnya di Inggris disita. Namun, setelah bebas pada 1977, dia lenyap bersama jutaan dolar uangnya. Terakhir, Godber tinggal di Spanyol.
Tetapi, yang paling penting, kasus Godber memberikan peluang bagi Hongkong untuk memperbaiki diri. Komisi Independen Pemberantasan Korupsi (ICAC) yang dibentuk pada 15 Februari 1974 berkembang menjadi lembaga yang kuat dan penuh integritas. ICAC kini menjadi lembaga tempat belajar bagi banyak negara di dunia.
Lembaga Kepolisian Hongkong secara bertahap juga direformasi secara besar-besaran, termasuk melalui pemberian gaji anggota yang sangat memadai. Kepolisian Hongkong sekarang sangat percaya diri. ''It was a police force that continued to gain acceptance and trust from the public,'' begitu klaim situs lembaga tersebut dengan bangga. (*)
Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 14 April 2010