Orang Miskin Terbebani ; Survei ICW: Sekolah Tetap Tarik Berbagai Pungutan
Survei yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch di empat kota menunjukkan, kebijakan pemberian bantuan operasional sekolah gagal mewujudkan pendidikan dasar gratis untuk kaum miskin.
”Sekolah penerima dana bantuan operasional sekolah (BOS) tetap saja menarik berbagai macam pungutan, termasuk sejumlah komponen yang telah dibiayai melalui dana BOS,” kata aktivis ICW Ade Irawan, Kamis (27/10), saat menyampaikan laporan hasil survei tersebut.
Bersama aktivis ICW lainnya, Luki Djani dan Febri Hendri, Ade mengungkapkan bahwa survei dilakukan di Jakarta, Kupang, Semarang, dan Garut, melibatkan 1.500 responden orangtua yang menyekolahkan anaknya di SD negeri, yang dipilih secara acak.
Pascapemberian BOS, kata Ade Irawan, sekolah masih mengambil pungutan untuk lembar kerja siswa (LKS) dan buku paket, uang SPP/komite sekolah tiap bulan, uang pendaftaran dan bangunan, uang ujian, dan sejumlah pungutan lain. Padahal, pungutan tersebut adalah komponen yang dilarang dalam petunjuk pelaksanaan pemberian BOS.
Untuk siswa kelas I SD, orangtua rata-rata dibebani uang pendaftaran Rp 206.225, uang LKS dan buku paket Rp 205.673, uang study tour Rp 191.342, dan uang SPP/komite sekolah Rp 187.570. Selama setahun orangtua membayar tidak kurang dari Rp 1.515.740, jauh lebih besar dari dana BOS sebesar Rp 235.000 per siswa per tahun.
Biaya yang harus dibayarkan itu belum termasuk biaya tidak langsung, rata-rata sebesar Rp 1.949.056 per anak per tahun. Dana tidak langsung terbesar yang dikeluarkan orangtua murid adalah biaya transportasi.
”Padahal survei dilakukan sebelum kenaikan BBM terakhir,” kata Luki menambahkan.
Kurang sosialisasi
Dalam survei tersebut juga terungkap minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun sekolah. Sebagian besar orangtua murid, kata Luki, memperoleh informasi tentang BOS dari media massa. Sementara media massa tidak termasuk sebagai instrumen yang dipergunakan pemerintah untuk menyosialisasikan program BOS.
Sejumlah 69,2 persen responden tidak mengetahui tentang kebijakan BOS dan hanya sebagian kecil yang menyatakan mengetahui dana BOS untuk siswa SD Rp 235.000 per anak per tahun.
Menurut Luki, pungutan-pungutan yang dilakukan sekolah sebagian merupakan pungutan yang tidak terhindarkan karena dana alokasi BOS memang tidak mencukupi untuk pembiayaan sekolah. Luki berpendapat, kebijakan BOS bisa saja dilanjutkan asalkan dilakukan penguatan di sana-sini dan pengelolaannya di tingkat sekolah lebih terbuka dengan melibatkan masyarakat.
Ade menekankan perlunya transparansi pengelolaan keuangan sekolah. Ketertutupan perencanaan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) memungkinkan kepala sekolah melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan BOS. (wis)
sumber: Kompas, 28 Oktober 2005