Orang-Orang di Balik Kegarangan KPK Memerangi Korupsi

Setingkat Eselon I, Uang Saku Hanya Rp 75 Ribu Per Hari
Tak mudah menjadi anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mereka harus tahan terhadap berbagai godaan, terutama terkait dengan uang. Bagaimana kehidupan sehari-hari para figur yang berkiprah di lembaga itu?

Setingkat Eselon I, Uang Saku Hanya Rp 75 Ribu Per Hari
Tak mudah menjadi anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mereka harus tahan terhadap berbagai godaan, terutama terkait dengan uang. Bagaimana kehidupan sehari-hari para figur yang berkiprah di lembaga itu?

Menjelang magrib Jumat lalu (28/3), pria berumur 60 tahun lebih itu masih sibuk di kantor, gedung KPK di Kuningan, Jakarta. Dia adalah Abdullah Hehamahua, penasihat di lembaga pemberantasan korupsi. Di antara para anggota KPK, Abdullah termasuk yang bersedia diwawancarai terkait aktivitas sehari-hari.

Di kalangan internal KPK, sosok Abdullah dikenal disiplin. Dia memang termasuk orang KPK yang gampang ditelepon untuk konfirmasi. Tapi, dia hanya bisa ditelepon setelah jam kerjanya di KPK selesai. Yakni, di atas pukul 17.00. Tidak boleh ada urusan pribadi di jam kerja, kata Abdullah, tegas, saat sore itu menerima Jawa Pos di kantornya.

Dia menambahkan, integritas adalah hal yang mutlak dipunyai para anggota KPK. Kode etik harus benar-benar ditegakkan, katanya. Salah satu penerapan kode etik di KPK, tamu di luar urusan pekerjaan tak boleh diterima di kantor. Aturan itu berlaku untuk semua orang di KPK. Bahkan, Abdullah yang dituakan pun harus menemui tamu di musala gedung tetangga, yakni kantor Jasa Raharja.

Yang juga ditegakkan di sini, anggota tak boleh menggunakan telepon kantor untuk urusan pribadi. Ini tak akan pernah terjadi, kata pria yang sering mengenakan baju koko dan peci itu.

Latar belakang saya matematika. Jika 3,7 juta PNS (pegawai negeri sipil) menggunakan telepon kantor untuk urusan pribadi satu menit per hari, negara membayar untuk 3,7 juta menit sehari. Berapa miliar itu? ujarnya.

Bagi Abdullah, berkiprah di KPK adalah pengabdian. Selain itu, dirinya harus benar-benar tahan dari godaan dan bisa bertahan hidup hanya dari gaji, tanpa penghasilan tambahan. Orang di KPK, kalau bukan karena komitmen, nggak akan mau keluar daerah. Wong saya Eselon I, uang saku hanya Rp 75 ribu sehari, ujarnya terus terang.

Uang sejumlah itu tentu tak cukup untuk makan di hotel atau restoran. Untungnya, selera saya ini termasuk selera kampung. Sukanya beli makan pecel lele di kaki lima, ujarnya, lantas tertawa lepas.

Seorang petugas di KPK menceritakan, sehari-hari Abdullah ngantor dengan mengendarai Kijang kotak. Pak Abdullah di sini kos. Dia mencuci sendiri baju-bajunya, katanya.

Ketika hal itu dikonfirmasikan, Abdullah tersenyum. Itulah seninya mengabdi di KPK, katanya.

Ujian yang tak kalah berat selama mengabdi di KPK, kata Abdullah, ketika menghadapi orang-orang yang dikenal. Hampir 25 persen orang yang diusut KPK adalah senior saya, junior saya, dan teman saya, ujar mantan Ketua KPKPN (Komisi Penyelidikan Kekayaan Penyelenggara Negara) Sub-Legislatif itu.

Dia lantas menyebut nama mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.

Tak jarang tersangka yang dibidik KPK itu menghubunginya untuk minta bantuan. Tak ada satu pun yang saya layani. Mereka menelepon pun tak saya angkat, tandasnya.

Saat Puteh diperkarakan, demonstran berdatangan, termasuk dari Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Di organisasi ini, Abdullah menjadi anggota. Mereka berdemo di Juanda. Akhirnya saya temui. Saya bilang, pilih Puteh atau saya? Puteh, mantan ketua HMI Cabang Bandung, atau saya yang mantan ketua PB HMI? Setelah saya ngomong seperti itu, mereka pulang, ceritanya.

Sepupu Abdullah juga suatu ketika terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK. M. Khusnul Yakin Payopo (mantan Kasubdit Imigrasi KJRI Penang) itu sepupu saya. Saya awalnya kaget, karena tahu anak ini baik, kisahnya. Tapi bagaimanapun tetap harus diproses, ujarnya.

Abdullah tak cawe-cawe ketika sepupunya itu diproses dalam kasus dugaan pungli biaya pengurusan dokumen di KJRI Penang. Dia akhirnya divonis pidana 29 bulan, lanjutnya.

Sampai sekarang saya belum jenguk dia karena kode etik. Waktu selesai satu periode (kepemimpinan Taufiequrachman Ruki), saya mau jenguk sepupu saya itu. Tapi, karena jadi penasehat lagi di periode ini (Antasari Azhar) saya belum besuk. Bagaimana pun harus tega, ujarnya.

Bukan hanya Abdullah di KPK yang mengalami konflik batin ketika famili atau teman dekat sedang terjerat kasus korupsi. Mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas ternyata adalah paman Mulyana W. Kusuma, terpidana kasus penyuapan auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan kasus korupsi pengadaan kotak suara Pemilu 2004.

Mulyana ketika dikonfirmasi Jawa Pos membenarkan hal tersebut. Itu tak masalah, ujarnya ketika ditanya hubungannya dengan Erry Riyana saat ini.

Meski aturan di KPK ketat, ada juga penyidiknya yang tak kuat godaan. Dia adalah AKP Suparman, yang tertangkap tangan dan harus menghadapi tuntutan dari rekan-rekannya sendiri. Suparman tertangkap tangan sedang memeras saksi kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara. Dia pun diganjar dengan hukuman delapan tahun penjara. Apa boleh buat, dia (Suparman) memang salah, komentar Penyidik KPK Kombespol Heru Sumartono.

Belajar dari kasus tersebut, penyidik Polri itu mengakui, menjadi bagian dari KPK memang harus lebih tahan banting menghadapi para koruptor yang berkantong tebal. Ada saja godaan seperti itu, cincay-cincay-lah istilahnya. Hampir setiap kasus, pasti ada (godaan, Red), ujarnya.

Bukan hanya digoda uang. Teror pun kerap diterima. Untung saya dari Polri, saya masih bawa senjata yang lama, dari organik saya. Itulah senjata yang saya pakai setiap hari, ujar pria 51 tahun itu. Bagaimana dengan keselamatan keluarga?

Lha, itulah risiko, ujar pria asal Surabaya tersebut pasrah. Bukan hanya ancaman keselamatan, ancaman kehilangan jabatan pun mengintainya jika salah tangkap dan akhirnya diperkarakan.

Misalnya, saat dia menangkap Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial (KY) yang tugasnya mengawasi hakim. Saat itu, Irawady ditangkap karena menerima suap. Heru mengaku sempat ngeper karena hingga menit ketujuh, barang bukti atas diri Irawady belum ditemukan di rumahnya, Jalan Panglima Polim 138, Jakarta. Untung, operasi itu sukses besar. Kalau waktu itu salah (salah tangkap, Red), di-grounded-lah kita, ujarnya.

Keputusannya bergabung di KPK dengan alasan ingin memperbaiki diri juga bukan keputusan mudah. Saya pernah belum terima gaji meski bekerja di KPK sudah memasuki bulan keempat, tuturnya. Hati saya nelangsa, mantab-lah, makan tabungan maksudnya, ujarnya, lantas tertawa.

Selain gaji, fasilitas yang dimiliki KPK juga tergolong terbatas. Kantor KPK adalah gedung tua, aset pinjaman Setneg. Laptop, bahkan kursi dan meja, sering menjadi rebutan. Saat penggeledahan, karena kita menganut standar internasional, harus pakai sarung tangan. Waktu itu KPK belum punya. Jadi, sebelum penggeledahan, penyidik harus beli sarung tangan di apotek, ujar pria kelahiran Samarinda itu.

Kisah suka duka selama berada di KPK juga diceritakan Khaidir Ramly, salah satu jaksa di KPK (kewenangan ganda di KPK membuat lembaga itu punya dua pilar: penyidik dan jaksa). Selama 1,5 tahun pertama kerja di KPK, saya tak terima gaji. Jangankan mengirimkan uang bulanan ke istri dan anak, memenuhi kebutuhan sendiri pun sulit, cerita Khaidir yang asal Padang itu.

Terpaksa saya minta subsidi sama keluarga. Kebetulan ada keluarga di Jakarta, ujarnya. Ketika ditanya berapa dia digaji di KPK, Khaidir enggan menjawab. Yang jelas, tak sebesar perkiraan orang, lanjutnya.

Bukan hanya gaji, petugas keamanan yang mengawal jaksa di KPK juga minim. Jaksa KPK hanya dikawal ketika pergi dan pulang dari pengadilan. Selanjutnya, keamanan jadi tanggung jawab pribadi jaksa yang juga tak dilengkapi senjata apa pun. Kalau mati, mati sendiri deh, tukasnya.

Meski demikian, Khaidir tetap bersyukur karena selama berada di KPK, dia masih sempat menyelesaikan kuliah S2-nya. Bukan hanya itu, di KPK dia juga reuni dengan rekan seangkatannya di Pendidikan Jaksa di tahun 1989, Antasari Azhar (ketua KPK). Kami seangkatan, tapi beda nasib. Saya masih bersyukur, ada beberapa teman seangkatan saya yang nasibnya lebih di bawah, ujarnya. (kum)

ELIN YUNITA, Jakarta

Sumber: Jawa Pos, 1 April 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan