Orang Tua Diminta Berani Bertanya kepada Sekolah
Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta para orang tua murid berani menanyakan ihwal penggunaan anggaran di sekolah agar praktek korupsi di dunia pendidikan bisa dihilangkan.
Koordinator Divisi Monitoring Layanan Publik ICW, Febri Hendri, mengatakan lembaganya menduga hingga kini pihak sekolah masih melakukan korupsi dengan cara memainkan anggaran melalui laporan pertanggungjawaban (LPJ) sekolah. "Kalau tidak, berikan itu laporannya (LPJ)," ujarnya di Jakarta kemarin.
Febri mengatakan orang tua harus lebih berani karena Komisi Informasi Pusat (KIP) telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 006/VII/KIP- PS-M-A/2010. Surat itu menyatakan informasi LPJ soal pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) adalah dokumen terbuka.
Dengan adanya keputusan itu, kata dia, semua LPJ sekolah se-Indonesia merupakan data publik.
Menurut Febri, keengganan para kepala sekolah menyerahkan laporan penggunaan dana tiap sekolah menunjukkan masih ramainya praktek korupsi di lingkungan dunia pendidikan. "Kalau SPJ-nya dibuka, sama saja dengan membuka bobrok korupsi di sekolah," ujar Febri.
Dia berharap kelima SMP negeri di DKI Jakarta segera menyerahkan bukti LPJ pengelolaan dana BOS dan BOP kepada KIP. Kelima sekolah itu adalah SMPN 190, SMPN 95, SMPN 84, SMPN 67, dan SMPN 28.
Namun kemarin lima SMP negeri tersebut gagal menyerahkannya ke KIP. "Mereka meminta diperpanjang satu hari," kata Komisioner KIP Bidang Edukasi, Sosialisasi, dan Advokasi, Tya Tirtasari, di gedung KIP kemarin.
Menurut dia, ada kesalahan informasi waktu penyerahan informasi, yang seharusnya pada Rabu, 10 Agustus 2011.
Kasus ini menjadi sorotan karena sebelumnya lima SMP negeri di DKI Jakarta itu menolak menyerahkan LPJ pengelolaan BOS dan BOP kepada ICW. Mereka beranggapan ICW bukan lembaga yang tepat untuk melihat laporan keuangan tersebut.
ICW kemudian melaporkannya ke KIP dengan anggapan telah terjadi maladministrasi dalam pengelolaan keuangan di lima sekolah itu.l JAYADI SUPRIADIN
Sumber: Koran Tempo, 10 Agustus 2011