Orkestrasi Presiden Kendalikan Korupsi di TNI
Pengungkapan kasus korupsi pengadaan helikopter AW 101 yang sudah mulai memperlihatkan titik terang, menunjukkan kontrol politik Presiden Joko Widodo terhadap institusi militer makin kuat dan efektif. Ini patut diapresiasi.
Para politisi sipil, bahkan politisi dari kalangan militer sendiri, umumnya lembek dan inferior menghadapi tentara/institusi tentara. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, tidak memerintahkan penyelidikan menyeluruh atas dugaan korupsi pengadaan pesawat tempur Sukhoi yang muncul pada periode kepemimpinannya.
Kemauan dan ketegasan Jokowi memerintahkan pengusutan kasus pengadaan helikopter AW 101 bisa jadi referensi bagi presiden lain di masa mendatang. Capaian ini merupakan momentum politik yang baik dan tepat bagi Presiden untuk makin mendayagunakan pengaruh politiknya secara optimal. Kontrol politik Presiden yang makin kuat dan efektif itu sebaiknya juga didayagunakan untuk mengorkestrasi gerakan antikorupsi di tubuh militer (Kemenhan/TNI) secara menyeluruh.
Tindakan sabotase
Dugaan korupsi pengadaan helikopter AW 101 menunjukkan kasus ini lebih dari sekadar korupsi. Pertama, kasus ini mencerminkan buruknya tata kelola pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) kita yang ditandai absennya koordinasi antara Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kepala Staf Angkatan Udara. Dalam dengar pendapat dengan DPR beberapa bulan lalu, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI mengaku tak tahu-menahu soal pengadaan helikopter AW 101 ini. Dalam penetapan tersangka korupsi AW 101, sebaiknya polisi militer membuka kemungkinan untuk melihat tersangka lain yang lebih tinggi pangkatnya dari Marsekal Pertama/Brigadir Jenderal.
Kedua, keukeuh dilaksanakannya pengadaan ini jelas menujukkan adanya pembangkangan terhadap perintah Panglima Tertinggi TNI. Pembangkangan ini jelas preseden buruk. Ini merupakan penyimpangan dalam struktur dan kultur TNI yang hierarkis dan patuh pada komando (perintah atasan).
Dalam rapat terbatas akhir 2015, Presiden Jokowi menolak usulan pengadaan helikopter AW 101 ini. Alasannya, harga helikopter AW 101 terlalu mahal dan kondisi ekonomi saat itu belum mendukung. Alasan lain yang lebih substansial, Presiden sebagai Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) diperintahkan oleh UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri. Membeli alutsista impor, padahal kita mampu memproduksinya di dalam negeri jelas pilihan keliru dan berbau pengkhianatan.
Ketiga, tindakan koruptif para tersangka bisa dikategorikan sebagai kegiatan sabotase terhadap agenda dan kepentingan nasional untuk memperkuat industri pertahanan. Upaya memperkuat industri pertahanan merupakan amanat UU No 16/2012. Para tersangka lebih mengutamakan meraih rente untuk kepentingan diri sendiri dan berjangka pendek ketimbang kepentingan nasional berjangka panjang untuk mencapai swasembada alutsista. Nasionalisme para tersangka patut diragukan. Nanti oditur militer bisa menuduh para tersangka secara berlapis,. Selain mendakwa para tersangka dengan perbuatan koruptif, barangkali mereka juga dapat dituduh dengan perbuatan pembangkangan dan sabotase swasembada alutsista.
Keempat, last but not least, kejadian ini menohok rasa keadilan dalam tubuh keluarga besar TNI. Korupsi ini terjadi pada saat sekitar 52 persen atau lebih dari 200.000 prajurit TNI belum punya rumah sendiri. Ratusan ribu prajurit masih mengontrak rumah, menebeng pada orangtua, mertua atau kerabat. Dana yang dikorupsi dari pengadaan helikopter ini sekitar Rp 220 miliar, sebenarnya bisa dialokasikan dan digunakan untuk membangun barak/hunian yang layak bagi ribuan prajurit dan keluarganya.
Ada kontradiksi serius di sini. Dalam beberapa kesempatan Panglima TNI dan Menhan mengeluhkan ihwal anggaran Kemenhan/TNI yang kecil dan terbatas, tetapi pada saat yang sama kita dapati ada ratusan miliar rupiah yang bisa dikorup hanya dari satu kasus pengadaan satu pesawat saja.
Komponen gerakan
Apa saja yang harus diorkestrasikan oleh Presiden dalam mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer? Setidaknya ada enam komponen gerakan antikorupsi yang harus diorkestrasikan oleh Presiden Jokowi.
Pertama, meningkatkan fungsi kontrol politik parlemen, khususnya Komisi I DPR, terhadap kebijakan dan perilaku institusi militer dalam mengelola sumberdaya dan tata kelolanya.
Kedua, mendorong dan memperdalam keterlibatan dan kontrol publik-termasuk di dalamnya warga, organisasi masyarakat sipil, dan media massa-dalam proses legislasi, kebijakan, dan penganggaran sektor pertahanan dan keamanan.
Ketiga, meningkatkan efektivitas kontrol internal Kemenhan/TNI dalam pengelolaan keuangan, sumber daya manusia dan asetnya,
Keempat, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran (belanja) dan aset-aset Kemenhan/TNI.
Kelima, memperbaiki tata kelola pengadaan barang dan jasa Kemenhan/TNI.
Keenam, mengakhiri dualisme sistem peradilan dengan merevisi UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer, yaitu memisahkan pemidanaan prajurit TNI. Mereka yang melakukan kejahatan militer/perang diadili di pengadilan militer, sementara kejahatan korupsi, misalnya, diadili di pengadilan sipil/umum.
Mungkinkah Presiden Jokowi mengorkestrasi semua komponen gerakan itu dalam sisa masa jabatannya? Supaya mungkin, ia harus mulai memikirkan bagaimana bisa dipilih lagi jadi presiden. Nyali, kesungguhan, dan keterampilannya mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer akan jadi modal penting untuk memenangi pemilihan presiden berikutnya.
DEDI HARYADI, Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
---------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Orkestrasi Presiden Kendalikan Korupsi di TNI".