Otonomi Daerah NTT; Gurita Korupsi di Daerah Miskin
Kondisi sebagian besar alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur boleh jadi tandus dan gersang. Kekeringan dan rawan pangan seolah menjadi bencana rutin yang dihadapi warga NTT hampir setiap tahun.
Kemiskinan, kasus gizi buruk, angka putus sekolah, serta angka penganggur yang tinggi pada akhirnya menjadi mata rantai lanjutan dari persoalan itu.
Kini, lebih dari satu dekade pelaksanaan otonomi daerah, beban rakyat NTT semakin berat karena pada saat yang sama harus menghadapi bencana baru yang muncul akibat buruknya tata kelola pemerintahan daerah. Bencana yang sudah ada di depan mata dan dipastikan makin memiskinkan rakyat NTT itu adalah korupsi.
Berdasarkan pantauan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT sepanjang 2009 terhadap 16 dari 21 kabupaten/kota di NTT, ada 125 kasus dugaan korupsi dengan total indikasi kerugian negara Rp 256,3 miliar. Padahal, dana sejumlah itu jika digunakan untuk melakukan intervensi pemulihan gizi buruk anak balita yang dalam 90 hari membutuhkan Rp 1,5 juta per anak balita, bisa menjangkau sekitar 170.000 anak balita.
Jumlah anak balita penderita gizi buruk di NTT mencapai 60.616 dari total 504.900 anak balita di sana. Ironis sekali ketika bantuan untuk mengatasi gizi buruk ataupun rawan pangan yang digelontorkan pemerintah pusat dan lembaga donor lain belum juga bisa membuahkan hasil positif, sementara di sisi lain ada indikasi korupsi keuangan negara yang nilainya lebih dari dua kali lipat dari anggaran yang dibutuhkan untuk penanganan seluruh kasus gizi buruk di sana.
Gambaran lain, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ada 587 surat pengaduan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melaporkan indikasi tindak pidana korupsi di NTT. Lebih dari seperempat kasus yang dilaporkan itu berada di pusat pemerintahan NTT, yakni di Kota Kupang. Data KPK itu sejalan dengan hasil survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2008 yang diselenggarakan Tranparency International Indonesia (TII) yang menyebutkan Kupang sebagai kota terkorup di antara 50 kota di Indonesia yang disurvei.
Dari hasil telaah KPK, ada 13,46 persen pengaduan yang benar-benar terindikasi tindak pidana korupsi dan diteruskan kepada penegak hukum. Masih ada pengaduan yang dikembalikan ke pelapor untuk dimintakan keterangan tambahan.
Indonesia Budget Center (IBC), awal Mei lalu, mengutip hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan, pada semester II tahun anggaran 2009, terdapat 1.804 temuan pemeriksaan di NTT dengan 3.305 rekomendasi atas penyimpangan anggaran daerah senilai Rp 5,29 triliun. Dari jumlah itu, ada 1.300 rekomendasi yang nilai anggarannya mencapai Rp 2,06 triliun yang belum ditindaklanjuti.
Selain itu juga ditemukan 392 kasus kerugian negara senilai Rp 76,45 miliar pada penggunaan anggaran di NTT. Dari jumlah itu ada 280 kasus yang belum ditindaklanjuti dengan pengembalian atas kerugian negara dengan nilai kerugian Rp 58,08 miliar. Padahal, jika mengacu pada pagu pemberian beasiswa bagi siswa SMA/SMK miskin di NTT tahun 2008 sebesar Rp 1,5 juta per orang dalam setahun, kerugian negara sejumlah itu bisa digunakan untuk membiayai pendidikan bagi hampir 13.000 siswa miskin hingga mereka tamat SMA/SMK.
Bencana korupsi yang melanda NTT bisa dikatakan sudah cukup kronis. Pelakunya merasuk dan tersebar di berbagai lapisan, mulai dari oknum pejabat pemda, pimpinan proyek, entitas swasta, anggota DPRD, pengurus partai politik, camat, kepala desa, bahkan hingga kepala sekolah dan guru (lihat Tabel). Aneh dan ironis saat korupsi justru terjadi di daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin mencapai 1,01 juta jiwa atau sekitar 23,3 persen dari jumlah penduduk (2009).
Di level kepala daerah, misalnya, mantan Bupati Ende Paulinus Domi dan mantan Sekretaris Daerah Ende Iskandar Mberu ditahan karena terindikasi korupsi dana APBD Ende 2005 dan 2008 senilai Rp 3,5 miliar. Di luar itu, ada sejumlah mantan bupati yang sempat tersangkut dugaan korupsi, yakni mantan Bupati Kupang Ibrahim Agustinus Medah, mantan Bupati Rote Ndao Christian Nehmia Dillak, dan mantan Bupati Timor Tengah Selatan Daniel Banunaek. Kasus Ibrahim dikabarkan telah dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Daerah NTT, kasus Christian belum diketahui kelanjutannya, sedangkan Daniel justru divonis tiga tahun penjara atas pidana perambahan hutan.
Mantan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka Pastor Frans Amanue mengungkapkan, filosofi otonomi daerah baik karena ingin mendekatkan pelayanan publik. Namun, ekses yang muncul justru virus korupsi yang menyebar di kabupaten hingga desa. Alokasi dana sulit diawasi.
Korupsi menjalar ke seluruh lapisan penyelenggara pemerintahan karena tidak ada tindakan hukum yang tegas kepada pelaku. Penegakan hukum perkara korupsi baru sebatas pada tingkatan staf dan belum menyentuh ke pejabat di pemda.
”Kuncinya tindakan hukum yang tegas bagi pelaku, terutama bagi pejabat yang korup. Jika tidak ada contoh tegas bagi pejabat yang korupsi, pejabat lain tidak akan takut untuk korupsi,” katanya di Larantuka, pertengahan Mei ini.
Keprihatinan serupa disampaikan Koordinator Advokasi PIAR NTT Pace Subaki. Dari sekian banyak indikasi penyimpangan yang diungkapkan BPK, misalnya, belum banyak yang ditindaklanjuti. Sementara dari kasus dugaan korupsi yang mengemuka, belum banyak yang sampai ke pengadilan.
Daya rusak tindak pidana korupsi semakin terasa hebat karena sebagian mengakar hingga di lingkungan sekolah dan guru. Parahnya lagi, belum ada tindakan hukum yang menimbulkan efek jera bagi pelakunya ataupun bagi aparatur yang lain.
”Guru tidak siap mengelola dana BOS (bantuan operasional sekolah) karena kurikulum di FKIP (fakultas keguruan dan ilmu pendidikan) tidak mengajarkan itu. Masyarakat juga belum banyak kritis mengawasi pengelolaan dana BOS,” kata anggota staf Divisi Antikorupsi PIAR NTT, Paul Sinlailoe. Menurut dia, otonomi daerah dalam pengelolaan dana dekonsentrasi pendidikan masih setengah hati.
Berdasarkan pantauan PIAR NTT, 44 persen kasus dugaan korupsi berada di bidang pemerintahan. Dari perspektif sektoral, 46,4 persen kasus korupsi ada di sektor pengadaan barang dan jasa dari pemerintah, disusul sektor APBD (34,4 persen). Tidak mengherankan jika muncul idiom baru dari NTT, yakni ”Nusa Tetap Terkorup”.
Memang tak semua pegawai di NTT terjangkiti virus korupsi. Di antara kubangan lingkungan birokrasi yang korup, ternyata masih ada pegawai yang tidak mau memanfaatkan kesempatan untuk korupsi meski secara ekonomi ia masih kekurangan. Salah satunya Charles Daris (42), pegawai Dinas Koperasi Kota Kupang yang ditemui di tepian pantai di Jalan Timor Raya, Kupang, Sabtu (8/5).
Saat itu ia tengah berbincang dengan dua nelayan rekannya, Bonatus (62) dan Kornelis Pulanga (42). Charles adalah pegawai negeri yang memiliki pekerjaan sambilan sebagai nelayan. ”Pagi hari sampai siang, beta kerja kantor. Sore pukul 15.00 hingga 06.00 pagi, beta cari ikan di laut,” katanya.
Sebagai pegawai golongan IID dengan gaji Rp 1,9 juta per bulan, tentu tidak akan mencukupi kebutuhan bapak empat anak itu. ”Lebih baik beta kerja sambilan jadi nelayan daripada beta harus korupsi,” katanya.
Sejak diangkat menjadi pegawai tahun 1997, ia terus memegang jabatan bendahara. Baru beberapa tahun terakhir ia melepas jabatan itu karena ingin lebih tenang. ”Kawan-kawan bilang, beta ini bendahara bodoh. Dari dulu sampai sekarang tidak juga kaya, rumah itu-itu saja. Di sini, kalau jadi bendahara yang jujur itu justru dibilang bodoh,” katanya lantas tertawa, diikuti dua rekan lainnya.
Andai semua birokrat memiliki komitmen yang sama untuk tidak melakukan korupsi seperti Charles, bisa jadi persoalan kemiskinan dan rawan pangan di NTT tidak telanjur selaten saat ini. (KORNELIS KEWA AMA--C Wahyu Haryo PS)
Sumber: Kompas, 25 Mei 2010