OTT: Senjata Ampuh yang Ditakuti Koruptor
Nampaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah menjadi salah satu upaya penegakan hukum yang ditakuti pejabat publik. Arteria Dahlan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP adalah politisi yang terakhir berkomentar miring atas OTT KPK. Menurutnya, penegak hukum tidak perlu menjadi sasaran dalam OTT, karena penegak hukum seperti polisi, hakim dan jaksa adalah simbol negara.
Jika kita cermati lebih jauh, apa yang disampaikan Arteria tidak memiliki dasar dan alasan yang jelas. Pertama, simbol negara menurut UU 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2009 yang merinci soal Simbol Negara tidak memasukkan jabatan tertentu sebagai simbol negara, bahkan seorang Presiden.
Kedua, dalam melakukan penegakan hukum seharusnya perlu memegang filosofi dasar penegakan hukum yakni equality before the law, yaitu siapa pun punya kedudukan yang sama di muka hukum, sekali pun mereka adalah aparat penegak hukum itu sendiri. Sehingga jika penegak hukum melakukan korupsi, tetap harus diproses sesuai aturan hukum yang berlaku.
Dalam penerapannya, OTT menjadi salah satu instrumen hukum yang cukup ampuh untuk melakukan penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia. Alasannya jelas, karena dengan OTT, pelaku yang terjerat sangat sulit mengelak dari kejahatannya. Upaya ini juga akan mempercepat proses hukum terhadap suatu kasus korupsi, karena sudah nampak jelas peristiwa pidananya yang biasanya berupa suap menyuap, jelas siapa pelakunya, dan bukti dari kejahatan sudah didapatkan.
Dari alasan di atas, sudah tepat rasanya jika OTT tetap perlu diupayakan sebagai instrumen penegakan hukum untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Selain peristiwa pidananya yang terang benderang, kerugian negara yang mungkin diakibatkan atas tindakan kejahatan suap menyuap bisa terhindari.
Pejabat publik sesungguhnya tidak perlu mengkhawatirkan hal ini, asalkan mereka tidak mudah untuk disuap dan menjalankan sistem yang transparan dan akuntabel sehingga celah untuk melakukan suap menyuap bisa dibatasi.
Masifnya OTT juga dapat menjadi indikator peningkatan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Makin tingginya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dapat mendorong pelaporan kasus korupsi kepada lembaga tersebut. Masifnya OTT yang dilakukan KPK di kurun waktu 2016-2019 menjadikan KPK sebagai lembaga yang paling dipercaya publik pada tahun 2019, bahkan mengungguli Presiden yang ada di urutan kedua.
Sayangnya sepanjang kepemimpinan Firli Bahuri upaya OTT KPK sejak 2020 trennya menurun, terhitung hanya 8 OTT yang dilakukan sepanjang 2020, sedangkan pada 2021 per bulan September KPK hanya melakukan lima OTT. Padahal OTT jadi salah satu kriteria publik untuk menilai kinerja KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Jika upaya ini terus menurun, ditambah makin pasifnya KPK dalam merespon beberapa kasus korupsi besar, sulit rasanya untuk mempercayakan KPK sebagai lembaga terdepan dalam memberantas korupsi.