PAN Tolak Pembangunan Gedung Baru DPR
Partai Amanat Nasional memutuskan menolak pembangunan gedung baru untuk Dewan Perwakilan Rakyat. PAN menilai tidak ada akuntabilitas dan transparansi dalam rencana pembangunan gedung senilai lebih dari Rp 1 triliun tersebut.
”Muncul kesan ada pihak tertentu yang diuntungkan dalam rencana pembangunan gedung itu. Akibatnya, rencana tersebut terlihat dipaksakan terlaksana dengan cara yang tak transparan,” kata Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Teguh Juwarno, Senin (14/3) di Jakarta.
Padahal, rencana pembangunan gedung setinggi 36 lantai itu sudah semakin nyata. Kemarin mulai dilakukan prakualifikasi lelang untuk menetapkan daftar rekanan yang akan diundang dalam pelelangan. Pembangunan fisik gedung diharapkan dapat dimulai pada Juni 2011 dan berlangsung dua tahun. Pada tahun 2013 gedung tersebut dapat dihuni.
Meskipun demikian, menurut Teguh, rencana itu masih dapat ditunda atau bahkan dibatalkan. ”PAN akan secepatnya mengirim surat penolakan pembangunan gedung itu ke pimpinan DPR. Kami melihat, masih banyak persoalan pada rencana tersebut yang harus lebih dahulu diselesaikan sebelum pembangunan gedung dimulai,” tegas Teguh.
Persoalan itu, antara lain, masyarakat belum dapat diyakinkan bahwa gedung baru itu memang dibutuhkan DPR. ”Prinsip PAN, selama masyarakat belum dapat diyakinkan, DPR sebaiknya memakai gedung yang lama dahulu,” ujar Teguh.
Menjadi transparan
Rencana pembangunan gedung itu juga jauh dari terbuka. Wacana ada sayembara agar rencana itu menjadi transparan ternyata tidak dilakukan. Kebutuhan biaya juga tidak jelas sampai sekarang. Terakhir, Sekretariat Jenderal DPR menegaskan, biaya pembangunan fisik mencapai Rp 1,138 triliun. Sementara itu, biaya mebel, IT, dan sistem keamanan masih dikaji (Kompas, 12/3).
Akbar Faizal, anggota Fraksi Partai Hanura, juga mengaku belum mengetahui pasti biaya yang dibutuhkan untuk membangun gedung baru DPR. Hanura juga belum tahu desain pasti gedung tersebut dan fasilitas yang ada di dalamnya. ”Selama ini rencana itu seperti hanya menjadi urusan segelintir elite di DPR dan Badan Urusan Rumah Tangga DPR. Ini amat tidak sehat,” tutur Akbar. (NWO)
Sumber: Kompas, 15 Maret 2011