Panggung Hukum SBY
Panggung hukum Indonesia tak ubahnya gelanggang teater. Ada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selalu berseru bahwa penegakan hukum Indonesia bukan tebang pilih.
Ada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang selalu menyatakan tak pernah menyerah memburu para koruptor. Siapa pun yang terindikasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi akan diperiksa dan diadili.
Dalam panggung yang riil, tampak seorang menteri bolak-balik diperiksa KPK sebagai saksi, menteri lain yang mempunyai potensi masalah tidak dijamah. Ada anggota KPU yang disentuh dan tidak disentuh.
Ada gubernur, wali kota/bupati, camat, bahkan hakim serta jaksa yang diadili dan dihukum. Di panggung lain, ada seorang Ketua MA yang digeledah ruang kerjanya dan dua perwira tinggi aktif Kepolisian Negara RI diadili untuk perkara tindak pidana korupsi.
Sepintas, ini adalah gambaran kemajuan riil penegakan hukum Indonesia. Suka tidak suka, setuju atau tidak setuju, semua pihak harus mengakui kemajuan ini. Di era Orde Baru Soeharto, mana ada petinggi republik yang dibawa ke pengadilan?
Akan tetapi, mengapa rakyat belum percaya bahwa rezim Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sudah melakukan tugasnya sebaik-baiknya? Mengapa istilah SBY yang tidak tebang pilih, di antaranya diucapkan dalam pidana 16 Agustus 2006, selalu ditanggapi dengan dingin dan sinis? Sinisme itu tercermin lewat berbagai opini yang diutarakan publik di media massa cetak dan elektronik. Tidak jelas apakah SBY menyadari hal itu.
Yang selalu diterima publik adalah realitas. Publik letih oleh wacana sebab sudah kenyang rupa-rupa janji penegakan hukum di era rezim Soeharto, bahkan pada rezim-rezim sesudahnya. Maka, ketika SBY masih datang dengan idiom dan formula yang sama, publik menunjukkan resistensi yang besar. Apalagi, korupsi bukannya berkurang, tetapi malah makin menghebat, semua lapisan pejabat publik merasa berhak korupsi.
Publik ingin, tidak perlulah banyak melemparkan jargon-jargon penegakan hukum. Rakyat ingin SBY tidak tanggung-tanggung dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pemerintahannya mesti dapat membersihkan negara dari segala praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta penyelundupan.
Dari rumah sendiri
Pemerintahan SBY-JK juga tidak konsisten. Katanya akan membersihkan Indonesia dari korupsi, dimulai dari rumah sendiri. Apa kabar pembersihan rumah tersebut? Rakyat belum memperoleh informasi utuh tentang pembersihan dalam rumah sendiri itu. Adakah pejabat lingkar dalam yang digeser, bahkan diadili, dengan sangkaan tindak pidana korupsi?
Dalam aspek paling sederhana, rezim SBY diharapkan menumpas korupsi sampai ke akar-akarnya tanpa pilih bulu. Siapa pun yang terbukti korupsi jatuhi hukuman dan penjarakan mereka. Sikap tidak tebang pilih akan membangkitkan kepercayaan rakyat pada rezim ini.
Sikap yang ditunggu publik adalah memeriksa semua pejabat negara atau pejabat publik yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Periksa rekeningnya atau cek kepantasannya memiliki harta benda berlebihan. Misalnya, sehebat-hebatnya bupati, mana bisa dia memiliki tiga mobil sport luks dan rumah mirip vila di Pondok Indah.
Atau seorang gubernur, sehebat-hebatnya dia, mana bisa mempunyai heli atau pesawat pribadi dan rumah superluks? Atau anggota DPR yang awalnya sederhana, bagaimana bisa tiba-tiba mempunyai lima rumah mewah. Atau seorang perwira tinggi polisi, sehebat-hebatnya jabatan polisi itu, kok bisa mempunyai 10 rumah di Kebayoran Baru.
Berapa sih gaji seorang pati (perwira tinggi) bintang tiga, misalnya? Tidak lebih dari enam juta rupiah. Pemeriksaan atas kepantasan memiliki harta berlimpah mestinya dilakukan kepada polisi, para hakim/jaksa, petugas Bea dan Cukai, serta perpajakan untuk sekadar menyebut beberapa contoh.
SBY pun bisa melakukan jasa besar bagi republik ini apabila dapat meyakinkan rakyat bahwa yang naik pentas untuk bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah orang-orang jujur dan benar-benar lolos seleksi. Kalau calon gubernur, bupati, dan wali kota itu miskin, bagaimana bisa ikut pilkada? Periksalah pula para mantan pejabat yang posnya diduga basah dan diduga memiliki harta-harta haram, hasil menjarah uang republik.
Sikap keras kepada koruptor kiranya bukan satu-satunya urusan pelik di bidang hukum yang perlu segera ditangani. Persoalan hak kepemilikan atas tanah juga harus dibereskan sebaik-baiknya. Bukan hanya rakyat dan para pengusaha lokal yang pusing oleh masalah ini, tetapi terutama juga para investor dalam dan luar negeri. Terlampau banyak bukti kepemilikan ganda yang pemiliknya terdiri atas sejumlah orang dan masing-masing memegang bukti kepemilikan.
Pemerintah sendiri selalu pusing untuk membebaskan tanah. Pemerintah sebetulnya mempunyai wewenang untuk membebaskan tanah mana pun di negeri ini berdasarkan hukum, kepentingan publik dan sosial. Namun, entah mengapa pemerintah selalu tidak menyadari hal ini.
Sekadar referensi, Republik Rakyat China dan kini bahkan Rusia mampu meraih kegemilangan ekonomi karena pemimpinnya menjalankan penegakan hukum secara hitam putih. Investor asing selalu menjadikan masalah penegakan hukum sebagai salah satu kriteria pokok masuk sebuah negara.
Maka, sikap tegas amat penting untuk menyelesaikan pelbagai masalah hukum ini. Rakyat menunggu aksi konkret SBY, bukan syair di pentas teater.
Denny Kailimang Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 20 Oktober 2006