Para Buron
Siapa yang menciptakan buron?” Di hutan belantara, buron menciptakan dirinya sendiri.Di sana kijang telah menjadi kijang dan ayam sejak kecil telah menjadi ayam; kelinci, celeng, babi hutan, dan domba liar masingmasing secara alami telah “menjadi” sebagaimana adanya.
Di sana buron diburu bukan karena salah telah mencuri duit rakyat, melainkan karena dia buron secara alami tadi.Di sana buron lepas bukan karena taktik strategis menghindari ancaman KPK,bukan pula karena nasihat atasan yang takut dirinya terlibat dan juga bukan karena penasihat hukum memintanya begitu, melainkan sebagian karena peluru sang pemburu meleset dan si buron menghilang dalam kegelapan rimba.
Tak ada kata Singapura yang “menadah” secara rakus duit yang dibawa para buron yang menjadikan tempat itu sorgaloka yang nyaman. Di hutan yang ada singa sejati.Dan singasinga sejati ini juga menjadi “pemburu”yang lebih ahli dari para pemburu yang menyandang bedil di pundaknya.
Di rimba raya buron langsung dibidik tanpa ditanya dan peluru yang mendesing sangat cepat mengakhiri hidupnya.Ini kekejaman rimba raya karena di rimba raya tak ada hukum. Ya, memang, di rimba raya tak ada hukum. Dan kita tak pernah berbicara perkara hukum. Di sana, kekuatan yang menjadi hukum.
Di sana, tipu daya dan kelicikan yang menjadi hukum kehidupan. *** Di masyarakat kita, masyarakat modern, yang mengaku beradab, para warganya mengaku diri mereka saleh dan menjunjung tinggi hukum, tak ada buron alamiah seperti di hutan belantara tadi. Tak ada orang yang bisa disebut jenis buron sejak kecil.
Tak ada tanda yang menunjukkan bahwa seseorang akan menjadi buron pada suatu tahap usia tertentu. Tapi buron itu ada. Dan dari waktu ke waktu jumlah buron makin bertambah.Bahkan dari waktu ke waktu,buron kita makin cerdik, makin licik, makin liar. Dan dari waktu ke waktu, penasihat partai, pengawas partai, ketua partai merasa perlu terlibat langsung “menangani” perkara bila salah seorang anggota partainya kedapatan memiliki sejumlah gejala, bukti, atau tanda keterlibatan yang kuat di dalam pencurian duit rakyat.
Para petinggi partai sangat gusar jika ada anggotanya yang memiliki tandatanda yang patut diduga, patut dicurigai, bahwa yang bersangkutan mencuri duit rakyat. Ini hebat sekali. Bukti bahwa mereka prihatin dan tak ingin duit rakyat dicuri? Mereka patut menjadi teladan mulia? Tunggu dulu. Bisa saja soal lain yang membuat mereka gusar.
Dan bisa saja yang disebut soal lain itu kecemasan pribadi karena jangan-jangan dirinya ternyata bakal ketahuan terlibat juga.Jangan-jangan anak, istri, saudara atau orang dekatnya jelas bakal terseret dan dirinya sendiri tidak aman.Janganjangan.... Inilah perkara kita. Inilah yang membuat kita menjadi begitu sibuk.Tiap saat kita membuat pernyataan.Tiap saat kita berusaha membuktikan tak terlibat.
Tiap saat kita mengelak juga? Mungkin sekali begitu.Dan jangan heran tiap saat telinga kita dijejali berita buron. Pagi kita mendengar buron lari.Siang diulangi bahwa buron yang lari tak mau pulang. Sore diulangi lagi bahwa buron yang sudah dijemput pun menolak pulang. Di sini buron tak bisa dipaksa. Sang pemburu tak boleh main tembak seperti raja cowboy di zaman Wild Wild West yang liar.
Ini dunia beradab. Segala hal diatur oleh hukum. “Beradab?” Kita hidup di dalam dunia “beradab”? Kita makin fasih bicara hukum, hukum, dan hukum. Sebentarsebentar hukum.Seolah kita ini betul-betul terhormat dan sungguh mulia karena mendasarkan hidup pada aturan hukum. ***
Menurut orang perempuan dari partai paling hebat dalam urusan duit akhir-akhir ini, yang dipindah dari KPU secara agak darurat,partainya tak bisa memaksa anggotanya yang lari untuk pulang.Tak ada hukum yang bisa membuat partai memaksa. Mantaaap! Baginya, hati nurani bukan hukum.Etika partai tak pantas dijadikan landasan bertindak karena bukan hukum. Hukum kepantasan dalam hidup?
Bukan hukum. Nama baik partai? Tidak penting. Itu lebih lemah dari hukum. Tanggung jawab sosial demi public trust bagi partai? Dan kenyataan bahwa partainya makin merosot ke titik jenuh di mana rakyat merasa muak? Ini pun tak cukup kuat untuk menggerakkan mereka membantu memfasilitasi penegak hukum menyeret buron tadi. Rasa malu? Tak perlu malu karena bukan hukum.
Nama baik tercoreng? Ini pun tak menjadi pertimbangan. Maka kita bertanya lagi: siapa yang membuat buron? Siapa yang menasihati agar seseorang menjadi buron? Perhitungan politik apa maka seseorang bukan menjadi, melainkan “dijadikan”buron? Akhirnya muara persoalan ada di situ.Akhirnya kecurigaan yang sehat karena sejak zaman Bank Century yang gelap,zaman Gayus yang gelap,dan zaman Nazaruddin yang juga gelap harus diungkapkan demi kejujuran.
Maaf, kejujuran memang bukan hukum.Tanggung jawab sosial sebagai warga negara terhadap negaranya juga bukan hukum. Tapi saya harus sehat secara politik dan kebudayaan. Dan saya menulis.Tapi apa makna hukum dalam kepala orang Demokrat itu jika di dalamnya tak ada kejujuran?
Dan apa makna hukum bagi seorang politikus jika di dalamnya tak terkandung rasa tanggung jawab? Apa yang membuat para buron lebih senang menjadi buron? Celeng,babi hutan, atau kerbau liar pun tak suka diburu. Mengapa orang memilih menjadi buron?
M SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 13 Juni 2011