Paradoks Rencana Kenaikan Gaji
TIDAK seberapa lama berselang dari kontroversi pembelian mobil dinas pejabat yang menghabiskan dana sangat besar, tahun ini, pemerintah kembali akan membuat peraturan presiden (perpres) tentang kenaikan gaji pejabat tinggi negara (JP, 2/2/2010).
Karena pembahasannya sudah tuntas di DPR dan koor persetujuan diberikan, maka ditilik dari ilmu kebijakan publik dan etika administrasi negara, recana itu baik-baik saja dan absah adanya. Ditilik dari otoritas keuangan yang dimiliki Menkeu, disertai kepemilikan data perimbangan keuangan, kebijakan tersebut normal saja.
Persetujuan DPR itulah salah satu prasyarat kebijakan yang baik. Tak boleh menimbulkan kerugian negara -sesuai dengan semangat reformasi birokrasi-karena diasumsikan sebagai bagian dari renumerasi dan diharapkan memperlancar tugas serta bisa meningkatkan produktivitas kerja pejabat negara.
Berbeda dengan kasus Century yang panas, kebijakan tersebut akan aman- aman saja, bukan diskresi, dibuat secara rasional. Total anggaran 158 triliun mungkin akan diterima secara keseluruhan pegawai dari golongan kecil sampai pejabat tinggi, hanya tunggu momentum saja.
Politik Anggaran
Kebijakan itu akan lancar mengingat DPR dan pembuat kebijakan secara teoretis akan diuntungkan dengan kenaikan gaji tersebut. Sulit mengharapkan akan ada tantangan dalam proses pelaksanaannya.
Mungkin, pemerintah akan menyangkal kalau ada yang mencoba mengasumsikan dan berpikir kritis bahwa penetapan kenaikan gaji itu adalah tebar pesona eksekutif kepada legislatif dan good approach kepada lembaga yudikatif, MPR, dan lembaga negara lainnya.
Namun, kalau kita ingin mendalami politik anggaran, kemungkinan itu dapat saja terjadi. Persoalannya ialah bahwa kebijakan kenaikan gaji tidak boleh dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi psikologis ''masyarakat yang diperintah". Gaji tidak mungkin bisa dinaikkan hanya karena kebutuhan, apalagi berdasar keinginan orang-orang yang digaji. Kenaikan gaji itu harus melihat besaran gaji golongan PNS terkecil agar ada keadilan.
Di negara-negara maju, kenaikan gaji pejabat tinggi termasuk hal sensitif. Sewaktu Bill Clinton menjadi presiden AS, pada Januari 1998, menteri keuangan Clinton diserang habis-habisan oleh Congressional Budget Office -semacam panitia anggaran DPR- gara- gara tidak bisa mengurangi pengeluaran belanja rutinnya di tengah krisis ekonomi Amerika.
Teorinya, kucuran anggaran adalah cermin keberpihakan pemerintah. Kalau anggaran untuk anak jalanan, fakir miskin, janda tua, atau infrastruktur di desa miskin di perbatasan sangat minim, tak bisa dimungkiri bahwa perhatian pemerintah untuk hal tersebut rendah.
Sayang sekali, sering ditemukan paradoks. Pemerintah sering mengeluh kekurangan anggaran untuk hal-hal mendesak bagi rakyat kecil, seperti, amanat pasal 34 UUD 1945 bahwa ''Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara", sedangkan untuk kenaikan gaji diri mereka, disajikan alasan yang masuk akal, rasional, dan seakan-akan urgen.
Mendongak ke Atas
Dapat dikatakan bahwa jurang antara gaji tertinggi pejabat negara RI dan gaji terendah pegawai negeri sipil (PNS) sudah dapat dipersempit tahun demi tahun. Pada 1968, perbadingannya 1:25, sampai 1988 dipersempit menjadi 1:8. Karena itu, dengan tambahan gaji pejabat tinggi sampai 20 persen tahun ini, gap gaji pegawai rendahan dengan pejabat akan lebih lebar lagi.
Dengan mempertimbangkan bahwa jumlah pejabat tinggi kita hanya sekitar 1.500 orang, maka penambahan 28 triliun untuk mereka, sedikit atau banyak, mencerminkan keberpihakan anggaran dalam pemerintahan tahun ini. Tidak dapat disalahkan kalau orang mengatakan bahwa pemerintah kita mendongak ke atas, bahkan tidak adil.
Tidak dapat dimungkiri bahwa peningkatan gaji pegawai secara teoretis bisa meningkatkan kinerja pegawai. Dalam teori Herzberg, misalnya, gaji adalah pengakuan, peningkatan gaji adalah rewards. Tanpa gaji yang cukup, pegawai akan loyo, dan dengan gaji cukup, pegawai akan giat.
Tapi, teori itu sekadar berlaku bagi karyawan rendahan, setingkat kuli. Adalah kesalahan besar kalau pendekatan peningkatan gaji tersebut diterapkan untuk pejabat tinggi di negara kita. Teori yang pas bagi mereka adalah penciptaan lingkungan yang kondusif dan pengakuan serta aktualisasi diri (self actualization) dalam lingkungan kecil dan lingkungan yang lebih luas.
Hasil sebuah survei menyatakan bahwa sejumlah PNS golongan rendah yang dijadikan responden (495 orang) mempunyai hasil tambahan pendapatan dari bekerja sambilan. Mereka mengaku menggunakan jam kantor dan 24,4 persen menopang hidup sehari-hari dengan cara nyambi.
Akhir-akhir ini, terdapat kecenderungan bahwa pegawai rendah di berbagai instansi pemerintah mendapat tambahan gaji mereka dari ''ceperan" yang dianggap sah, walaupun sesungguhnya tidak sah alias korupsi jalanan.
Sudah lima tahun belakangan ini, data mengenai ''njomplangnya" perbandingan pengeluaran rutin untuk pegawai dan belanja pembangunan. Apalagi untuk rakyat langsung. Data evaluasi RAPBD di 33 provinsi serta 420 kota dan kabupaten menunjukkan rata- rata 70-75 persen anggaran berpihak ke pejabat daerah dan pegawai daripada dana pembangunan.
Dengan berbagai data tersebut, terlihat bahwa rencana peningkatan gaji pejabat tinggi masih paradoks dengan kemiskinan dan keterbelakangan, tidak serasi dengan janji untuk mengutamakan rakyat. (*)
Prof M. Mas'ud Said PhD, wakil ketua DPP Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 10 Februari 2010