Paradoks Semangat Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkret dan demikian intensif. Konkret dalam arti benar-benar diadili dan dipenjarakan tanpa pandang bulu. Intensif dalam arti hampir setiap hari ada saja tersangka baru.

Namun, kalau pungutan liar (pungli) kita anggap korupsi, dengan pemberantasan korupsi yang konkret dan intensif tersebut, pungli tidak berkurang sedikit pun.

Pelayanan apa pun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi. Memang, bisa ngotot tidak mau membayar, tetapi akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-buat. Setelah itu waktu menunggu juga sangat lama dengan dalih bahwa yang harus dilayani sangat banyak. Korupsi seperti ini dianggap sebagai praktik yang sudah mendarah daging. Kalau tidak ada pungli, kita bahkan merasa heran. Biasanya jumlahnya juga tidak besar.

Korupsi yang jumlahnya besar, tetapi juga dianggap sebagai praktik dagang biasa, ialah meningkatkan harga (mark up) oleh pemasok barang dan jasa. Selisihnya buat yang punya kuasa membeli barang dan jasa. Praktik mark up ini tidak hanya berlangsung di kalangan birokrasi pemerintahan. Sudah lama menjadi kebiasaan berdagang bahwa penjual menawarkan mark up kepada manajer pembelian perusahaan-perusahaan swasta.

Yang lebih besar dan lebih berbahaya kalau koruptor sudah tidak mengetahui lagi apakah perbuatan itu termasuk korupsi atau tidak. Ini yang disebut pikiran yang sudah terkorupsi atau corrupted mind. Contohnya banyak. Ada menteri terkemuka yang sudah lama almarhum pernah mengatakan kepada kerabatnya bahwa kalau seorang menteri sudah melakukan pembelian melalui tender terbuka yang jujur, tetapi pada saat menandatangani kontrak pembelian berhasil memeras penjual barang, itu bukan korupsi. Mengapa? Tugasnya yang jujur sudah dilakukan dengan tender terbuka yang jujur. Bahwa penjual barang bisa digertak pembeliannya batal kalau sang menteri tidak diberi upah adalah prestasinya pribadi. Orang yang pikirannya belum terkorupsi merasa bahwa dia hanya bisa menggertak karena menyandang kekuasaan yang bisa membatalkan tender yang sudah dimenangkan. Jadi, tetap saja itu penyalahgunaan kekuasaan.

Rohmin Dahuri merasa bukan korupsi ketika beliau membagi-bagikan uang yang bukan miliknya kepada cukup banyak pemimpin politik guna pembiayaan pemilu. Rohmin merasa membantu proses demokratisasi. Yang menerima juga tidak merasa itu korupsi. Maka terang-terangan mengakui memang menerima. Setelah ramai-ramai, hanya Rohmin yang dihukum. Ini membingungkan, karena pemberi dianggap berkorupsi, penerima tidak. Artinya, dalam kasus Rohmin Dahuri corrupted mind sudah meningkat menjadi corrupted logic.

Termasuk dalam corrupted mind sekaligus corrupted logic adalah contoh sebagai berikut. Orang memperoleh kredit dari bank untuk membeli gedung bank yang memberi kredit. Karena gedung sudah menjadi miliknya, bank harus membayar sewa. Hasil sewa setiap bulan dihitung sampai persis sama dengan anuitas hingga utangnya lunas. Orang yang bersangkutan setelah sekian tahun akan menjadi pemilik gedung pencakar langit, dan banknya masih harus terus membayar sewa.

Rasanya mustahil demikian banyak anggota Dewan Gubernur Bank Sentral yang demikian bergengsi dan demikian tinggi pendidikannya, melalui rapat resmi memutuskan membagi-bagikan uang Rp 100 miliar kalau merasa bahwa itu tindakan korupsi. Maka mereka sangat terkejut ketika dinyatakan oleh KPK bahwa itu korupsi.

Di samping semua itu, tidak bisa dibantah bahwa bagian terbesar dari pegawai negeri yang melakukan korupsi kecil-kecilan memang tidak bisa menyambung hidup kalau tidak berkorupsi. Gajinya hanya cukup untuk hidup dua minggu. Tapi, korupsinya kan tidak bisa dipaskan hanya yang dibutuhkan setiap bulan. Jumlah uang yang sempat dikorupsi tidak bisa diatur supaya setiap bulan persis sama dengan kekurangan pendapatannya untuk menyambung hidup. Maka mau tidak mau mesti kebablasan.

Lantas bagaimana pemecahannya? Pertama, jumlah kementerian dikurangi sampai yang sangat dibutuhkan saja. Kedua, setiap kementerian dirampingkan sampai hanya divisi-divisi yag memang dibutuhkan yang dipertahankan. Ketiga, perbandingan gaji dibuat adil. Jangan presiden RI yang gaji bulanannya Rp 70 juta, tapi gaji Dirut BUMN Rp 300 juta. Keempat, tingkat gaji dinaikkan sampai benar-benar bisa hidup dengan layak dan kalau perlu dengan gagah. Kelima, kalau masih berani korupsi, pelaku ditembak mati.

Pembiayaannya dari mana? Dari penghematan APBN kalau cara ini berhasil mengurangi korupsi.(*)

Oleh Kwik Kian Gie, Mantan Men PPN/Kepala Bappenas

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 10 Maret 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan