Parpol Jangan Jadi Bungker Koruptor
Pembelaan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terhadap para saksi dan tersangka dugaan kasus korupsi di DPRD mendapat kritik dan tanggapan. Indonesia Corruption Watch mengingatkan, partai politik jangan menjadi bungker (lubang perlindungan) para tersangka koruptor karena justru akan menjadi kampanye negatif. Sedangkan pihak kejaksaan membantah pihaknya memolitisasi kasus korupsi, termasuk kasus yang menempatkan anggota DPRD dari PDI-P.
Seharusnya partai membersihkan orang-orang yang busuk dari dalam partainya. Kalau demikian, kita tidak bisa berharap partai menjadi agen pemberantasan korupsi, kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, Rabu (16/2).
Forum Pembela Demokrasi Indonesia (FPDI)-tim penasihat hukum DPP PDI-P-hari Selasa mengumpulkan 200-an saksi atau tersangka kasus dugaan korupsi yang menimpa anggota DPRD dari PDI-P. FPDI menilai sebagian besar kasus dugaan korupsi anggota DPRD dari PDI-P tersebut telah dipolitisasi (Kompas, 16/2).
Persoalan kasus dugaan korupsi anggota DPRD ini bermula dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. PP itu sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA) tanggal 27 Desember 2002 atas permintaan DPRD Sumatera Barat (Sumbar). Departemen Dalam Negeri akhirnya mencabut PP itu dan menggantikannya dengan PP Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
Ketua Umum FPDI Trimedya Panjaitan menilai ada suasana yang dipaksakan dan ada upaya politisasi dalam kasus DPRD karena kejaksaan menggunakan PP No 110/2000.
Soal kesan bahwa politisi PDI-P melindungi kasus korupsi, Trimedya Panjaitan berpendapat, yang dilakukan FPDI sekarang menggunakan standar profesional pengacara, yaitu membuat posisi kasus dan pendapat hukum. Dari situ bisa kelihatan mana yang dizalimi, mana yang maling. Kalau memang mereka terbukti tidak politisasi, seperti kasus Banten, maka kami membantu sebatas hak-hak hukum dia, katanya.
Teten Masduki berpendapat, dalam menangani kasus dugaan korupsi, undang-undang (UU) yang dipakai kejaksaan tetap UU Tindak Pidana Korupsi. Salah satu unsur pidana korupsi itu melawan hukum. Nah, melawan hukumnya itu PP No 110 seperti yang sudah terjadi dalam kasus DPRD Sumbar melalui putusan pengadilan tingginya, katanya.
Ia melihat proses hukum terhadap anggota DPRD tersebut bukan kebijakan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena yang mengalaminya bukan hanya PDI-P. Partai politik lain hasil Pemilihan Umum 1999 juga mengalaminya. Bahwa PDI-P mayoritas iya, karena PDI-P mayoritas hasil Pemilu 1999. Lagi pula, proses hukum ini sudah dimulai pada akhir pemerintahan Megawati Soekarnoputri ketika menjelang pemilu. Partai Golkar pun ikut terlibat, padahal ikut memerintah, ujar Teten.
Menurut dia, masalah korupsi DPRD bukan terkait dengan PP No 110/2000 saja, melainkan sudah ada fatwa dari MA bahwa korupsi bukan semata-mata PP No 110/2000, tetapi ada unsur melawan hukum.
Sementara itu, Komisi III DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) DPRD yang diketuai Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar, yang bertugas mengawasi pelaksanaan proses penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi anggota DPRD. Masalah penanganan dugaan kasus korupsi anggota DPRD ini juga akan dibahas bersama Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam rapat kerja gabungan Komisi II dan Komisi III DPR, Kamis ini.
Perlu kami tegaskan dulu bahwa Panja DPRD ini tidak berpretensi untuk melindungi para koruptor. Kalau memang anggota DPRD terbukti sah melakukan korupsi, silakan diproses secara hukum, katanya.
Bantahan kejaksaan
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Soehandojo mengatakan, pihaknya tidak pernah memolitisasi kasus korupsi, termasuk kasus yang menempatkan anggota DPRD dari PDI-P sebagai saksi atau tersangka. Apalagi, mengungkapkan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD sebagai bentuk mengejar setoran 100 hari pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Keliru apabila dibilang ada nuansa politis dalam penanganan kasus korupsi anggota DPRD. Toh bukan cuma anggota PDI-P, tetapi juga anggota partai lain, kata Soehandojo.
Lebih lanjut Soehandojo menuturkan, pemeriksaan pejabat eksekutif dan legislatif yang terkait dengan dugaan kasus korupsi selalu dilakukan dengan berlandaskan pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31/1999. Penggunaan PP No 110/2000 hanyalah sebagian dari keseluruhan penyelidikan dan penyidikan. Misalnya, untuk menyelidiki dugaan korupsi yang berkaitan dengan susunan dan penggunaan keuangan DPRD, yang dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum karena menyimpang dari aturan PP No 110/2000. (bur/idr)
SUmber: Kompas, 17 Februari 2005