Parsel, Apakah Etis?
Bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara, menerima parsel jelas dilarang.
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 tahun 2001, Pasal 12b Ayat 1 menyebutkan, gratifikasi, pemberian dalam arti luas, adalah suap jika berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Parsel, atau pemberian hadiah kepada pejabat saat lebaran, oleh rekanan atau bawahan, masuk kategori suap.
Sanksi bagi pelanggar luar biasa berat. Pasal 12b UU itu mengancam pelanggarnya dengan sanksi penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan paling banyak Rp satu miliar.
Dari sisi etika
Bagaimana dengan penerima parsel yang bukan dari kalangan pegawai negeri? Hingga kini, belum ada undang-undang yang mengaturnya. Di sinilah etika berbicara. Standar etika yang umum dipakai, perusahaan masih diizinkan melakukan pemberian kepada pelanggan, sepanjang pemberian itu tidak memengaruhi pelanggan untuk memutuskan membeli atau tidak produk perusahaan itu. Guna menjaga hubungan baik dengan pelangannya, perusahaan biasanya masih diizinkan memberi suvenir, mentraktir makan, memberi tiket gratis, golf, dan lainnya (Steven R, Barth, Corporate Ethics, 2003).
Pedoman etika yang umum mengatur, pelanggan memutuskan untuk membeli atau memakai produk perusahaan semata-mata hanya ditentukan oleh pertimbangan harga, kualitas, dan keunggulan kompetisi yang lain. Di luar pertimbangan itu, pemberian bisa dianggap suap.
Semua biaya untuk aneka pemberian itu harus dicatat dan dibukukan menurut standar akuntansi yang berlaku dan dilaporkan dalam laporan keuangan. Karena itu, semua pemberian hendaknya wajar dan dalam batas kepatutan. Biaya pemberian ini bahkan menjadi unsur pengurang pajak karena bisa masuk ke pos marketing, sepanjang perusahaan dapat mempertanggungjawabkan ke kantor pajak. Kantor pajak tentu akan mempertanyakan bila pemberian parsel untuk seorang pelanggan nilainya gila-gilaan.
Terkadang, batas antara suap atau pemberian yang kurang patut dan entertainment itu menjadi kabur. Sebagian besar perusahaan di Amerika Serikat kemudian berusaha memberikan pedoman yang tegas dalam kode etik mereka, misalnya karyawan masih boleh memberi kepada pelanggannya, atau menerima dari rekanannya pemberian antara 25 dollar AS-100 dollar AS, dari atau kepada satu sumber dalam satu tahun (Linda Trevino dan Katherine A Nelson, Managing Business Ethic, 2004).
Etika penyelenggara negara
Standar etika yang berlaku umum dalam bisnis juga menyadari, di beberapa negara ada pengaturan khusus mengenai pemberian kepada pegawai negeri atau pejabat penyelenggara negara. Perusahaan perlu mempelajari undang-undang yang berlaku dan hendaknya dengan ketat mencantumkan dalam kode etiknya masing-masing tentang bagaimana tata hubungan dengan pejabat negara atau penyelenggara negara.
Di Indonesia, beberapa undang-undang yang mengatur tindak pidana korupsi adalah UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN; UU No 31/1999; dan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hati-hati dalam memberikan sesuatu kepada pegawai negeri (parsel, misalnya) di Indonesia karena bisa berakibat fatal! Sebagai contoh, dalam Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 1999, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dipidana sama berat.
Sadhono Hadi Pemerhati GCG dan Etika Bisnis
Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 Oktober 2006