Parsel Lebaran
Setiap tahun, Ramadan selalu disambut gegap-gempita. Sayangnya, semangat pembersihan diri di bulan penuh berkah ini sering teracuni, terutama menjelang Lebaran. Dari tahun ke tahun, menjelang Lebaran tak pernah sepi dengan santernya berbagai skandal publik, yang ironisnya, terjadinya cukup massal. Sejak korupsi kecil-kecilan, seperti pencaloan tiket mudik, hingga penggunaan fasilitas dan dana pemerintah untuk keperluan pribadi pejabat publik, serta yang tak kalah seriusnya: kasus parsel Lebaran.
Bagi-bagi parsel menjelang Lebaran seakan menjadi paradoks Ramadan. Volumenya pun tidak kecil. Karena terjadi setiap tahun, praktek ini seakan telah mendapatkan justifikasi budaya dan menjadi hal yang biasa saja. Pedagang parsel setiap tahun dapat meraup keuntungan hingga puluhan juta rupiah karena sering menerima borongan dari instansi pemerintah tertentu. Hanya tahun ini permintaan agak sepi karena adanya seruan Komisi Pemberantasan Korupsi agar pejabat publik tidak menerima parsel.
Namun, menurunnya permintaan parsel, yang sejalan dengan seruan KPK, justru semakin menguatkan indikasi bahwa pejabat publik memang pangsa pasar terbesar produksi parsel. Tidak hanya instansi pemerintah, parsel juga kerap diborong oleh pengusaha untuk dikirimkan kepada pejabat tertentu dalam rangka menjaga tali silaturahmi. Di instansi pemerintah, parsel kerap terkirim dengan nama pribadi pejabat tertentu kepada keluarga, kolega, atau rekanan. Harga setiap bingkisan pun beragam, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Sangat disayangkan ongkos untuk itu semua kerap mengucur dari anggaran publik, dan krusialnya, ini tidak hanya terjadi di pemerintah tingkat pusat, tapi juga menjangkit hingga ke daerah-daerah.
Meski masih menjadi debat publik yang hangat, pejabat pemerintah yang menerima parsel patut dipertanyakan. Dalam konteks sosial memang tidak dapat dimungkiri bahwa seorang pejabat publik juga kerap menyandang posisi sosial tertentu. Posisi sosial ini kadang menjadi alasan pejabat diberi parsel oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan. Mengutip seorang antropolog Prancis, Marcel Mauss (The Gift: The Form and Reason for Exchange in Archaic Societies, seperti dikutip Kompas, 12 Oktober 2006), ada tiga alasan orang saling memberi hadiah: kemurahan hati, kehormatan, dan uang. Dalam kaitan dengan posisi sosial, parsel dapat diberikan karena kehormatan dan ini sah saja, karena jika berdasarkan alasan ini, pejabat publik yang menerima parsel pastilah pejabat publik yang berprestasi dan jujur sehingga pantas mendapat penghormatan. Penulis bahkan mendukung jika momentum Ramadan menjadi ajang memberikan hadiah atas penghormatan bagi pejabat publik yang jujur--sejalan dengan makna puasa itu sendiri. Tinggal kriterianya dibuat jelas agar bisa menjadi contoh bagi pejabat publik yang lain.
Yang menjadi masalah adalah jika pemberian parsel diberikan karena alasan uang. Kekhawatiran selama ini adalah jika parsel menjadi bentuk suap terselubung. Undang-Undang Antikorupsi melarang pejabat menerima hadiah (gratifikasi), yaitu pemberian yang dapat dikaitkan langsung dengan jabatannya (Pasal 12-B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Meskipun dalam pengaturan pasal ini gratifikasi yang dapat dijerat harus mencapai Rp 10 juta, yang harus dimaknai adalah semangat pengaturan ini, yang menghendaki pejabat publik menjauhi segala tindakan yang dapat menjerumuskannya pada konflik kepentingan. Hal ini juga sebenarnya sejalan dengan hadis (perkataan Nabi Muhammad SAW): Al-rasyi wa l-murtasyi fi l-naar (orang yang menyuap dan yang menerima suap akan masuk neraka). Jadi perbuatan ini sama-sama tercela secara hukum positif ataupun hukum agama, yang juga menihilkan nilai dan makna puasa bagi seorang muslim.
Jika parsel diberikan oleh pengusaha atau pihak tertentu yang memiliki kaitan langsung dengan jabatan dan posisi politik seorang pejabat publik, tentu tidak bisa diterima dengan alasan apa pun. Hal ini bisa ditelusuri dari posisi pejabat publik dan pemberi parsel. Apakah ada kaitan antara proyek pemerintah yang sedang dikelola oleh pejabat yang bersangkutan dan kepentingan bisnis sang pengusaha. Jika hal ini terjadi, praktek memberikan parsel telah termasuk kategori investive corruption (Alatas, 1987), yaitu pemberian yang dilakukan sekarang untuk kepentingan di masa depan. Dari penjelasan ini terlihat bahwa motivasi memberikan hadiah dalam kaitan dengan memberikan penghormatan dan dengan tujuan uang atau keuntungan bertentangan 180 derajat. Hadiah untuk penghormatan diberikan karena prestasi dan buah kejujuran, sedangkan pemberian karena uang berada di sisi yang bertolak belakang, yaitu karena mengharapkan seseorang melakukan suatu kejahatan terhadap publik, baik sedikit maupun banyak pengaruhnya bagi yang bersangkutan.
Pelarangan parsel
Tindakan KPK dengan memberikan seruan bagi semua pejabat publik untuk tidak menerima parsel adalah tindakan pencegahan yang harus disikapi serius. Sayangnya, seruan ini hanya akan seperti melukis di atas air, jika tidak diikuti oleh kebijakan di pemerintah yang cukup tegas disertai sanksi. Meskipun sudah beberapa instansi pemerintah yang menyambut baik seruan ini, seperti Kementerian Dalam Negeri dan kepolisian, seakan hanya dikembalikan kepada masing-masing individu pejabat publik.
Memang di satu sisi diperlukan keteladanan dari pejabat publik menyikapi seruan ini, seperti yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Daerah Lampung Brigadir Jenderal Suharijono, yang menuliskan penolakan Tidak menerima parsel di depan pos penjagaan kantornya. Namun, ini belum cukup menunjukkan komitmen pemerintah tanpa adanya aturan yang jelas tentang parsel. Setidaknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu melihat momentum Ramadan sebagai ajang perbaikan di tingkat pemerintah dan secara resmi memerintahkan seluruh jajaran pemerintah agar pejabatnya menolak pemberian parsel disertai aturan yang memadai. Hal ini seharusnya juga dilakukan oleh lembaga tinggi negara lainnya, seperti Mahkamah Agung, juga Badan Pemeriksa Keuangan, karena ada kemungkinan konflik kepentingan juga dapat terjadi berkaitan dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum di pengadilan ataupun tugas pengawasan anggaran negara.
Ibrahim Fahmy Badoh, ANGGOTA BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 Oktober 2006