Parsel, Suap Kemasan Baru?
Setiap kali mendekati hari raya (Idul Fitri maupun Natal), masalah bingkisan parsel senantiasa mengundang kontroversi.
Maklum, di balik gebyar peringatan hari besar keagamaan itu, parsel selalu menyertai. Bahkan, bisnis parsel kian menggurita, menjadi bisnis dengan omzet miliaran rupiah. Bisnis parsel telah menjadi bisnis musiman yang menggiurkan, menjadi tumpuan banyak kalangan.
Karena skalanya mega, orang yang terlibat bisnis ini juga amat besar. Mulai dari perajin keranjang parsel, penjual keranjang parsel, produsen barang pengisi parsel, yang amat beragam mulai dari makanan dan minuman ringan, buah-buahan, hingga berbagai barang kebutuhan lain. Belum lagi berbicara tentang berbagai gerai toko atau pedagang yang menawarkan parsel. Pendek kata, bisnis ini telah menjadi bisnis raksasa, yang melibatkan berbagai industri, mulai dari hulu hingga hilir.
Motivasi pemberian
Fenomena parsel, hadiah, bingkisan, atau apa pun namanya jika ditelusuri memang menunjukkan satu ciri khas. Bahwa di balik setiap pemberian parsel sekecil apa pun pasti terkandung motif-motif tertentu di dalamnya. Sangat jarang, misalnya, seseorang mengirim parsel tanpa motif apa pun. Bisa saja motifnya sederhana, yaitu agar persahabatan bisa langgeng, agar relasi bisnis tidak putus di tengah jalan, atau alasan-alasan lainnya. Intinya, tanpa itu semua bisnis, parsel tak akan berkembang pesat.
Pendek kata, pasti ada motif tertentu di balik pemberian parsel. Sangat jarang terjadi, pengiriman parsel tidak dilandasi hubungan bisnis tertentu di antara para pihak yang terlibat. Baik si pengirim parsel maupun si penerima parsel biasanya sudah memiliki hubungan (bisnis) tertentu sebagai pihak yang menerima maupun memberi sebuah aktivitas/kegiatan/proyek tertentu. Oleh sebab itu, parsel merupakan refleksi dari hubungan yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat dan dengan parsel hubungan itu dapat kian ditingkatkan.
Kalau kemudian, ranah (wilayah) parsel ini berkembang menyeruak di kalangan para pejabat negara, adalah fenomena yang mendukung premis di atas, bahwa pasti ada udang di balik batu di balik pemberian bingkisan parsel.
Tanpa ada hubungan dan motivasi semacam itu, rasa-rasanya parsel juga tidak banyak muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, tidak terlalu mengherankan bahwa masalah parsel ini kembali diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengantisipasi maraknya budaya suap atau sogok secara halus.
Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, KPK belum lama ini kembali mengingatkan seluruh jajaran penyelenggara negara dan jajaran direksi badan usaha milik negara untuk tidak memberi dan menerima parsel. Parsel dalam kadar/jumlah tertentu dapat dikategorikan dalam pengertian suap. Terlebih belakangan ini, bingkisan parsel sudah berubah wujud. Parsel tak hanya berwujud paket makanan dan minuman ringan, tetapi sudah berubah bentuk, mulai dari perlengkapan memasak, perlengkapan tidur, kristal, telepon seluler, yang nilainya bisa mencapai Rp 10 juta-Rp 20 juta.
Motif-motif
Maklum, seperti diungkapkan di atas, setiap pemberian parsel pasti dilandasi motif-motif (bisa positif maupun negatif) tertentu. Pemberian parsel yang dilakukan dengan motif agar si penerima parsel akan merasa utang budi dan kemudian memberi semacam proyek setidaknya dapat dikategorikan bentuk uang sogok atau uang suap. Terlebih apabila jumlahnya cukup besar, bisa dipastikan merupakan bentuk suap terselubung, suap halus, suap tertutup. Namun, apa pun namanya, hakikatnya adalah suap.
Bayangkan, beberapa tahun silam KPK pernah memeriksa seorang pejabat negara yang menerima keuntungan dalam bentuk parsel hingga mencapai Rp 2 miliar setiap kali Idul Fitri. Pejabat itu menerima sekitar 200 paket parsel, masing-masing nilainya sekitar Rp 10 juta. Luar biasa. Ini namanya bukan lagi bingkisan parsel biasa, tetapi sudah masuk dalam kategori memperkaya diri dengan menerima berbagai parsel dari pihak-pihak yang selama ini menjadi mitra bisnisnya.
Inilah sulitnya membedakan fenomena parsel sebagai bentuk pemberian yang tulus ikhlas dibandingkan dengan zakat, derma, hibah, atau pemberian karitas lainnya. Bisakah parsel disamakan dengan semua pemberian tanpa ikatan apa-apa layaknya zakat dan kawan-kawan itu? Bisakah parsel disamakan dengan pemberian hadiah tanpa motivasi apa-apa? Rasa-rasanya sulit karena parsel selama ini senantiasa berkorelasi dengan pemberian dari bawahan ke atasan, atau dari si pencari proyek ke pemberi proyek, dari pejabat BUMN ke pejabat departemen yang membawahi, atau dari pihak yang membutuhkan ke pihak yang bakal mencukupi kebutuhan.
Sangat jarang kita jumpai parsel dikirim dari menteri tertentu ke bawahannya setingkat dirjen atau pejabat BUMN, atau dari atasan ke bawahan, atau dari pemilik/pemberi proyek ke penerima proyek. Atau parsel dikirim dari orang-orang kaya ke orang- orang miskin di sekitarnya. Fenomena semacam itu sangat langka terjadi.
Oleh sebab itu, jangan disalahkan kalau ada yang memahami parsel sangat dekat dengan fenomena suap dan sogok dalam bentuk yang sangat halus. Ia berkorelasi dengan pemberian dengan motif untuk menerima sesuatu kelak di kemudian hari. Ada pamrih tertentu di balik setiap pengiriman parsel. Padahal, parsel sendiri pada awalnya merupakan bingkisan yang memiliki arti sebagai barang pemberian sebagai tanda bakti, hormat, dan sebagainya.
Parsel hakikatnya sama dengan pemberian hadiah. Sedangkan suap memiliki pengertian sebagai uang sogok. Sayangnya, parsel kemudian berubah menjadi pemberian yang berkonotasi suap dan sogok. Oleh sebab itu, parsel semestinya dikembalikan ke pengertian semula, hanya pemberian untuk tali asih, agar persaudaraan bisa langgeng, agar hubungan yang sudah ada menjadi lebih baik lagi. Sederhana saja kok, tidak usah dibikin ruwet.
Susidarto Praktisi Bisnis Perbankan, Tinggal di Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 20 Oktober 2006