Partai dan Pemburu Rente
Karakter pengelolaan dana partai 11 tahun terakhir belum sepenuhnya bergeser dari praktik pengelolaan dana partai di era Orde Baru.
Studi Cornelis Lay (1994) memberikan catatan menarik tentang karakter pengelolaan dana partai pada masa Orde Baru yang sepenuhnya bersifat personal. Kontrol atas dana, khususnya di Golkar, dilakukan segelintir orang di lingkaran kekuasaan. Para pengendali dana politik ini sama sekali lepas dari kendali kelembagaan partai. Kini, saat politik kepartaian telah bergeser radikal ke sistem multipartai-kompetitif, karakter yang serba personal itu belum sepenuhnya berubah.
Ini bisa dilihat dari beberapa indikasi. Pertama, karakter hubungan donatur dengan parpol dan kandidat masih bersifat personal dibandingkan institusional. Tak pernah ada pernyataan terbuka dari lembaga penyedia dana politik ke publik. Kontrol atas dana lebih banyak dilakukan kandidat atau lingkaran terdekat sehingga aktor yang dipercaya mengendalikan dana lebih didasarkan ikatan personal dengan elite di partai atau para kandidat.
Kedua, bendahara partai tak punya kontrol penuh atas dana yang masuk ke partai. Bendahara mungkin hanya punya akses pada dana yang bersumber dari bantuan resmi, baik dana subsidi kepada partai atau sumbangan kader partai. Selebihnya, dana politik dikendalikan secara personal oleh lingkaran kecil elite partai. Pengelolaannya sama sekali tak transparan, tak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik atau konstituen pendukung.
Ketiga, elite puncak partai secara personal jadi sumber dana tak terbatas sekaligus mengendalikan proses penyebaran dana politik. Dalam konteks ini, relasi kekuasaan yang terbangun dalam partai akan sebangun dengan struktur distribusi sumber dana. Elite partai yang mengontrol sumber dana akan memiliki posisi tawar lebih besar dalam mengendalikan arah dan posisi politik yang diambil oleh partai.
Belanja partai
Menguatnya ketergantungan pada para pengendali dana dalam partai tak bisa dilepaskan dari fenomena kian besarnya belanja partai 11 tahun terakhir. Belum bisa diperoleh data meyakinkan berkaitan berapa besar pengeluaran partai, baik untuk belanja pengorganisasian partai maupun belanja kampanye dalam pemilu pasca-Orde Baru. Bisa dibayangkan besarnya belanja untuk menggerakkan mesin partai di 33 provinsi dan 490-an kabupaten/ kota. Belum lagi ada momen-momen konsolidasi nasional yang harus dilakukan, seperti rapat kerja atau munas/kongres yang harus mendatangkan fungsionaris partai dari kabupaten/kota.
Walaupun belum bisa diketahui besarannya, belanja partai di Indonesia bisa dibagi jadi dua kategori besar. Pertama, belanja pengorganisasi partai, meliputi biaya yang dikeluarkan partai untuk membiayai aktivitas rutin. Aktivitas rutin meliputi rapat-rapat partai, biaya operasional kantor dan kesekretariatan partai, munas atau kongres partai, dan kunjungan fungsionaris partai ke cabang-cabang partai. Selain itu, ada pula aktivitas yang dilakukan pada momen-momen tertentu, tetapi diorganisasi partai secara kelembagaan, seperti ulang tahun partai, aksi sosial, bantuan bencana alam, dan lain-lain.
Kategori kedua, belanja kampanye yang merupakan bentuk pengeluaran partai dalam proses elektoral, baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif. Dalam setiap prosesi elektoral, partai harus menghadapi suasana politik kian kompetitif. Bukan hanya jumlah partai kian banyak, proses pemilihan dilakukan dalam arena yang lebih sempit (distrik), bersifat multilayer dan diselenggarakan dengan cara lebih terbuka (free election).
Kian besarnya belanja partai satu dasawarsa terakhir menimbulkan implikasi luas pada kian meningkatnya upaya partai memperoleh dana. Setidaknya ada dua sumber utama penggalangan dana partai. Pertama, dana nonbudgeter, yang digalang kader-kader partai di eksekutif, legislatif, maupun BUMN. Studi Dodi Ambardi (2009) memperlihatkan, parpol yang saat pemilu bersaing, berikutnya memiliki perilaku yang sama, yakni muncul sebagai partai kartel. Kartelisasi terjadi ketika muncul situasi di mana parpol kian bergantung pada negara dalam hal memenuhi kebutuhan finansialnya.
Namun, sumber dana yang diperoleh dari negara digalang dalam bentuk dana nonbudgeter. Dana diperoleh dari beragam sumber dalam negara. Partai yang bisa mengakses tentu saja yang punya akses politik ke sumber dana negara, terutama posisi dalam kementerian, BUMN, dan parlemen. Jenis kekuasaan politik di tiga posisi memungkinkan kader partai menjalankan politik perburuan rente.
Sumber dana kedua berasal dari sumbangan para pemilik modal besar. Kehadiran kekuatan bisnis dalam proses pembiayaan partai sejalan rekonfigurasi dalam struktur ekonomi Indonesia ketika para konglomerat kroni pemegang kekuasaan monopoli di masa Orde Baru mulai runtuh. Sejak Pemilu 1999, hubungan antara kelompok bisnis dan politik jadi berubah, dari hubungan yang didominasi satu kekuatan politik jadi pola hubungan transaktif.
Dalam pola hubungan transaktif, kekuatan politik dan bisnis berada dalam proses tawar-menawar berdasarkan prinsip mutualisme. Kekuatan bisnis memiliki sumber dana, sedangkan kekuatan politik punya otoritas dan akses pada kebijakan. Dalam pola hubungan ini, titik temu keduanya akan terjadi di arena elektoral; baik pemilu legislatif, pilkada, maupun pilpres. Kebutuhan kekuatan politik untuk membiayai aktivitas elektoralnya akan dipenuhi oleh kekuatan bisnis dengan investasi politiknya.
Reformasi pembiayaan
Dengan demikian, salah satu agenda pembicaraan yang tak bisa ditunda adalah menyehatkan proses demokrasi lewat berbagai bentuk reformasi pembiayaan partai. Ada tiga area reformasi pembiayaan partai yang perlu didorong. Pertama, reformasi sumber pendanaan (party income).
Ini bukan perbincangan sederhana karena terkait pilihan model bagaimana partai akan didorong membiayai aktivitasnya: (1) apakah dilakukan secara mandiri lewat model iuran anggota atau aktivitas ekonomi yang berorientasi profit milik partai semacam badan usaha milik partai; ataukah, (2) dikembangkan model pembiayaan partai oleh dana publik sehingga nantinya setiap partai mendapat peningkatan dana subsidi dari negara dan wajib diaudit BPK; atau pilihan (3) dimungkinkan model donasi, terutama dari kelompok kepentingan dan kelompok bisnis, yang diikuti penerapan aturan main ketat dalam pembatasan sumbangan dan larangan untuk menerima sumbangan dari sumber tertentu.
Kedua, reformasi pengelolaan keuangan partai yang transparan dan akuntabel. Tema ini menyangkut perbincangan bagaimana pengelolaan partai harus dilakukan? Apa standar pengelolaan dana partai yang wajib diterapkan oleh semua partai? Bagaimana menerapkan aturan pemisahan rekening dana partai dengan dana kampanye? Siapa yang mengelola? Siapa yang harus mengontrol pengelolaan keuangan partai? Seperti apa kontrol dilakukan? Bagaimana memastikan berjalannya pertanggungjawaban kepada publik atas dana partai dan dana kampanye?
Reformasi yang ketiga, reformasi pengeluaran partai (party expenditure). Tema ini juga sangat penting karena terkait bagaimana membuat biaya politik jadi lebih murah? Apakah perlu ada pembatasan total jumlah pengeluaran/belanja kampanye bagi partai ataupun kandidat? Bagaimana mengatur biaya kampanye lewat media agar bisa lebih murah dan kompetitif? Perlukah diberikan subsidi negara dalam kampanye media sehingga setiap partai punya ruang sama dalam kampanye di media, tanpa ada dominasi partai yang punya basis finansial yang kuat? Mungkin juga sangat berhubungan dengan bagaimana meredesain sistem pemilu yang lebih sederhana.
Pertanyaan yang muncul dalam ketiga agenda reformasi pembiayaan merupakan pijakan melangkah ke arah demokrasi yang sehat dan menyejahterakan. Tanpa itu, kita selalu dihantui oleh aksi para pemburu rente.
AA GN Ari Dwipayana Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 Desember 2010