Partai Demokrat Bungker Koruptor
INDONESIA Coruption Watch (ICW) bikin kejutan. Lembaga itu mengumumkan hasil penelitiannya bahwa ada tujuh kepala daerah yang terlibat kasus korupsi ternyata merasa nyaman menjadi kader Partai Demokrat, sebab hukum seakan-akan lunglai menyentuh mereka.
"Trennya, pindah dari partai yang ada ke partai pemenang pemilu. Ada beberapa di antaranya pindah ketika terkait kasus," ujar Tama Setya Langkun, peneliti ICW, dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Ada kesan, lanjut Tama, Partai Demokrat dan Ketua Dewan Pembina partai itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melindungi para oknum yang diduga terlibat korupsi. Sejumlah oknum tersebut bahkan dengan leluasa mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Kesan tebang pilih memberantas korupsi tidak bisa dihindarkan. Tama merujuk pada dua kasus, dari partai lain, yang proses hukumnya cepat. Kasus Misbakhun, kader PKS, misalnya. Begitu juga kasus Gubernur Sumatra Utara Syamsul Arifin, kader Golkar, yang kini meringkuk di Rutan Salemba.
Sebaliknya, kasus korupsi kepala daerah dari Partai Demokrat, yang telah menjadi tersangka, hingga kini tiada kunjung diadili. Bahkan, ditahan pun tidak (lihat grafis).
Demokrat tentu saja menampik tudingan sebagai partai pelindung koruptor. "Itu kepintaran (koruptor) masing-masing, kami tidak mencampuri," kilah Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat Ahmad Mubarok.
Lembaga perizinan
ICW bahkan berkesimpulan lebih jauh menyangkut konsistensi Presiden Yudhoyono dalam memberantas korupsi. Menurut ICW, tekad SBY memberantas korupsi masih sebatas pemanis bibir. Pasalnya, menurut penelitian ICW, 76% dari pernyataan SBY yang mendukung pemberantasan korupsi tidak terealisasi. "Hal ini memperlihatkan karakter gaya politik kosmetik," imbuh Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah.
ICW meminta Presiden untuk keras, tidak kompromi terhadap kader Demokrat yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, serta merevisi aturan izin pemeriksaan kepala daerah. "Karena izin ini rentan menjadi komoditas politik," tandas Febri.
Seperti diketahui, menurut Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden.
Kekuasaan memberi izin itulah menjadi sumber Presiden melakukan tindakan diskriminatif.
Pakar hukum pidana Rudi Satrio membenarkan bahwa lembaga perizinan itu telah menjadi batu sandungan yang diskriminatif sehingga harus dicabut.
Akan tetapi, Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan kejaksaan dan kepolisian bisa memeriksa dan menangkap kepala daerah bila dalam 60 hari pengajuan izin pemeriksaan kepada Presiden tidak mendapatkan respons. Namun, kenyataannya jaksa dan polisi tidak menggunakan kewenangan itu terhadap tujuh kepala daerah kader Demokrat.
Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Mas Ahmad Santosa melihat dari sisi lain. Sumber lain lemahnya penegakan hukum di daerah karena faktor kedekatan kepala daerah dengan kejaksaan dan kepolisian. "Sering kali penegak hukum ewuh pakewuh dalam bertindak tegas kepada gubernur atau bupati/wali kota," katanya. (Rin/Din/X-3)
Sumber: Media Indonesia, Senin, 25 Oktober 2010 00:00 WIB