Partai Politik dalam Pusaran Korupsi E-KTP
Tuesday, 21 March 2017 - 00:00
Beberapa hari sebelum pembacaan dakwaan, Ketua KPK mengisyaratkan penyebutan nama-nama besar dalam pusaran korupsie-KTP (KTP elektronik). lsyarat ini ternyata terbukti pada sidang perdana korupsi e-KTP. Jaksa penuntut umum (JPU) tidak hanya menyebutkan puluhan anggota DPR RI yang diduga terlibat, tetapi juga uang ratusan milyar yang mengalir ke sejumlah partai politik.
Dakwaan setebal 121 halaman itu mengonfirmasi isu soal korupsi e-KTP yang beredar selama ini. Ruang lingkup korupsinya tidak hanya menyangkut pengadaan barang dan jasa di pemerintah, tetapi juga mulai dari proses penganggaran. Secara tegas dakwaan menyebutkan semua pihak yang diperkaya oleh adanya korupsi e-KTP, yaitu jajaran Kementerian Dalam Negeri, korporasi, dan 59 anggota DPR RI yang 37 orang di antaranya adalah anggota Komisi II.
Jika diperhatikan lebih teliti, JPU berusaha membuktikan dua konstruksi. Pertama, korupsi pengadaan barang dan jasa di Kementerian Dalam Negeri. Dan kedua, dugaan korupsi dalam proses penganggaran di DPR RI. Pada bagian ini, JPU berusaha membuktikan keterlibatan anggota legislatif untuk ‘mengamankan’ proses penganggaran.
Diawasi Sejak Awal
Pengadaan barang dan jasa proyek e-KTP sebenarnya berada dalam pemantauan banyak pihak. Sedari awal, ada banyak lembaga yang memperhatikan proyek ini. Di antaranya adalah KPK, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), dan ICW. Persoalannya, masukan, saran dan rekomendasi yang dihasilkan dari pemantauan itu tidak ditindak-lanjuti secara serius oleh pemerintah sebagai penyelenggara barang dan jasa.
KPK telah menyampaikan tujuh butir rekomendasi terhadap proyek e-KTP. Salah satunya adalah penyempurnaan grand design e-KTP. Harapannya, pelaksanaan proyek besar ini dilakukan setelah basis database kependudukan bersih atau ketunggalan nomor induk kependudukan terjamin, tidak ada duplikasi.
Sementara yang terkait dengan pelaksanaan pelelangan, LKPP telah menyampaikan temuannya tentang indikasi pelanggaran terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa. Merujuk pada Surat LKPP Nomor B-3376/ LKPP /DIV.2/07/2011, panitia penyelenggara barang dan jasa diduga melakukan post-biding dalam proses pengadaan e-KTP. Yaitu tindakan mengubah, menambah, mengganti, dan/atau mengurangi dokumen pengadaan dan/atau dokumen penawaran setelah batas akhir pemasukan penawaran. Tindakan itu merupakan pelanggaran serius terhadap aturan pengadaan barang dan jasa.
Banyaknya indikasi pelanggaran dalam proses pelelangan membuat proyek ini disengketakan di KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Keputusannya, pemerintah dan konsorsium pemenang proyek terbukti melakukan persekongkolan tender. Atas perbuatannya ini, konsorsium PNRI (pemenang lelang) dikenai sanksi berupa denda Rp 20 milyar dan PT Astragraphia dikenai denda Rp 4 milyar. Namun pihak konsorsium lepas dari hukuman karena pada 29 Oktober 2014, KPPU kalah pada proses banding.
Selain persoalan dalam pelelangan, hasil pemantauan ICW menyebutkan bahwa proyek e-KTP sudahkeliru sejak dalam proses perencanaan. Pemerintah memaksa pendudukIndonesia untuk melakukan pembuatan KTP secara massal. Berdasarkan kontrak, pemerintah menargetkan pembuatan e-KTP untuk 67 juta penduduk pada tahun 2011 dan 105 juta penduduk pada tahun 2012. Bahwa proyek ini bakal kacau dan tidak selesai, sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak awal. Pemerintah terlalu ambisius dan
tidak rasional. Proyek e-KTP sebenarnya tidak akan masuk ke tahap penindakan (pengadilan) jika pemerintah mendengar masukan dan menjalankan rekomendasi dari lembaga lain. Celakanya, pemerintah tidak menghiraukan masukan dan tetap pada rencananya.
Indikasi Permainan Anggaran
Salah satu alasan perkara ini masuk kategorikorupsi besar adalah kerugian dan nilai proyek yang mencapai trilyunan rupiah. Lebih mengerikan lagi, dakwaan mendalilkan bahwa ada bancakan sebesar 49% (Rp 2,55 trilyun) dari nilai proyek. Gila, lebih dari setengah nilai proyek hilang dibagi-bagi. Alasan lain, kasus ini melibatkan sejumlah penyelenggara negara kelas atas.
Konfirmasi KPK mengenai pengembalian uang Rp30 milyar dari 14 individu membenarkan bahwa pernah terjadi penerimaan yang berhubungan dengan proyek e-KTP. Dari perspektif UU Tipikor, pengembalian ini tentu saja tidak akan menghapus unsur pidana. Para pihak yang mengembalikan kerugian Negara tetap harus menjalani proses hukum, meskipun dengan tuntutan dan hukuman yang lebih ringan daripada pihak yang tidak mengembalikan.
Hal yang paling menarik dari kasus ini adalah bermuaranya uang ratusan milyar ke partai politik. Jika benar terjadi, KPK memiliki tanggung jawab juga untuk mengejar partai politik yang ikut menikmati. Pertanyaan pentingnya, apakah KPK bisa meminta pertanggungjawaban partai politik jika terlibat dalam melakukan korupsi? Ya, mungkin saja bila KPK menambahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang (UU TPPU) dalam dakwaannya.
Menurut UU TPPU, yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut, partai politik tentu saja memenuhi kriteria sebagai korporasi.
Terhadap korporasi yang terbukti melakukan pencucian uang dengan kejahatan asalnya korupsi, maka dapat diberikan sanksi pidana pokok dan denda. Selain itu, korporasi bisa dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, perampasan aset, dan pembubaran.
Penggunaan UU TPPU sangat strategis dan relevan untuk melakukan sapu bersih terhadap individu dan korporasi yang terlibat melakukan korupsi. Jika penuntut umum berhasil membuktikan semua yang didalilkan dalam dakwaan, sekurang-kurangnya penegak hukum bisa merampas hasil kejahatan yang dikuasai oleh individu dan korporasi.
Reaksi Politisi Senayan
Penyebutan nama sejumlah anggota DPR yang dianggap menikmati hasil korupsi e-KTP mendapatkan reaksi yang sangat keras. Mereka yang namanya disebut, tidak hanya membantah, tetapi juga menempuh jalur hukum dengan melaporkan saksi dan terdakwa ke Bareskrim Polri.
Tepat pada 9 Maret 2017, Ketua DPR RI periode 2009-2014, Marzuki Ali, melaporkan Andi Narogong dankawan-kawan karena dianggap mengajukan pemberitahuan palsu kepada penguasa dan mencemarkan nama baik (UU ITE). Tidak berhenti sampai di situ, Marzuki Ali juga menyerukan kepada anggota DPR lain yang disebut dalam dakwaan untuk ikut melapor.
Bantahan dan jalur hukum tentu saja harus diletakkan sebagai hak warga negara. Hanya saja, demi kepentingan pemberantasan korupsi, ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, dalam kaitannya sebagai saksi, seseorang tentu harus mendapatkan perlindungan fisik/psikis, dan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan, khususnya UU perlindungan saksi dan korban. Apalagi, para terdakwa sedang dalam upaya mengajukan diri sebagai justice collaborator.
Perlindungan fisik dan psikis yang dimaksud adalah perlindungan dari acaman teror, intimidasi, dan ancaman lainnya atas kesaksian yang akan disampaikan. Perlu diingat bahwa saksi menyampaikan keterangan pada tempatnya. Di hadapan para penyidik dan kelak majelis hakim. Sedangkan untuk perlindungan hukum adalah kondisi di mana saksi tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian yang telah diberikan.
Kedua, dalam hal saksi mendapat tuntutan hukum atas kesaksiannya,maka menurut Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban, tuntutan tersebut wajib dihentikan. Maka dari itu, atas perintah undang-undang dan kepentingan pemberantasan korupsi, sebaiknya kepolisian menunda atau tidak menindaklanjuti laporan Marzuki Ali sampai putusan berkekuatan hukum tetap.
Selain melakukan bantahan, reaksi yang juga muncul dari politisi Senayan adalah wacana pengajuan hak angket korupsi e-KTP. Sudahlah, masyarakat sudah trauma terhadap model penyelesaian kasus korupsi lewat angket. Tidak ada perkara korupsi yang bisa terselesaikan lewat jalur itu. Jika diteruskan hanya akan menghabiskan waktu dan anggaran. Hal ini terbukti dari usulan hak angket Bank Century dan usulan hak angket dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Tantangan terbesar KPK bukan hanya menghukum parapenikmat korupsi e-KTP, melainkan juga memulihkan kerugian negara Rp 2,3 trilyun, sekaligus menghentikan dampak kerugian masyarakat yang lebih luas. Oleh sebab itu, dalam penanganan skandal e-KTP, kegaduhan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Semakin tinggi pangkat dan pengaruh pejabat yang dijerat, semakin besar kegaduhan yang akan muncul.
KPK tidak perlu khawatir soal kegaduhan itu. Itu bukan urusan KPK. Fokus saja pada upaya pembuktian di persidangan. Apabila ada ancaman kepada KPK atas penanganan kasus ini, rakyat pasti membela.
Tama S. Langkun, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW)
Versi cetak artikel ini terbit di majalah mingguan Gatra edisi 22 Maret 2017, di halaman 34-35 dengan judul " Partai Politik dalam Pusaran Korupsi E-KTP".