Partai Politik Diboncengi Pengusaha
Bohong, partai tak membutuhkan sumbangan.
Partai politik dinilai lebih berorientasi pada kepentingan kelompok daripada mengayomi masyarakat. Partai-partai politik diboncengi para pengusaha, kata anggota Kelompok Kerja Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Todung Mulya Lubis dalam Refleksi Akhir Tahun 2005 di gedung Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Jakarta, kemarin.
Todung lalu menyoroti pengusaha yang berpolitik. Menurut dia, sah saja pengusaha aktif di partai. Tapi ketika menjadi pejabat publik, pengusaha itu mestinya tak berbisnis. Tak ada kompromi soal itu. Namun, etika politik di Indonesia belum kuat sehingga memunculkan perselingkuhan kepentingan bisnis dengan politik. Ia mencontohkan perebutan jabatan di badan usaha milik negara.
Walau pengusaha lolos menjadi pejabat di BUMN melalui uji kelayakan, ia melanjutkan, pengusaha itu tetap memiliki beban membayar utang budi politik karena lolos atas bantuan partai. Itu sebabnya partai harus membuat aturan tegas yang melarang kadernya yang menjadi pejabat publik berbisnis. Tapi sistem kekerabatan di Indonesia masih sangat kental sehingga keluarga pejabat tetap berbisnis, yang pada gilirannya menyuburkan perselingkuhan itu.
Hadir menyampaikan refleksi akhir tahun, selain Todung, pendiri perhimpunan, Rahman Tolleng, dan anggota Kelompok Kerja Perhimpunan, Robertus Robet.
Menurut Rahman, gejala perselingkuhan bisnis dengan politik juga terjadi di negara-negara maju. Tapi di Indonesia lebih telanjang. Robet berpendapat, mestinya partai lebih mengayomi masyarakat dengan cara banyak menampung aspirasi dan melaksanakan amanah. Tak ada perubahan signifikan yang dibawa oleh partai, ujarnya.
Perhimpunan juga menyatakan, hasil survei Transparency International bahwa partai lembaga terkorup di Indonesia mencerminkan mosi tak percaya publik. Ketidakpercayaan itu antara lain karena partai tak transparan soal keuangan. Undang-Undang Partai Politik juga tak mengatur detail audit keuangan sehingga sumbangan untuk partai sulit terdeteksi.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chairul Azwar mengatakan, pengusaha banyak masuk partai karena konsekuensi dari larangan pegawai negeri sipil menjadi anggota partai. Maka wajar pengusaha memberikan sumbangan karena semua partai membutuhkan sumbangan untuk hidup asalkan tak melanggar undang-undang. Bohong kalau ada partai tak butuh sumbangan, ujarnya.
Rully membantah sumbangan dari pengusaha mengikat dan memiliki kepentingan jangka pendek. Wajar juga pengusaha sering berkomunikasi dengan partai karena kedekatan emosional.
Menurut Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini, siapa pun boleh membantu partai tapi harus sesuai dengan aturan dan etika. Partai juga mesti transparan dalam keuangan. Harus jelas dari siapa dan untuk apa, ujarnya. Jazuli setuju pengusaha dilarang berpolitik. Aturan itu bukan untuk membatasi hak berpolitik atau hak berusaha. Agar jabatan tak bisa dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau kelompoknya. PRAMONO
Sumber: Koran Tempo, 28 Desember 2005