Partisipasi Publik Memberantas Korupsi
Agar pemberantasan korupsi efektif, diperlukan pemberian ruang yang seluas-luasnya bagi partisipasi publik sebagai kontrol atau pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dalam pengelolaan dana publik.
Partisipasi publik menjadi penting setidaknya karena dua hal. Pertama, institusi-institusi formal yang bertugas melakukan audit atau pengawasan masih kurang peranannya dalam rangka pemberantasan korupsi tersebut. Kedua, partisipasi publik dapat memberi dorongan moral bagi institusi formal yang berwenang untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Seperti dikatakan Robert A. Dahl dalam bukunya, On Democracy, bahwa demokrasi dibangun hanya dengan partisipasi, yakni semua warga masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk ikut berperan serta mendiskusikan masalah-masalahnya dan mengambil keputusan.
Model-model partisipasi seperti dikutip dari Hetifah Sj. Sumarto dari Indonesian Partnership for Local Governance Initiatives (IPGI) sebagai berikut ini. Pertama, model kemitraan untuk membuka ruang partisipasi. Di sini birokrasi atau negara memberi ruang partisipasi dalam bentuk kemitraan, misalnya adanya program-program pemerintah yang dikelola secara partisipatif bersama warga masyarakat.
Kedua, model solidaritas untuk mengkonsolidasi suara kelompok komunitas. Model ini membentuk berbagai koalisi yang terdiri dari pedagang kaki lima atau anak jalanan. Ekspresinya bisa dilihat dalam bentuk demo ataupun dialog dengan pihak pemerintah untuk menyuarakan kepentingannya.
Ketiga, model tim kerja stakeholder untuk merumuskan strategi dan mengawasi proses. Dalam model partisipasi ini, seluruh stakeholder yang terkait dengan pembangunan tertentu, misalnya pemberantasan kemiskinan, harus duduk bersama untuk membangun persepsi dan aksi bersama. Ini sejenis forum yang menangani satu isu tertentu.
Keempat, model diseminasi informasi untuk mendorong daya kritis masyarakat. Dalam konteks ini, dibuka akses informasi untuk publik sehingga publik bisa kritis dan berpartisipasi terhadap kebijakan-kebijakan yang menyangkut komunitasnya.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, mungkin yang cocok adalah model partisipasi deseminasi informasi. Karena menyangkut pemberantasan korupsi adalah soal penyebaran informasi mengenai penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengelola dana publik.
Penyebaran informasi itu bisa dari publik ke aparat penegak hukum atau sebaliknya. Intinya, model partisipasi ini memberikan ruang ke publik untuk terlibat aktif mengungkap kasus-kasus korupsi tersebut.
Contoh seperti ini sudah terjadi, misalnya, dalam kasus korupsi di DKI Jakarta, yakni Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta Rusdi Taher mengucapkan terima kasih kepada pengirim surat kaleng berkaitan dengan barang bukti yang disimpan Bendahara KPUD ke tetangganya (Koran Tempo, 27/6).
Adanya laporan ini memudahkan penyidikan yang dilakukan pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terhadap kasus ini. Partisipasi inilah yang diharapkan dari publik sehingga pemberantasan korupsi menjadi efektif.
Di sisi lain, pihak aparat hukum tidak boleh mengabaikan informasi sekecil apa pun tentang tindak pidana korupsi, walaupun itu hanya surat kaleng. Tetapi aparat hukum harus menelusuri informasi karena hal ini akan bermanfaat bagi pengungkapan kasus korupsi tersebut.
Partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa didukung setidaknya dua hal. Pertama, keberadaan Undang-Undang Perlindungan saksi. Sebab, sering kali publik yang melaporkan korupsi justru sebaliknya, misalnya, menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik akibat gugatan balik dari individu/mereka yang dilaporkan melakukan korupsi.
Kedua, pemberian penghargaan bagi individu/mereka yang memberikan informasi tentang adanya kasus-kasus korupsi di semua level pemerintahan. Pemberian penghargaan adalah instrumen yang potensial untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi tersebut.
Muhtadi, Peneliti di Nalar Institute
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 5 Juli 2005