Pascapenahanan Ketua KPU
Bertepatan dengan peringatan ke-97 Hari Kebangkitan Nasional, Jumat (20/5), kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum memasuki episode penting dan menegangkan. Episode itu ditandai dengan ditetapkannya Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak cukup dengan perubahan status itu, KPK juga menahan Ketua KPU di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya.
Pascapenahanan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada dua isu penting yang mencuat ke permukaan. Pertama, bagaimana dengan anggota KPU lainnya yang juga punya indikasi keterlibatan hampir sama dengan Nazaruddin. Isu berikut, jika sebagian besar anggota KPU dijadikan tersangka (bisa juga langsung ditahan) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), langkah apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelamatkan institusi KPU.
Mencuatnya kedua isu itu terkait dengan karakter khas KPK dalam menangani kasus korupsi. Misalnya, Pasal 40 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tegas melarang KPK mengeluarkan perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan ketentuan itu, semua kasus korupsi yang ditangani KPK harus dilimpahkan ke pengadilan.
DALAM kasus korupsi KPU, sejak penangkapan Mulyana W Kusumah, publik melihat KPK begitu percaya diri dengan langkah yang dilakukan. Kepercayaan itu muncul karena Pasal 11 UU No 30/2002 memberi wewenang kepada KPK untuk membongkar tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.
Rasa percaya diri itu dapat dilihat dari langkah sistematis KPK mengungkap skenario di belakang rencana penyuapan auditor BPK, Khairiansyah Salman, oleh Mulyana. Misalnya, langkah antisipasi KPK menggeledah beberapa ruang penting di kantor KPU. Salah satu hasil yang mengejutkan, ditemukan dana miliaran rupiah berasal dari rekanan KPU. Berdasarkan keterangan beberapa figur kunci di sekretariat KPU, dana itu dikumpulkan atas perintah pimpinan KPU. Dana yang terkumpul tidak hanya dibagikan kepada kalangan internal KPU, tetapi juga mengalir sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat, BPK, dan Departemen Keuangan.
Sebagai superbody dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, semua upaya yang telah dilakukan bisa kehilangan makna secara signifikan jika KPK gagal menindaklanjuti penahanan Ketua KPU. Tindak lanjut itu tidak hanya sekadar mengajukan surat pemberhentian sementara Nazaruddin sebagai Ketua KPU kepada Presiden Yudhoyono, tetapi juga menyangkut anggota KPU lainnya yang punya indikasi keterlibatan yang hampir sama dengan Nazaruddin.
Di antara semua anggota KPU, perkembangan status hukum (mantan) anggota KPU Hamid Awaluddin termasuk yang paling menyita perhatian publik. Perhatian itu tidak bisa dilepaskan dengan posisi Hamid sebagai seorang menteri dalam kabinet Presiden Yudhoyono. Apalagi, Hamid sejak awal mengakui, ia memang menerima uang bukan gaji dari sekretariat KPU. Dengan alasan itu, pascapenahanan Ketua KPU, ujian terberat KPK adalah menyangkut kemungkinan perubahan status hukum Hamid.
Terkait kemungkinan perubahan status hukum Hamid, Presiden Yudhoyono sudah memberi pesan dan sinyal cukup jelas agar KPK tidak ragu memeriksa Hamid. Bahkan, apabila Hamid ditetapkan sebagai tersangka dan KPK mengajukan permohonan pemberhentian sementara Hamid sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Presiden Yudhoyono akan melakukan pemberhentian sementara agar pemeriksaan dan proses hukum berjalan baik (Kompas, 23/5). Kini, dengan adanya sinyal Presiden Yudhoyono, bola ada di tangan KPK.
Selain isu itu, masalah penting lain yang mungkin belum disentuh KPK adalah kemungkinan anggota (termasuk petinggi di sekretariat) KPU menerima kucuran dana langsung dari rekanan KPU. Berdasarkan jumlah uang yang dikelola KPU, dana dari rekanan bisa lebih besar dari jumlah yang ditemukan KPK. Untuk mengantisipasi kemungkinan itu, sebaiknya KPK segera meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lain tentang keadaan keuangan anggota KPU. Jika perlu, KPK memerintahkan bank bersangkutan memblokir rekening semua anggota KPU.
TERKAIT isu itu, kemungkinan KPK meningkatkan status hukum sebagian anggota KPU menjadi tersangka dan langsung melakukan penahanan seperti Ketua KPU. Kalau peningkatan status hukum tidak untuk seluruh anggota KPU, pemerintah dan DPR tidak perlu melakukan langkah darurat untuk mengganti anggota KPU yang diberhentikan sementara.
Melihat beban tugas yang ada, dengan jumlah terbatas (misalnya 3-5 orang), KPU masih bisa menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa. Apalagi, Pasal 16 Ayat (1) huruf a UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif (UU No 12/2003) menentukan, anggota KPU sebanyak-banyaknya 11 orang. Artinya, dengan jumlah 3-5 orang, penyelesaian tugas KPU tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan yang ada.
Namun, mencermati indikasi keterlibatan semua anggota KPU dalam menerima kucuran dana (via sekretariat) rekanan KPU, kemungkinan perubahan status hukum untuk semua anggota KPU tidak mungkin dihindari. Masalahnya, bagaimana menghadapi kemungkinan terjadinya kekosongan anggota KPU secara menyeluruh?
Pertanyaan itu cukup menarik karena UU No 12/2003 tidak mengantisipasi kemungkinan semua anggota KPU tersangkut korupsi. Sejauh ini, UU No 12/2003 memang membuka kemungkinan penggantian antarwaktu. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) huruf a UU No 12/2003, penggantian antarwaktu anggota KPU dilakukan oleh Presiden atas persetujuan dan/atau usul DPR.
Sekiranya semua anggota KPU diberhentikan sementara, penggantian antarwaktu menjadi sebuah keniscayaan. Meski demikian, penggantian itu harus dilakukan melalui proses seleksi. Mekanisme seleksi itu diperlukan untuk menjaga kemandirian KPU. Untuk mempersingkat proses, pemerintah dan DPR dapat melihat ulang nama-nama yang pernah ikut dalam seleksi periode lalu. Saya percaya, pemerintah dan DPR cukup paham dengan arti penting KPU yang mandiri. Selain untuk menjaga proses demokratisasi, KPU yang mandiri merupakan amanat UUD 1945.
Terlepas dari berbagai kemungkinan yang akan muncul dari proses hukum yang ada, KPK tidak boleh terpengaruh oleh kemungkinan terjadinya kekosongan anggota KPU. Biarkan masalah itu berkembang di luar KPK. Tugas KPK, membongkar semua indikasi penyimpangan di KPU. Bagi KPK, penanganan kasus korupsi KPU dapat dijadikan sebagai starting point untuk memulai periode kebangkitan nasional dalam memerangi korupsi.(Saldi Isra Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Pengajar Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 25 Mei 2005