Paskah Disebut Terima Rp 1 M; Hamka Yandhu Juga Akui Kaban Dapat Dana BI

Lanjutan sidang kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR memunculkan fakta mengejutkan. Bersaksi dalam perkara dua mantan pejabat BI, Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak, kemarin (28/7), anggota Komisi XI DPR Hamka Yandhu buka-bukaan.

Dia mengungkapkan bahwa sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 menikmati kucuran dana BI tersebut. Tak tanggung-tanggung, di antara orang yang dia sebut itu, terdapat dua nama menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Yakni, Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan/Kepala Bappenas Paskah Suzetta dan Menteri Kehutanan M.S. Kaban.

''Pak Paskah kira-kira menerima Rp 1 miliar,'' ujarnya dalam sidang di Pengadilan Tipikor kemarin.

Sementara itu, dana yang mengalir kepada Kaban mencapai Rp 300 juta. ''Untuk Kaban, saya juga yang memberikan,'' ujar Hamka yang kemarin mengenakan baju koko. Anggota lainnya menerima dana bervariasi, Rp 250 juta sampai Rp 500 juta.

Besaran dana yang diberikan kepada masing-masing anggota tidak ditentukan oleh dirinya, melainkan oleh Antony Zeidra Abidin. ''Antony yang menentukan berapa-berapa saja dana yang diberikan,'' ujarnya kepada majelis hakim.

Yang jelas, kata dia, semua unsur pimpinan Komisi IX DPR menerima kucuran dana tersebut. Selain Paskah, ada Emir Muis (FPDIP) yang menerima Rp 300 juta dan Ali Masykur Musa (FKB) yang mendapat Rp 300 juta. ''Dana itu saya serahkan sendiri. Penyerahannya secara bertahap,'' ungkapnya.

Untuk Faisal Baasir, kata Hamka, yang menyerahkan adalah Antony Zeidra. Karena itu, dirinya tak tahu berapa nilainya.

Menurut pengakuan Hamka, uang mengalir ke 13 anggota komisi IX dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang masing-masing menerima Rp 250 juta. Di antaranya, Sutarto, Sukono, dan Max Moein.

Uang juga mengalir ke sejumlah politikus Fraksi PPP dan Fraksi Kebangkitan Bangsa. Uang Rp 1 miliar diberikan Hamka kepada Amru Al Mutazim (FKB) dalam empat tahap yang lantas dibagikan kepada beberapa anggota fraksi. Uang dengan jumlah yang sama juga mengalir kepada anggota Fraksi TNI-Polri, Fraksi Daulat Umat, FPBB, serta FKKI.

Soal modus penyerahan, Hamka mengaku uang tersebut diserahkan di ruangan kantornya saat istirahat. ''Mereka naik ke ruangan saya, Pak,'' ujarnya.

Sebagai operator, Hamka mengaku menerima dana Rp 500 juta. Namun, sekitar April 2008, dana tersebut dikembalikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belakangan, dia baru mengetahui bahwa dana tersebut menjadi persoalan. Selama ini, dirinya mengaku dana tersebut disimpan di bank dalam bentuk deposito.

Terkait dengan pengakuan itu, Ketua Majelis Moefri kaget. ''Jadi, dananya diterima pada 2003, baru dikembalikan lima tahun kemudian? Itu tentu setelah ada penyidikan. Coba kalau tidak ada penyidikan, apakah Saudara saksi akan mengembalikan?'' kata Moefri.

Mendengar pertanyaan balik tersebut, Hamka hanya tertunduk.

Bagaimana uang itu mengalir ke DPR? Hamka mengaku hanya ikut-ikutan. Menurut dia, dana Rp 31,5 miliar diserahkan Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari (staf BI) dalam empat kali di dua tempat, yakni rumah Antony di Kawasan Gandaria dan Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan). Uang tersebut diterima dalam bentuk tunai.

Tahap pertama diserahkan Rp 2 miliar, namun yang diterima hanya Rp 1,8 miliar. Selanjutnya diserahkan Rp 5,5 miliar, namun hanya diterima Rp 4,95 miliar. Tahap ketiga Rp 10,5 miliar, namun diterima Rp 9,4 miliar. Tahap keempat Rp 6 miliar, yang diterima Rp 5,4 miliar. ''Memang ada pemotongan oleh BI,'' jelas Hamka.

Dalam BAP yang dimiliki Jawa Pos, Hamka mengaku ada pemotongan 10 persen yang dia ketahui dari Antony. Pemotongan tersebut atas kesepakatan dengan Asnar dan Rusli.

Untuk apa uang yang mengalir ke DPR? Hamka mengungkapkan, uang itu digunakan untuk keperluan pembahasan permasalahan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pembahasan revisi UU BI. Namun, dalam praktiknya, dia mengaku para anggota dewan menggunakannya untuk kepentingan lain. ''Untuk kampanye, mungkin,'' ujarnya.

Selain memeriksa Hamka, majelis hakim kemarin meminta keterangan dua anggota FKB, yakni Amru Al Mutazim dan Ali As'ad. Kepada majelis, Amru mengaku menerima dana Rp 300 juta dari Hamka. ''Saya diberi amplop Pak Hamka. Halal katanya. Saya terimalah,'' jelasnya. Dia menuturkan, ketika dibuka di rumah, dirinya baru tahu bahwa isinya Rp 100 juta. Dia menyatakan uang Rp 200 juta diberikan menyusul.

Pria paro baya tersebut mengaku menggunakan dana itu untuk sosialisasi di daerah. ''Setiap reses, kami selalu terjun ke daerah. Nah, uang itu kami gunakan,'' katanya.

Dia mengungkapkan, uang itu digunakan untuk keperluan kampanye pemilu. ''Pemilu itu kan butuh bendera, butuh kaus. Dananya untuk itu,'' ungkapnya.

Setelah kasus itu mencuat, Amru mengaku mengembalikan uang tersebut ke KPK. Sama halnya dengan Hamka, uang itu dikembalikan ke negara setelah lima tahun berselang.

Pengakuan yang sama disampaikan Ali As'ad. Pria 56 tahun tersebut mengaku menerima Rp 100 juta. Kepada majelis hakim, Ali menyatakan menggunakan dana tersebut untuk sosialisasi kepada konstituen atau lebih tepatnya untuk berkampanye. ''Waktu itu sudah dekat pemilihan. Jadi, kami memanfaatkan untuk kampanye,'' ujarnya.

Mendengar pengakuan Ali, Moefri langsung mengajukan protes. ''Bagaimana bisa, beda fraksi kok saling membantu dana kampanye seperti itu?'' katanya.

''Saya kira, itu solidaritas antarfraksi,'' jawab Ali kepada ketua majelis hakim. (git/ein/nw)

Sumber: Jawa Pos, 29 Juli 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan