Paskah Makin Terpojok; Disebut Skenariokan Penyelamatan DPR
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bapenas Paskah Suzetta semakin terseret dalam pusaran kasus aliran dana Bank Indonesia (BI). Dari kesaksian mantan kepala biro humas Bank Indonesia periode Burhanuddin Abdullah, Rizal Anwar Djaafara, dan Ketua Ikatan Pegawai BI Lucky Fathul Azis Adibrata di Pengadilan Tipikor kemarin (6/8), terungkap bahwa Paskah bukan hanya menerima Rp 1 miliar dari BI. Politikus kawakan Golkar itu juga menjadi otak yang mengatur skenario agar kasus bagi-bagi duit Rp 31,5 miliar ke DPR tidak sampai menyeret wakil rakyat yang menerimanya ke pengadilan.
Saat menjadi saksi untuk mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Rizal yang juga pimpinan BI Makassar mengungkapkan adanya skenario yang disusun Paskah untuk menyelamatkan muka DPR dalam kasus tersebut.
Melalui Hamka Yandhu yang menelepon dirinya, Rizal mengetahui adanya permintaan Paskah untuk bertemu Burhanuddin terkait laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang kasus BI ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi, dalam pertemuan yang disepakati berlangsung di Hotel Dharmawangsa pada November 2006 itu, Paskah malah tidak datang.
Mantan ketua Komisi IX DPR periode 1999-2004 itu mewakilkan kehadirannya kepada Hamka dan anggota DPR Boby Suhardiman. Dari pihak BI hadir Burhanuddin, Rusli Simanjuntak, dan Rizal Djaafara.
Dalam pertemuan itulah, Paskah melalui Hamka Yandhu menawarkan skenario agar anggota DPR bebas dari kasus BI. "Ada skrenario bahwa uang tersebut (aliran dana BI Rp 31,5 miliar) hanya sampai Rusli (Rusli Simanjuntak, Red). Dengan demikian, uang ke DPR melalui Hamka tidak dianggap ada. Karena itu, Ruslilah yang harus mengembalikan," ujar Rizal soal pertemuan yang disertai makan malam itu. Paskah juga meminta perkara distop agar tidak sampai ke pengadilan.
Laki-laki bertubuh kurus itu juga mengungkapkan alasan Paskah menjadikan Rusli sebagai kambing hitam. Pasalnya, mantan pimpinan BI Surabaya itu yang diperintah Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 22 Juli 2003 untuk menangani Komisi IX DPR dalam hal amandemen UU BI dan penyelesaian BLBI. Namun, tambah Rizal, intinya BI yang harus mengembalikan dana tersebut ke kas YPPI. "BI diminta mencari dana, dari anggaran BI sendiri atau dari mana terserah, yang penting DPR tidak terkait," ujar Rizal.
Bagaimana sikap Burhanuddin? "Pak Gubernur (Burhanuddin, Red) tidak menanggapi saran Paskah melalui Hamka. Beliau mengatakan akan mencari jalan penyelesaian politis. Pak Hamka juga diminta berupaya mencari jalan, mengingat persoalan itu mengangkut nama institusi," ujar pria kelahiran Gorontalo itu.
Dalam kesaksian berikutnya, Kepala Perwakilan BI di New York, Lucky Fathul Aziz Adibrata, mengaku ikut pertemuan BI dengan Paskah di Hotel Le Meridien Jakarta dua kali.
Pertemuan pertama, ujar Lucky yang juga ketua Ikatan Pegawai BI itu, terjadi pada Agustus 2005. Saat itu yang datang adalah Rusli, Lukman Boenjamin, Lucky, Paskah, dan Hamka. Pertemuan itu membahas tiga hal, temuan BPK atas uang Rp 31,5 miliar untuk tugas DPR dan mempertegas kejelasan uang itu, keraguan Paskah tentang besaran uang tersebut, serta membahas laporan BPK ke KPK. "Paskah mengusulkan agar BI melakukan pertemuan dengan ketua BPK untuk penyelesaian masalah itu," ujarnya. Paskah juga meminta BI bertanggung jawab karena institusi itu yang mengeluarkan uang.
Pertemuan kedua digelar akhir Desember 2005 di hotel yang sama. Saat itu, Rusli tidak ikut. "DPR minta BI membuat laporan pertanggungjawaban kepada BPK sesuai permintaan BPK," ujar pria yang punya tahi lalat besar di bawah mata kirinya itu.
Antony marah
Tak hanya mengungkap skenario Paskah, Rizal juga membeberkan sikap Antony Zeidra Abidin terkait surat BPK berkode "Rahasia" soal aliran dana BI yang memuat namanya sebagai salah satu penerima. Dia menceritakan, Antony yang saat itu menjabat ketua Subkomisi Perbankan Komisi IX DPR minta dipertemukan dengan Burhanuddin Abdullah. Permintaan itu disampaikan anggota Komisi IX lain, Boby Suhardiman, melalui telepon kepada Rizal.
Dipertemukanlah Antony dengan Burhanuddin di gedung BI. Menurut Rizal, pertemuan itu digelar sebelum pertemuan Dharmawangsa. "Antony marah karena hanya dia sendiri yang namanya ada di audit BPK," ujar Rizal soal pertemuan Antony-Burhanuddin. Dengan nada emosi, ujarnya, Antony minta gubernur BI menyelesaiakan permasalahan itu.
Antony juga menyampaikan kepada Burhanuddin bahwa dirinya merasa dikorbankan oleh rekan-rekannya sesama anggota DPR.
Tak hanya itu. Wakil Gubernur Jambi nonaktif itu juga mengingatkan Burhanuddin atas "jasa-jasanya" memberikan bantuan cukup besar dan memperjuangkan Burhanuddin menjadi gubernur BI di DPR pada saat proses pemilihan gubernur BI (fit and proper test).
Pertemuan selanjutnya antara BI dan Antony digelar di lantai 25 Wisma Nusantara. Rizal mengaku diajak mantan Direktur Pengawasan Internal BI Lukman Boenjamin. Saat itu Antony menceritakan, berdasarkan informasi adiknya di KPK, proses di KPK tidak bisa dihentikan. "(Lalu, Red) Pak Antony bilang dia akan menyanggah karena tidak ada bukti. Kalaupun (kasus, Red) terus dia tetap sanggah," ujar Rizal, lantas mengungkapkan bahwa Antony minta BI berupaya mengentikan kasus BI.
Pernyataan Antony bahwa dirinya menyanggah menerima dana BI memang terjadi. Dalam pemeriksaan oleh penyidik KPK yang dituangkan dalam BAP, dia tidak mengaku menerima kucuran dana BI dan melakukan pertemuan dengan Hamka, Asnar, dan Rusli di Hilton dan di rumahnya di kawasan Gandaria. Belakangan, melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, dia mengakui adanya pertemuan-pertemuan itu. Namun, bukan serah terima uang. Antony mengaku diserahi buku.
Dana BI Lain ke DPR
Tak hanya Rp 31,5 miliar dana BI dari YPPI yang dikucurkan ke dewan. Dalam kesaksiannya kemarin Rizal juga mengaku ada anggaran BI yang dikucurkan ke DPR. Pada 2004, aliran Rp 500 juta juga dikirim ke DPR untuk kepentingan UU Likuiditas BI pada 8 September. Pada 17 September Rp 120 juta untuk kepentingan badan supervisi BI. Lalu Rp 540 juta dikucurkan pada 21 September untuk persetujuan DPR atas anggaran BI.
Pada 29 September giliran Rp 1,3 miliar dikucurkan untuk diseminasi RUU Pajak. Sementara itu, pada 28 September Rp 1,35 miliar dikucurkan untuk kepentingan RUU penjaminan simpanan.
Mendengar kesaksian Rizal, Burhanuddin tak membantah. Namun, pria kelahiran Garut itu mengatakan sebagai gubernur BI dirinya hanya meneruskan kebijakan pendahulunya, Sjahril Sabirin. "Apakah Saudara ingat tugas pengawas biro gubernur dipegang Aulia Pohan?" tanyanya, lantas diiyakan Rizal.
DPR Minta Rp 40 Miliar
Salah satu operator aliran dana BI ke DPR, mantan analis senior BI Asnar Ashari mengungkapkan, uang Rp 31,5 miliar yang diserahkan BI tak sesuai permintaan DPR. Menurut dia, DPR sebetulnya meminta Rp 40 miliar, Rp 15 miliar untuk penyelesaian BLBI dan Rp 25 miliar untuk amandemen UU BI. "Antony mengatakan bahwa penyelesaian BLBI diperlukan biaya," ujarnya.
Asnar yang sekarang menjadi analis eksekutif BI itu mengungkapkan, DPR beralasan bahwa masalah BLBI bernilai Rp 144 triliun. "Tidak hanya melibatkan individu di DPR, tapi juga fraksi di DPR," ujar pria berkumis tipis itu. Dia mengaku lantas melaporkan permintaan DPR ke Aulia Pohan.
Kenapa bisa Rp 31,5 miliar yang mengalir? Menurut Asnar, setelah menyerahkan dana Rp 15 miliar, sisa dana di YPPI hanya Rp 16,5 miliar. Ditambahkannya, uang itu dialirkan ke DPR melalui Antony dan Hamka sebanyak lima kali. Tempatnya di Hotel Hilton tiga kali dan dua kali di rumah Antony, Jalan Gandaria. "Di rumah Antony bertepatan dengan makan siang, disuguhi ayam goreng Ny Suharti," ujarnya, mengingat menu makanan yang disuguhkan Antony dalam dua kali kunjungan di rumah itu.
Adakah alat bukti penerimaan? "Pak Rusli menyatakan minta tanda terima, tapi beliau-beliau tidak bersedia," ujarnya. Dia lantas menyebutkan pihaknya punya bukti pengambilan dana YPPI lima kali.
Dalam persidangan kemarin juga ditunjukkan dua koper hitam dan sebuah tas pakaian merah-hitam digunakan dua pejabat BI, Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari, untuk menyerahkan uang Rp 31,5 miliar kepada dua mantan anggota Komisi IX DPR Antony Zeidra Abidin serta Hamka Yandhu.
Satu berukuran 1 x 0,5 meter berwarna hitam dengan tulisan 'Elle Paris' besar di belakangnya. Satu koper kecil hitam, dengan cover kulit berwarna senada. Menurut Asnar, ketiga koper ini penuh terisi uang pecahan Rp100.000.
Dia menyerahkan uang itu tanpa didampingi seorang pengawal pun. "Hah?! Apa tidak takut hilang?" tanya ketua majelis hakim Moerdiono, sambil menggelengkan kepala. (ein/kim)
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2008