Pejabat (Elite) Perusak Hutan
Harus diakui, kerusakan hutan Indonesia tak lepas dari tiga elemen; masyarakat, pejabat (elite), dan pengusaha (cukong). Ketiga elemen tersebut memiliki porsi berbeda, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Harus diakui, kerusakan hutan Indonesia tak lepas dari tiga elemen; masyarakat, pejabat (elite), dan pengusaha (cukong). Ketiga elemen tersebut memiliki porsi berbeda, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Tertangkapnya anggota DPR Al Amin Nur Nasution bersama Azirwan (Sekda Bintan) di Hotel Ritz Calton Mega Kuningan, Jakarta, oleh KPK -diduga terkait kasus suap alih fungsi hutan lindung di Bintan, Kepulauan Riau- mengindikasikan bahwa elite diam-diam menjadi agen perusak hutan secara struktural.
Penyalahgunaan wewenang, penyelewengan amanah serta tanggung jawab menjadi hal jamak bagi kalangan elite. Tentu tidak semua elite pejabat dan wakil rakyat demikian, namun satu-dua nama yang tertangkap tangan sudah cukup untuk mencoreng harkat dan martabat dewan yang terhormat.
Fakta pejabat perusak hutan diperkuat terkuaknya kasus illegal logging di Ketapang, Kalimantan Barat, yang menyeret nama Kapolda Kalbar Brigjen Zaenal Arifin dan tiga anggota Polres Ketapang. Pasalnya, aparat tersebut menjadi backing pembalakan liar di Ketapang.
Selain itu, salah seorang calon wakil bupati Kayong Utara, Pontianak, Kalimantan Barat, Adi Murdani ditangkap karena diduga berperan sebagai koordinator yang menyerahkan upeti kepada sejumlah aparat keamanan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dalam menyelundupkan kayu hasil kejahatan. Upeti tersebut diserahkan untuk meloloskan kayu-kayu tanpa dokumen sehingga bisa dikirim bebas sampai ke Malaysia (www.okezone.com).
Fakta yang terjadi -berkaitan dengan illegal logging, illegal trading, dan praktik alih fungsi hutan lindung yang mengakibatkan berkurangnya luas kawasan hutan- itu menunjukkan bahwa pejabat (elite) ikut andil terhadap tingginya laju deforestasi.
Dalam kasus alih fungsi hutan lindung Pulau Bintan, kawasan hutan lindung yang bakal dikonversi seluas 8.000 hektare dari total 102.234 hektare (luas Pulau Bintan). Sebagian besar lahan (7.300 hektare) diperuntukkan sebagai central business development alias pusat bisnis dan perumahan. Sekitar 200 hektare sisanya digunakan untuk kantor pemerintahan. Kabarnya, di belakang perubahan alih status hutan, ada kepentingan salah seorang konglomerat (Jawa Pos, 10/4/2008).
Di sini terlihat pejabat dan anggota dewan terkesan arogan. Para pembuat peraturan itu memiliki fleksibilitas untuk mengubah, merevisi, meralat, bahkan membuat peraturan baru yang menggantikan peraturan lama. Semua bisa dikompromikan dan didiskusikan. Yang terpenting, ada alasan kuat sebagai justifikasinya: atas nama kepentingan rakyat.
Pada 1992, menteri kehutanan pernah menetapkan perubahan fungsi hutan produksi di Pulau Bintan menjadi hutan lindung. Pertimbangannya adalah kawasan tersebut merupakan daerah resapan air (catchment area).
Bahkan, pemerintah saat itu berencana membangun waduk agar airnya bisa diekspor ke Singapura (meski sampai sekarang proyek itu tidak terlaksana). Pertimbangan pemerintah waktu itu tentu masuk akal karena didahului dengan penelitian dan observasi ahli yang berkompeten.
Pada 2004, keluar PP No 38/2004 tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Bintan) dari Tanjung Pinang ke Bandar Seri Bentan di Kecamatan Teluk Bintan.
Konsekuensinya adalah megaproyek pembangunan central business, area perkantoran pemerintah, perumahan, serta sarana dan prasarana lain sebagai penunjang layaknya sebuah ibu kota kabupaten.
Di sinilah peran pejabat dan anggota dewan terlihat. Dengan legitimasi UU 41/1999 tentang Kehutanan pada pasal 19 ayat 1 dan 2 disebutkan: Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu (ayat 1). Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (ayat 2).
Dengan berlandas UU 41/1999 pasal 19 (ayat 1 dan 2) di atas, Departemen Kehutanan dengan persetujuan DPR telah mengizinkan alih fungsi kawasan tersebut. Ketua Komisi IV DPR Ishartanto mengatakan, pada 8 April 2008 Komisi IV DPR menyetujui alih fungsi lahan yang berada di wilayah Bintan Buyu. Persetujuan itu diberikan setelah komisi IV mempelajari hasil kajian teknis yang beranggota kalangan perguruan tinggi dan LSM. Rekomendasi mereka positif, lanjut Ishartanto.
Sebuah ironi memang, ketika beda pemerintah, beda kebijakan. Seakan menafikan standar definisi hutan lindung. Padahal, telah dijelaskan dalam bab I pasal 1 (ayat 8) UU 41/1999 bahwa yang dimaksud hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Artinya, bila penutupan vegetasi pada hutan lindung hilang, tentu bahaya banjir, tanah longsor, dan degradasi kesuburan tanah akan mengancam setiap saat.
Dalam kasus tersebut, pemerintah tidak lagi mengedepankan kelestarian ekosistem hutan, konservasi tanah dan air, serta jasa lingkungan, tetapi lebih pada kepentingan pembangunan.
Meski hanya 7,8 persen dari total luas Pulau Bintan, jumlah itu sudah cukup signifikan dalam menyumbang naiknya laju deforestasi, menurunkan kemampuan penyerapan karbon, dan menambah tingkat emisinya. Bila demikian faktanya, apakah layak pejabat (elite) dikatakan ikut andil besar dalam perusakan hutan? Wallahu a