Pelemahan Komitmen; Antiklimaks Pemberantasan Korupsi
Genderang perang melawan korupsi sudah ditabuh sejak awal reformasi 1998. Gemanya jauh lebih menggelegar ketika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat hasil reformasi berhasil melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Banyak pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun kalangan swasta rekanan pemerintah yang sudah dikirim ke penjara. Banyak kalangan terusik sekaligus gerah dengan kerja komisi yang awalnya didesain superbodi ini. Ujungnya, cerita kriminalisasi yang hingga kini tak pernah tuntas dicari siapa otak di balik semua hiruk-pikuk perseteruan para cicak-buaya tahun lalu.
Tahun ini, kita mencatat sejarah penting dalam gerakan pemberantasan korupsi. Untuk pertama kalinya, seorang terpidana kasus korupsi diampuni. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi/pengampunan kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) Syaukani Hasan Rais bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
Meskipun pemerintah beralasan grasi diberikan karena alasan kemanusiaan—seperti diberitakan, Syaukani sakit stroke permanen—aktivis antikorupsi menghunjamkan kritik, baik kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia maupun Mahkamah Agung, yang menyetujui pemberian grasi (dalam pertimbangan yang dikirimkan kepada Presiden).
Lebih aneh lagi, respons terhadap permohonan grasi ini relatif cepat dibandingkan dengan lebih dari 2.000 permohonan sama yang menunggu hingga tahunan di Kementerian Hukum dan HAM tak juga selesai diproses.
Tak bisa dimungkiri, di negeri ini, jarak antara kata-kata dan tindakan memang jauh. Perang terhadap koruptor telah dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak periode pertama kepemimpinannya pada 2004. Perang yang terus diulang hingga sekarang. Namun, ampunan untuk koruptor tetap dikeluarkan. Pengurangan hukuman (remisi) dan pembebasan bersyarat tetap diberikan sehingga jangka waktu terpidana kasus korupsi mendekam di penjara kian singkat saja.
Skandal Besar Tak Tersentuh
Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis, dalam keterangan persnya ketika meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010, bahkan mengaku kaget ketika mendapati IPK Indonesia bertahan di skor 2,8. Skor yang sama dengan tahun sebelumnya. Dengan skor tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 178 negara. Peringkat tertinggi (terbersih) dengan skor 9,3 diraih Singapura, Denmark, dan Selandia Baru. Skor terendah 1,1 diraih Somalia.
Todung sempat menduga, skor Indonesia bakal menurun mengingat melemahnya kinerja pemberantasan korupsi dan upaya pelemahan secara sistematis terhadap lembaga antikorupsi.
Upaya pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi memang terlihat berhasil. Ini setidaknya terlihat dari menurunnya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama periode 2010, terutama setelah kasus kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menilai, kinerja pemberantasan korupsi tahun ini lebih buruk dibandingkan dengan tahun 2009. Skandal-skandal besar tidak tersentuh.
Skandal yang dimaksud Febri adalah rekayasa/kriminalisasi Bibit-Chandra. Pelaku-pelakunya serta orang-orang yang namanya disebut di dalam rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo, yang diputar di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), November tahun lalu, melenggang. Tak ada yang bertanggung jawab atas rekayasa kasus itu meski secara jelas MK membenarkan adanya indikasi rekayasa.
Semua pihak juga terkesan lupa bahwa polisi tidak mampu menghadirkan barang bukti berupa rekaman pembicaraan telepon yang menjadi bukti awal penersangkaan Bibit-Chandra ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk KPK sendiri, kasus kriminalisasi ini ditengarai telah mengakibatkan kinerja KPK merosot hingga 50 persen. Berdasarkan data ICW, KPK telah menetapkan 100 tersangka dalam 41 kasus selama rentang waktu Januari 2009-September 2010. Ada bulan-bulan ketika KPK tidak menersangkakan seseorang, yaitu Januari 2009, Juli 2009 (saat itu Chandra mulai diperiksa kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2009), dan Agustus 2010.
Bukan cuma soal kuantitas penanganan perkara. Febri menilai, kemerosotan itu juga terjadi di ranah kualitas perkara yang ditangani KPK. Pada masa-masa tersebut, KPK hanya menjerat korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah. Sejumlah kepala daerah yang dijerat KPK antara lain Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, Bupati Boven Digul, Wali Kota Bekasi, dan Bupati Brebes (Jawa Tengah).
Sedikit gebrakan baru dikeluarkan KPK pada September 2010, KPK menetapkan 26 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009 dalam kasus dugaan penerimaan cek perjalanan dalam kaitannya dengan pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom. Namun, Febri mengingatkan, dalam kasus ini pun KPK belum mampu menjangkau pemberi traveler’s check dan otak tindak pidana tersebut.
Padahal, ekspektasi masyarakat terhadap lembaga ini sangatlah tinggi. Publik berharap, KPK bisa membongkar kasus Bank Century, mengambil alih skandal mafia pajak Gayus HP Tambunan dari kepolisian, ketika oknum polisi masih bisa disuap dan membiarkan Gayus ke Bali. Demikian pula ketika polisi belum juga menyentuh perusahaan-perusahaan lain (selain PT SAT) yang diakui Gayus memberikan dana lebih besar. Singkatnya, skandal- skandal besar tak disentuh KPK.
Sikap KPK yang terkesan enggan mengambil alih kasus Gayus ini tak dapat dilepaskan dari pengaruh psikologis kasus kriminalisasi Bibit-Chandra. Seperti diketahui, kasus Gayus telah menyeret sejumlah nama perwira kepolisian dan jaksa pada Kejaksaan Agung, seperti Sri Sumartini, Komisaris Arafat, Cirus Sinaga, dan Poltak Manulang.
”Mereka jadi sulit, terhambat jika akan menangani kasus kepolisian,” kata Febri.
Terkesan Dibiarkan
Sayangnya, kasus-kasus yang mengguncang jagat penegakan hukum tak disikapi secara memadai oleh lembaga kepresidenan. Ini terlihat setidaknya dalam pemilihan pemimpin Kepolisian dan Kejaksaan. Pemilihan pemimpin dua lembaga penegak hukum ini sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan penuntasan sejumlah skandal besar dan pembersihan internal.
Ketika itu, publik menginginkan figur Jaksa Agung dari luar Kejaksaan karena dinilai lebih mampu menjamin upaya pembenahan dan pembersihan internal. Hal ini memicu reaksi dari sekitar 7.000 jaksa yang menolak Jaksa Agung nonkarier. Presiden akhirnya mengambil jalan tengah, memercayakan kursi Jaksa Agung kepada seorang mantan jaksa.
Demikian pula ketika Presiden memilih Kepala Polri yang sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan penuntasan skandal besar kriminalisasi pimpinan KPK. Bagi Febri, Presiden juga tidak mendorong adanya pengusutan dan penuntasan dalam hal tersebut.
Kesan membiarkan dalam perdebatan masa jabatan pengganti Ketua KPK Antasari Azhar. Seperti diketahui, DPR menginginkan Busyro Muqoddas hanya menjabat selama satu tahun. Padahal, awalnya Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK—yang kemudian ditegaskan sebagai sikap pemerintah— menginginkan masa jabatan Busyro selama empat tahun.
Waktu ini relatif singkat bagi tugas Busyro yang relatif berat. Ia harus melakukan pembenahan internal sekaligus mengembalikan lagi kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Kalau demikian, wajarlah publik bertanya, seriuskah negeri ini dalam pemberantasan korupsi ketika ternyata pemberantasan korupsi justru tak mencapai klimaks. [Susana Rita K]
Sumber: Kompas, 20 Desember 2010