Pembangunan Berbasis Masyarakat Desa
Otonomi daerah adalah salah satu produk terpenting reformasi politik yang berlangsung di Indonesia sejak tahun 1998 yang bermuatan demokratisasi. Tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitas keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa yang beragam dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan tujuan khusus dari kebijakan otonomi daerah adalah meningkatkan keterlibatan serta partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan maupun implementasinya sehingga terwujud pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif, dan akuntabel.
Otonomi daerah juga memberikan pendidikan politik pada masyarakat akan urgensi keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan lokal yang kontributif terhadap tegaknya pemerintahan nasional yang kokoh dan legitimate. Di samping itu, otonomi memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin mereka secara demokratis. Bahkan, otonomi membangun kesalingpercayaan antara masyarakat di satu pihak dan antara masyarakat dengan pemerintah di pihak lain.
Dengan kata lain semangat yang terkandung dalam otonomi daerah, secara prosedural maupun substansial adalah pengukuhan kembali kedaulatan rakyat (demokratisasi) setelah sekian lama terkubur akibat menguatnya cengkeraman negara. Substansi lainnya adalah mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih (good governance) di tingkat lokal pada khususnya dan di tingkat nasional pada umumnya. Menyangkut persepsi otonomi daerah, Bung Hatta dalam pidatonya pernah menekankan otonomi daerah sebagai bagian dari kedaulatan rakyat. Namun menurut Bung Hatta, kedaulatan rakyat tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar yang ditetapkan GBHN (Majalah Khang Po, 1946). Di sinilah maknanya bahwa otonomi daerah harus dilihat sebagai perwujudan hak dan kewajiban bagi masyarakat di daerah untuk mengembangkan dirinya menjadi masyarakat yang mandiri dan terbuka sebagai manifestasi peran serta masyarakat dalam pemerintahan yang demokratis. Menurut Koswara (1997), otonomi daerah secara konsepsional harus tidak membebani masyarakat, tetapi justru memberikan motivasi, memberdayakan, dan membangkitkan prakarsa serta mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya pembangunan sehingga otonomi menumbuhkan kemandirian dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Harus diakui selama lebih kurang lima tahun pelaksanaan otonomi daerah, pelembagaan demokrasi mengalami kemajuan cukup berarti. Interaksi pemerintah kabupaten/kota pada era Orde Baru hampir-hampir sepi perdebatan-perdebatan namun sejak diberlakukan UU No. 22/1999, interaksi tersebut menjadi semakin dinamis. Gedung-gedung dewan tempat wakil rakyat sehari-hari bekerja, kini juga semakin semarak dan inklusif. Tetapi bukan berarti tidak ada hal-hal yang patut untuk terus dikritisi. Meskipun dalam lima tahun belakangan ini pemerintah di tingkat kabupaten/kota sudah mencoba untuk menjalankan pemerintahan secara mandiri, tapi toh pada praktiknya yang terjadi kemudian adalah eksploitasi ekonomi politik yang dilakukan negara kepada masyarakat. Sehingga dalam kerangka ini alih-alih tampil sebagai solusi, otonomi daerah justru menjadi beban baru bagi masyarakat di tingkat lokal.
**
ATAS nama otonomi, pemerintah secara semena-mena menaikkan pungutan pajak. Atas nama otonomi pemerintah lantas menaikkan pungutan pelayanan publik, atas nama otonomi daerah pemerintah lokal (kab./kota/desa) menjual sumber-sumber kekayaan alam kepada investor tanpa pernah mengikutsertakan masyarakat. Pendek kata, atas nama otonomi daerah pemerintah daerah seolah sah dan dapat melakukan apa saja, tanpa memedulikan beban ekonomi-politik yang nantinya harus ditanggung masyarakat. Kurun waktu lebih kurang lima tahun ini pula dapat disaksikan otonomi daerah sedang mengalami pemerosotan makna. Otonomi daerah yang diharapkan akan membawa negara menjadi semakin dekat dengan masyarakat pada akhirnya hanya menjadi slogan politik yang mengooptasi masyarakat, seperti halnya revolusi, pembangunan, globalisasi dan reformasi. Slogan politik pada akhirnya terbukti hanya sebagai jargon dan menjadi politik legitimasi pemerintah yang berkuasa.
Jika kita sepakat bahwa desentralisasi dan otonomi adalah salah satu instrumen tercapainya demokrasi, kesejahteraaan, dan keadilan bagi seluruh rakyat, arah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dimasa yang akan datang harus berorientasi sekaligus sebagai bagian dari demokratisasi. Sehingga penting untuk dipahami bahwa otonomi daerah bukan semata-mata otonomi di tingkat pemerintahan, otonomi daerah adalah titik tolak untuk membangun otonomi yang berbasis pada masyarakat lokal dengan segala potensinya. Karena, secara konseptual desentralisasi adalah milik masyarakat daerah, bukan milik aparat pemerintah semata. Tugas utama pemerintahan daerah adalah memfasilitasi tumbuhnya ide-ide kreatif, inovatif dari masyarakat tersebut.
Sayangnya untuk konteks Indonesia, otonomi daerah hanya diperlakukan sebagai intergovernmental relations ketimbang relasi antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini pada kenyataannya berakibat terabaikannya kepentingan-kepentingan yang muncul dari arus bawah masyarakat. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah belum cukup memberikan jaminan kuatnya posisi tawar rakyat ketika berhadapan dengan negara. Belum ada jaminan yang cukup berarti tentang terpenuhinya hak-hak rakyat, keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan, dan tidak adanya regulasi yang mengatur hubungan antarelemen yang ada di masyarakat. Padahal ketiga hal ini merupakan pilar untuk mengembalikan demokratisasi pada masyarakat.
Inilah yang kemudian yang menjadi tantangan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah kedepan. Jika implementasi otonomi daerah tidak berorentasi pada demokratisasi dan tidak berbasis pada masyarakat, akan sangat mungkin otonomi daerah justru akan dan menjerumuskan rakyat kedalam perangkap elit politik di tingkat lokal.
Pemberdayaan desa
Tujuan utama dari pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Beragam usaha dari berbagai sektor terus dikembangkan dalam usaha pencapaian tujuan tersebut. Meskipun penegasan pembangunan nasional Indonesia adalah pembangunan partisipatif (participatory) yang harus melibatkan seluruh elemen masyarakat sering dikumandangkan semenjak masa pemerintahan Orde Baru, tetapi kenyataannya anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi partisipan aktif pembangunan. Padahal, partisipasi masyarakat yang dikehendaki meliputi participatory continuum, dalam seluruh proses pengambilan keputusan politik, dari mulai imajinasi, formulasi perencanaan sampai ke implementasinya. Partisipasi masyarakat harus partisipasi sebenarnya, yakni partisipasi yang didasarkan atas kesadaran dan pengertian terhadap kegiatan bersama yang dilakukannya. Masyarakat menerima dan turut melaksanakan kegiatan karena mereka memahami bahwa yang dikerjakannya bersama itu bermanfaat bagi kehidupan mereka. Namun demikian, sering kali terjadi bahwa usaha dan niat baik tersebut tidak mencapai seluruh masyarakat terutama masyarakat di pedesaan. Di samping itu, banyak terjadi kerusakan lingkungan karena pendayagunaan (eksploitasi) sumber daya alam yang berlebihan untuk mengejar target pembangunan tertentu yang sering kali bersifat instan dan tidak berwawasan lingkungan.
**
SELAIN itu sering terjadi pula pelanggaran norma-norma kehidupan masyarakat di pedesaan. Kegagalan usaha tersebut disebabkan pendekatan utama dalam pembangunan yang dilaksanakan justru memang tidak dilakukan pada masyarakat marginal dan masyarakat desa. Perencanaan pembangunan di daerah yang tidak memperhatikan semua aspek dari pembangunan adalah perencanaan dari atas ke bawah (top down planning), karena pendekatan seperti itu hanya menjadikan masyarakat sasaran pembangunan (objek) bukan pelaku pembangunan (subjek).
Mengingingat dan menyadari adanya hambatan dan kegagalan pendekatan dan pembangunan yang bersifat cetak biru (blue print), perlu suatu alternatif paradigma pembangunan yang baru. Pendekatan ini didasarkan pada pengalaman desa-desa yang masyarakatnya bekerja secara efektif dalam mengelola sumber daya yang sudah ada di desa tersebut dan lingkungannya.
UU No. 22/1999 (tentang pemerintahan daerah) dan Kepmendagri No. 64/1999 (tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa) telah memberikan keluangan dan kesempatan bagi desa dalam memberdayakan masyarakat serta pemerintahan di desa. Masyarakat desa dapat mewujudkan masyarakat yang otonom (desa otonom) sebagai otonomi yang asli. UU No. 22/1999 mengembalikan desa secara filosofis dan yuridis kepada statusnya sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki otonomi asli. Disebut otonomi asli karena otonomi desa bukanlah pemeritah sehingga pemerintah harus menghormati keistimewaan asli tersebut.
Desa yang otonom akan memberikan ruang gerak yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan nyata masyarakat dan tidak banyak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan pemerintah. Apabila otonomi desa benar-benar terwujud, tidak akan terjadi urbanisasi tenaga kerja potensial ke kota untuk menyerbu lapangan kerja/pekerjaan di sektor-sektor informal. Untuk melakukan otonomi desa, segenap potensi desa baik berupa potensi kelembagaan, sumber daya alam, dan sumber daya manusia harus dapat dioptimalkan. Untuk itu tahap awal, potensi tersebut perlu diidentifikasikan terlebih dahulu baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Ketiga potensi tersebut saling berkaitan dan bergantung. Potensi alam yang besar dan bernilai tidak akan bertahan lama/langgeng apabila tidak dikelola dan dimanfaatkan secara baik dan benar. Pengelolaan yang baik dan benar adalah pengelolaan yang berprinsip pada pembangunan yang berkesinambungan dan berwawasan pada kelestarian lingkungan. Untuk itu, dituntut manusia yang terampil, inovatif, mau bekerja keras, sehingga dapat memanfaatkan dan memperbarui potensi alam. Dilain pihak, sumber daya yang sedemikian masih sangat langka di desa, hal ini disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang lebih menekankan pada pembangunan yang bersifat fisik dan tidak diimbangi dengan meningkatkan pembangunan sumber daya manusia.
Untuk mempercepat ketertinggalan pembangunan sumber daya manusia, diperlukan cara-cara pendekatan yang dapat mewadahi seluruh komponen sumber daya manusia dengan kualitas yang ada yang mampu ikut serta/berpartisipasi. Selain itu, dalam proses menuju desa yang otonom, pengelolaan sumber daya alam harus berbasis kemasyarakatan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan kata lain, kemitraan dengan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam merupakan syarat utama dalam otonomi desa.
Potensi lain yang perlu dikembangkan dan diberdayakan adalah kelembagaan. Kelembagaan yang ada di desa tidak perlu diseragamkan pada setiap desa, karena pada dasarnya berbeda. Perbedaan kontekstual meliputi keadaan fisik alamiah maupun sosial-budaya masyarakat setempat. Hal itu di antaranya menyangkut kehidupan ekonomi, tingkat pendidikan, agama, tradisi, kebiasaan, dan norma-norma sosial lainnya. Faktor tersebut akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam menghadapi setiap kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah, dan sebaliknya cara pemerintah dalam memberikan perlakukan kepada masyarakat. Jadi, pemberdayaan masyarakat harus diartikan pula sebagai penghargaan terhadap adanya perbedaan-perbedaan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Suatu hal yang penting bahwa lembaga sosial merupakan wadah aspirasi masyarakat yang menjadi pendorong dinamika masyarakat desa. Lembaga-lembaga sosial yang ada diharapkan tumbuh dan berakar dari bawah dan berkembang sesuai dengan budaya (adat-istiadat termasuk di dalamnya bagaimana mengelola lembaga-lembaga desa agar tumbuh dari masyarakat desa sendiri (grassroot). Dengan demikian, penguatan kelembagaan sangat menentukan untuk menuju pemerintahan desa yang otonom menuju pembangunan masyarakat yang otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Semoga.
* Drs. H. Deding Ishak Ibnu Sudja, S.H., M.M., anggota DPR RI, Ketua STAI Al-Jawami Cileunyi-Kabupaten Bandung, Ketua Umum IKA IAIN SGD Bandung, Kandidat Doktor di Unpad.
Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 6 Juli 2005