Pembangunan Bisa Timpang
Dana Aspirasi Justru Tidak Adil, Sejumlah Partai Politik Mulai Menolak
Pemberian dana alokasi program percepatan dan pemerataan pembangunan daerah pemilihan justru akan mempertajam ketimpangan pembangunan. Sebagian besar dana akan menumpuk di Jawa yang relatif maju, sedangkan Indonesia timur yang miskin memperoleh sedikit.
Dengan alokasi dana Rp 15 miliar per anggota Dewan Perwakilan Rakyat, total dana yang harus disiapkan mencapai Rp 8,4 triliun. Dari total itu, 54,64 persen di antaranya akan dialokasikan untuk Pulau Jawa. Pasalnya, sebanyak 306 anggota DPR berasal dari enam provinsi di Jawa. Jika dihitung, dana alokasi yang diperoleh anggota DPR dari Jawa mencapai Rp 4,59 triliun.
Adapun Sumatera yang memiliki 120 kursi DPR hanya memperoleh dana Rp 1,8 triliun (21,42 persen). Dengan demikian, 76,06 persen dana alokasi pembangunan daerah pemilihan malah menumpuk di kawasan Indonesia bagian barat.
Bandingkan dengan wilayah Sulawesi dan Indonesia bagian timur yang pembangunannya lebih tertinggal dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian barat. Dengan 67 anggota DPR, kawasan Sulawesi dan Indonesia bagian timur hanya akan mendapat Rp 1,005 triliun (11,96 persen). Itu pun alokasi paling besar tersedot untuk Sulawesi, yakni Rp 705 miliar. Adapun Maluku hanya memperoleh Rp 105 miliar dan Papua Rp 195 miliar. Bali dan Nusa Tenggara dengan 32 anggota DPR hanya menyedot Rp 480 miliar (5,7 persen), sedangkan Kalimantan yang memiliki 35 anggota DPR memperoleh Rp 525 miliar (6,25 persen).
”Dana aspirasi ini akan menimbulkan rentetan persoalan di kemudian hari, khususnya di daerah. Kalau saya dari daerah tertinggal, tentu akan marah jika dana aspirasi ini disetujui,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki, Senin (7/6).
Daerah-daerah tertinggal di wilayah timur yang sebenarnya membutuhkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur malah hanya menerima kurang dari 10 persen total dana. ”Bagaimana infrastruktur daerah tertinggal seperti Papua akan terbangun jika dana yang ada dibagikan seperti ini?” katanya.
Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis menilai, jika dana aspirasi itu disetujui untuk dianggarkan pada APBN 2011, akan terjadi penjarahan keuangan negara yang dilegalkan. Pengalokasian dana itu tidak ada dasar hukumnya dan menghina akal sehat publik.
Dana aspirasi itu, menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin, rentan dikorupsi dan lebih mengarah pada bagi-bagi uang. ”Kajian sementara kami menyimpulkan, dana aspirasi ini mirip Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Jawa Timur, lebih banyak ke arah bagi-bagi uang,” kata Jasin di Gedung KPK, Jakarta, Senin. Jasin mengatakan, KPK tengah melakukan kajian serius perihal dana itu.
Sulit dipahami
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Rusli Ridwan, mengatakan, usulan dana alokasi itu sulit dipahami. Pemberian dana alokasi daerah pemilihan itu justru tak akan bisa mempercepat pemerataan pembangunan, seperti alasan Partai Golkar. Pemerataan pembangunan bisa diwujudkan dengan program pembangunan pedesaan.
Pendapat senada diungkapkan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Shiddiq. ”Apa betul bisa memeratakan pembangunan di daerah, pasti akan beda jauh antara Jawa dan luar Jawa,” katanya. Menurut dia, DPR hanya bisa melakukan politik anggaran. DPR harus dapat mendorong pemerintah agar memperbesar anggaran pembangunan di daerah tertinggal.
Anggota Komisi II DPR, Arif Wibowo, dari Fraksi PDI-P Jawa Timur IV, menegaskan, keinginan memberikan kewenangan bagi setiap anggota DPR berupa disposisi program ke masing-masing daerah pemilihan sebesar Rp 15 miliar per tahun itu tidak boleh dilanjutkan. Anggaran yang ada sebaiknya digunakan untuk memperkuat kapasitas anggota DPR dalam melaksanakan tugas, peran, dan fungsinya.
Oleh karena itu, usulan tersebut ditolak sejumlah parpol. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz di Jakarta, Senin, menegaskan, partainya menolak usulan dana itu, sesuai arahan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali.
Menurut Irgan, penolakan itu dilakukan dengan pertimbangan tugas DPR sesungguhnya adalah dalam bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran. DPR tidak memiliki tugas teknis dalam penempatan program yang merupakan domain pemerintah.
Hal senada disampaikan Ketua Fraksi PDI-P Tjahjo Kumolo. ”Cukup dengan uang reses Rp 40 juta yang diterima anggota dewan. (DPR) juga menerima uang konstituen,” katanya. Pada 1 Juni 2010, Tjahjo sempat meminta pemerintah tidak terburu-buru menolak gagasan itu. ”Setelah didiskusikan di fraksi, kami memutuskan menolak,” katanya.
Budiman Sudjatmiko, anggota Fraksi PDI-P, menambahkan, keberadaan dana aspirasi patut ditolak karena berpotensi menjadi praktik korupsi secara bersama para anggota DPR. ”Tahun 2014, jangan-jangan harus didirikan LP khusus anggota DPR,” tuturnya.
Sekjen PKS Anis Matta mengakui dana aspirasi justru melebarkan ketimpangan. Pasalnya, lebih dari 50 persen anggota DPR dari daerah pemilihan di Jawa.
Anis menegaskan, PKS sudah menyatakan penolakan atas gagasan dana aspirasi, dalam rapat Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi partai pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Begitu juga PAN. Ketua PAN Bima Arya Sugiarto menuturkan, partainya menolak gagasan itu. Dia berharap Partai Golkar tidak memaksakan usulan itu di Setgab dan menghargai sikap partai lain yang menolak. ”Proposal Golkar itu akan makin mencoreng wajah DPR,” ucapnya.
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyatakan setuju jika DPR mengusulkan program pembangunan di daerah pemilihan. Namun, pelaksanaan program itu tetap dilakukan pemerintah. ”Kami tak setuju jika anggota DPR mengelola dana PBN untuk daerah pemilihannya,” ujar Anas.
J Kristiadi, pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies, mengatakan, pemerintah tidak perlu berkompromi dengan kekuatan parpol. (NTA/MZW/AIK/FER/WHY/NWO/*/DIK)
Sumber: Kompas, 8 Juni 2010