Pembangunan Gedung DPD Berpotensi Mark-up
Rencana pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Daerah di 33 provinsi mendapat penolakan keras. Publik menilai pembangunan gedung bukan prioritas, di tengah minimnya kerja DPD dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, pembangunan gedung yang menganggarkan Rp 823 miliar itu berpotensi mengeruk anggaran negara secara sia-sia. ICW juga menengarai adanya mark-up anggaran senilai Rp 517,2 miliar. Nilai potensi penyelewengan itu didapat dari perhitungan ICW terhadap standar umum pembangunan gedung negara menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 45 tahun 2007. "Menurut standar, biaya pembangunan di seluruh provinsi adalah Rp 305,57 miliar. Sementara yang diajukan oleh DPD Rp 823 miliar. Jadi ada potensi kelebihan anggaran sebesar Rp 517,2 miliar," ujar Koordinator Divisi Monitoring dan Kebijakan ICW Firdaus Ilyas dalam konferensi pers di sekretariat ICW, Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Kamis (7/7/2011).
Menurut Firdaus, standar pembangunan gedung yang diajukan DPD terlalu tinggi. DPD, misalnya mengusulkan pembangunan gedung berlantai empat dengan total luas ruangan 2.747,25 meter persegi perprovinsi. Padahal, menurut perhitungan ICW, kebutuhan ruangan untuk empat orang anggota DPD di tiap provinsi beserta sekretariat dan seluruh staf pendukung hanya 1.799,5 meter persegi. Artinya, terjadi kelebihan ruangan hingga 947,7 meter persegi. Kelebihan perencanaan itu berpotensi menggelembungkan anggaran pembangunan. "Selain itu, membuktikan bahwa perencanaan dilakukan dengan melanggar aturan," kata Firdaus.
Selain pertimbangan anggaran, DPD dinilai belum layak mengajukan penambahan fasilitas mewah karena belum terbukti dapat bekerja secara baik. Prioritas yang lebih penting, menurut peneliti Korupsi Politik ICW Apung Widadi, adalah memperjuangkan kesetaraan wewenang DPD agar dapat sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat. DPD, yang mendapat mandat langsung masyarakat dengan pemilihan langsung tanpa melalui partai politik, seharusnya bersikap lebih independen dan berusaha memenuhi ekspektasi publik. Namun yang terjadi saat ini, DPD belum dapat berbuat banyak. "Urgensi peran yang lebih penting, memperjuangkan hak untuk memperkuat fungsi pengawasan dan penganggaran," tukas Apung.
Pendapat senada disampaikan peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam. Menurut Roy, rencana pembangunan gedung DPD bertolak belakang dengan kinerja yang sangat rendah. Tingkat kepercayaanpublik terhadap lembaga ini juga belum signifikan. "Kami belum melihat aktifitas politik DPD, bersama-sama rakyat mengawal kebijakan agar lebih berpihak pada publik," pungkasnya. Farodlilah