Pembelian Pesawat Kepresidenan Langgar Undang-undang
Permintaan pemerintah agar Garuda Indonesia atau Pelita Air Service membeli pesawat untuk mengangkut presiden dan wakil presiden menuai kritik.
Permintaan pemerintah agar Garuda Indonesia atau Pelita Air Service membeli pesawat untuk mengangkut presiden dan wakil presiden menuai kritik. Anggota Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat, Alvin Lie, menilai permintaan pemerintah itu sebagai cermin sikap kemewahan dan tidak mempertimbangkan kondisi keuangan negara ataupun Garuda. Kok, seperti mau sewa taksi saja? katanya saat dihubungi Tempo di Jakarta kemarin.
Selain itu, kata Alvin, rencana pemerintah ini melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dalam undang-undang itu disebutkan organ BUMN terdiri atas komisaris dan direksi. Setiap keputusan yang diambil harus melalui organ BUMN serta dianggarkan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP). Sehingga setiap keputusan di luar itu melanggar undang-undang. Jika keputusan bukan murni dari direksi garuda atau RKAP, itu sama dengan melanggar Undang-Undang BUMN, katanya.
Sewa penuh yang akan dilakukan pemerintah, kata dia, juga tak ekonomis. Sebab, nilai ekonomis itu ada jika pesawat tersebut dipakai 200 jam terbang.
Khofifah Indar Parawansa senada dengan Alvin. Menurut dia, pembelian pesawat harus mempertimbangkan kesehatan perusahaan itu.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Garuda Indonesia atau Pelita Air Service membeli pesawat. Pesawat itu nantinya akan disewa untuk pesawat kepresidenan.
Menurut Kalla, cara ini jauh lebih murah dibanding membeli pesawat kepresidenan yang baru. Apalagi pesawat yang ada saat ini sudah berumur lebih dari 20 tahun.
Sepanjang 2005, Garuda mencatat kerugian Rp 688 miliar atau turun Rp 123 miliar dari tahun 2004, yang mencapai Rp 811 miliar. Ini karena dari 65 rute hanya 20 rute yang bisa diterbangi Garuda. AQIDA | ANTON A
Sumber: Koran tempo, 10 Juli 2006