Pemberantasan Korupsi, Antara Data dan Fakta
Sekali lagi, jika kita bandingkan dengan masa Orde Baru, ketika tidak mungkin seorang gubernur dituntut di muka peradilan, saat ini semua itu menjadi mungkin, dan seharusnya secara obyektif kita harus berpikir optimistis dan positif bahwa korupsi memang dapat diberantas.
Pemberantasan korupsi sangat gencar dilakukan saat ini. Indikasinya bisa kita lihat dari meningkatnya jumlah perkara yang ditangani aparat penegak hukum, baik polisi, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai pembandingnya, selama 32 tahun di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru, belum pernah kita mendengar ada seorang gubernur yang masuk penjara. Saat ini, beberapa gubernur sedang diproses di persidangan, bahkan mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh sejak beberapa waktu lalu telah menginap di hotel prodeo dengan putusan 10 tahun penjara.
Selain itu, masih banyak penyelenggara negara yang sedang diproses dalam kaitannya dengan perkara tindak pidana korupsi. Kasus-kasus yang telah dan sedang ditangani KPK tidak hanya menghukum pejabat negara atau pegawai negeri semata. Jerat pidana kasus korupsi pun sudah menyeret pihak swasta serta aparat penegak hukum, seperti polisi, pengacara, dan pegawai Mahkamah Agung, yang bekerja sama dengan pejabat negara atau pegawai negeri yang berani melakukan korupsi secara berjemaah.
Untuk kembali mengingatkan, perlu disampaikan beberapa nama yang kasusnya ditangani KPK. Mereka antara lain Nazaruddin Sjamsuddin, Suparman, Harini, Bram H.D. Manoppo, Harun Letlet, H Suhartoyo, Malem Pagi Sinuhaji, Sriyadi, Pono Waluyo, dan Erick Hikmat Setiawan. Selain nama-nama di atas, yang hingga saat ini sedang dalam proses persidangan adalah Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah dan Bupati Dompu Abubakar Ahmad. Sedangkan yang ditangani oleh Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi.
Walau kedua gubernur dan seorang bupati yang disebut terakhir belum diputus bersalah atau tidak bersalah oleh pengadilan, pelajaran yang dapat kita ambil dari ketiga kasus di atas adalah, hingga detik ini, pemberantasan korupsi dilakukan dengan sangat serius. Tidak pilih-pilih apakah dia seorang pejabat negara, pengusaha swasta, atau bahkan aparat penegak hukum. Sekali lagi, jika kita bandingkan dengan masa Orde Baru, ketika tidak mungkin seorang gubernur dituntut di muka peradilan, saat ini semua itu menjadi mungkin, dan seharusnya secara obyektif kita harus berpikir optimistis dan positif bahwa korupsi memang dapat diberantas.
Walau demikian, masih ada segolongan masyarakat yang beranggapan pemberantasan korupsi di negeri ini masih tebang pilih. Hal itu sangatlah wajar. Di satu sisi, rakyat pada saat ini sudah sangat geram kepada para koruptor yang masih belum dapat diajukan ke meja hijau, sedangkan di sisi yang lain, aparat penegak hukum seperti KPK memiliki sumber daya manusia yang terbatas. Segi positif yang dapat kita ambil adalah rakyat sangat bersemangat dan mulai berani membantu aparat penegak hukum dalam setiap kegiatan pemberantasan korupsi. Rakyat mulai berperan aktif dalam memberikan laporan tindak pidana korupsi ke KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Menurut catatan Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, hingga November 2006, telah ada 16 ribu pengaduan masyarakat yang masuk ke KPK, dan hampir seratus persen telah ditelaah oleh staf di Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK.
Tapi, dari sekian banyak laporan yang masuk ke KPK tersebut, ternyata hanya sebagian kecil yang berindikasi tindak pidana korupsi. Itu pun sebagian tidak disertai bukti awal yang cukup. Sedangkan sebagian besar justru berisi curhat dari masyarakat kepada KPK. Artinya, justru sebagian besar laporan yang masuk hanya berisi ketidaksenangan masyarakat kepada aparat penyelenggara negara yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tindak pidana korupsi. Bahkan tidak sedikit laporan yang masuk berisi fitnah semata.
Sekali lagi, hal ini harus dapat kita terima dengan wajar dan penuh kesabaran yang sangat tinggi. Hal itu terjadi karena memang masih banyak warga yang belum mengetahui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 11 undang-undang tersebut menyebutkan dengan jelas, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Tentu masyarakat akan bertanya: lalu, jika kasus yang akan dilaporkan tidak sesuai dengan kriteria sebagaimana diatur pasal 11 di atas, bagaimana? Jawabannya sangat sederhana: masyarakat tidak usah ragu-ragu untuk tetap melaporkannya ke KPK karena, masih menurut UU Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 6, KPK punya tugas koordinasi dan supervisi kepada instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena itu, perkara yang tidak sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 11 di atas akan disampaikan KPK kepada institusi lain yang berwenang, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Sekali lagi, masyarakat perlu tahu dan tidak perlu khawatir karena, sesuai dengan amanat UU Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 8 butir 2, KPK juga memiliki wewenang untuk mengambil alih kasus yang ditangani aparat hukum lain. Contoh yang ada saat ini adalah pengambilalihan kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Kendal dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan kasus pelepasan lahan Bandar Udara Kutai Kartanegara dari Kepolisian Daerah Kalimantan Timur.
Perlu disampaikan di sini bahwa dengan keterbatasan yang ada, KPK tetap berusaha maksimal untuk menyelesaikan kasus yang sedang ditangani. Sedangkan mengenai masih adanya kasus korupsi yang belum ditangani, ini hanyalah masalah waktu semata. Kita semua harus sabar dan menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini membutuhkan proses. Dalam setiap proses itu, dibutuhkan waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Bukankah ketika lahir kita tidak serta-merta sebesar saat ini? Butuh proses beberapa tahun lamanya agar kita menjadi seperti sekarang ini. Yang penting, semangat pemberantasan korupsi tidak boleh padam dalam jiwa seluruh rakyat Indonesia. Semoga!
Adhi Setyo Tamtomo, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 28 November 2006