Pemberantasan Korupsi; Cara Lama Tidak Efektif, Butuh Perombakan Sistem
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan perombakan sistem karena cara-cara lama tak efektif lagi. Ia mengusulkan penerapan pembuktian terbalik. Begitu seseorang tak bisa membuktikan kekayaannya halal, hukuman dapat diterapkan.
”Sudah sejak dahulu teriakan pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Ungkapan ini juga dilakukan sejak zaman Pak Harto (Presiden Soeharto), tetapi korupsi tetap tumbuh lagi. Berarti, cara-cara lama tidak efektif lagi,” kata Mahfud, Kamis (8/4) di Gedung Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur di Surabaya.
Pembuktian korupsi terhadap seseorang tak perlu bertele-tele. Dengan pembuktian terbalik, kata Mahfud, seseorang langsung dinyatakan korupsi begitu ia kaya dan tak bisa membuktikan hartanya halal dalam waktu dua bulan. Dia mencontohkan, jika seorang pegawai pajak dengan gaji Rp 10 juta per bulan tiba-tiba memiliki kekayaan Rp 25 miliar dan tak bisa membuktikan kekayaannya dalam waktu dua bulan, ia langsung dihukum mati.
Di Jakarta, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengakui, hukuman mati layak diberlakukan untuk koruptor. Korupsi tergolong pelanggaran hak asasi manusia karena menghilangkan hak rakyat untuk hidup sejahtera.
”Saya setuju jika koruptor diberikan hukuman mati,” katanya di Kantor Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, Kamis.
Menurut Din, Islam menjunjung tinggi hak untuk hidup. Sementara korupsi merupakan tindakan melanggar hak untuk bertahan hidup sehingga koruptor telah melakukan pelanggaran HAM berat. Islam memberlakukan hukuman mati atau kisas bagi mereka yang menghilangkan hak hidup orang lain.
Dr Frans Rengka, Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, di Kupang, Kamis, sepakat dengan adanya penerapan sanksi alternatif terhadap pelaku korupsi, seperti pemiskinan, panyanderaan harta, atau kerja sosial. Ini mungkin bisa menjerakan pelaku korupsi. (abk/ans/nta/mzw)
Sumber: Kompas, 9 April 2010