Pemberantasan Korupsi Hanya Bermotif Politik; Kinerja KPK Dinilai Kurang
Walau pemberantasan korupsi terus dikumandangkan pemerintah, hal itu dinilai karena motivasi politik, bukan keseriusan membasmi korupsi. Ini tampak dari indikasi pencapaian pemberantasan korupsi yang diukur hanya dari banyaknya terdakwa yang diadili dan kasus yang disidangkan.
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dinilai kurang. Kasus yang ditangani KPK terkesan sebagai kasus-kasus kecil. Kasus-kasus besar dan merugikan negara hingga triliunan rupiah, kasus korupsi besar, serius dan merusak perekonomian negara, seperti kasus yang berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), justru tidak disentuh.
Selain itu, kerugian negara yang disebutkan diselamatkan dalam proses pemberantasan itu juga belum memadai. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang digelar Masyarakat Profesional Madani, Kamis (10/5) di Jakarta. Hadir sebagai pembicara, antara lain, anggota Komisi XI DPR, Dradjad Hari Wibowo (Partai Amanat Nasional), Sholahuddin Wahid, Guru Besar Unpad Romli Atmasasmita, serta peneliti dari CSIS Indra J Piliang.
Dradjad mengatakan, Pemerintah harus bisa membuktikan janjinya dalam pemberantasan korupsi dengan menyidangkan kembali kasus BLBI. Setidaknya, janji Jaksa Agung, ya.
Bagi Dradjad, selama ini pemerintah tidak berdaya menangani kasus tersebut. Bahkan, mereka yang diduga kuat terlibat dalam kasus itu bisa masuk ke Istana Negara.
Di sisi lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, oleh Guru Besar Unpad Romli Atmasasmita, dinilai ragu-ragu dalam komitmennya tentang pemberantasan korupsi. Presiden, tuturnya, seharusnya tegas terhadap upaya memandulkan kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pemandulan tersebut, misalnya, diusiknya keberadaan pengadilan khusus tindak pidana korupsi dan sikap beberapa petinggi hukum yang mengatakan korupsi bukan kejahatan luar biasa.
Untuk itu, ia berpendapat pemerintah harus sesegera mungkin menuntaskan undang-undang tentang pengadilan tindak pidana korupsi. Jika tidak, waktu tiga tahun yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan terbuang dan itu berdampak luar biasa pada kebijakan pemberantasan korupsi.
Berkembang
Sementara itu, kemarin Jaksa Agung Hendarman Supandji di Kejaksaan Agung mengatakan, korupsi di Indonesia begitu meluas dan perkembangannya meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus, kerugian negara, maupun kualitas tindak pidana dengan modus operandi yang dinamis dan sistematis yang menyulitkan pembuktian.
Dalam diskusi panel yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-40 Yayasan Pendidikan Pembinaan Manajemen (PPM) di Jakarta, kemarin, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Prof Dr Franz Magnis- Suseno mengatakan, pencegahan terjadinya korupsi semestinya bisa dilakukan sejak dini ketika kerusakan yang kecil-kecil tidak dibiarkan terakumulasi menjadi besar.
Magnis mencontohkan persoalan gedung sekolah yang bocor. Pihak sekolah yang selama ini mengelola uang pembangunan sekolah semestinya tidak membiarkan kerusakan infrastruktur itu hingga menyebabkan kegiatan belajar terganggu.
Sayangnya, menurut Magnis, kerusakan infrastruktur yang kecil dibiarkan menjadi besar sehingga sekolah roboh. Ini juga terjadi dalam kerusakan badan jalan di sejumlah daerah. Lalu, kerusakan itu dijadikan sebuah proyek. Ini sangat besar sekali godaannya untuk menuju perbuatan korupsi.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengakui, agenda reformasi tidak mudah diimplementasikan. Benturan utamanya, katanya, adalah birokrasi. (idr/OSA/JOS)
Sumber: Kompas, 11 Mei 2007