Pemberantasan Korupsi; Kedudukan "Whistle Blower" Perlu Diperkuat
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban gagal membawa mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Susno Duadji ke tempat yang aman (safe house). Polri menolak menyerahkan Susno untuk ”diasingkan” karena statusnya sebagai tahanan Polri.
LPSK memiliki kepentingan untuk melindungi Susno. Kasus Susno, selama ini, menimbulkan persepsi masyarakat bahwa mengungkap kejahatan justru bisa menjadi bumerang, bisa dihukum atau menjadi tersangka.
”Susno sebagai whistle blower (peniup peluit) seharusnya dilindungi. Jika tidak, persepsi masyarakat yang muncul menjadi negatif. Orang yang mengungkap praktik mafia hukum atau korupsi justru dihukum,” kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.
Di Indonesia, whistle blower, pelapor, atau pengungkap fakta menjadi fenomena baru dan masih dianggap barang aneh. Bahkan, orang yang bernyali dan berperan sebagai peniup peluit bisa dianggap sebagai orang ”gila”.
Whistle blower merupakan orang yang mengungkap pelanggaran atau kejahatan di suatu institusi tempatnya bekerja. Institusi itu bisa berupa perusahaan, institusi pemerintah, atau institusi publik lainnya.
Melalui peran whistle blower, segala bentuk pelanggaran, kejahatan, termasuk korupsi, diharapkan bisa terungkap. Dengan demikian, pengelolaan institusi, baik perusahaan maupun lembaga pemerintahan, menjadi baik, efisien, dan terhindari dari korupsi atau bentuk kejahatan dan pelanggaran lain.
Sayangnya, peran whistle blower di Indonesia belum mendapatkan tempat. Peniup peluit belum mendapatkan perlindungan hukum, seperti di Amerika Serikat atau Australia.
Dalam buku terjemahan berjudul Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional karangan Jeremy Pope (2003) disebutkan, pekerja yang tahu tentang pelanggaran dalam tempat kerja dihadapkan pada empat pilihan, yaitu berdiam diri, melaporkan kekhawatiran melalui prosedur internal, melaporkan kekhawatiran ke lembaga luar, misalnya pengawas, atau membeberkan hal itu ke media massa.
Susno termasuk whistle blower yang melaporkan kekhawatirannya ke lembaga luar, yaitu Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan ke media.
Pada 18 Maret 2010, Susno mengungkapkan dugaan praktik makelar kasus dalam penyidikan kasus pajak senilai Rp 25 miliar di tempat ia bekerja, yaitu Mabes Polri. Selain itu, ia juga pernah mengungkapkan dugaan praktik mafia kasus dalam penanganan kasus penangkaran ikan arwana di Riau.
Kasus yang diungkapkan Susno itu bergulir bagaikan bola panas. Aparat dari berbagai institusi penegak hukum diduga terlibat. Salah seorang tersangka adalah mantan pegawai pajak Kementerian Keuangan, Gayus HP Tambunan.
Dari keterangan Gayus, mulai terungkap siapa yang diduga mendapat kucuran dana. Di depan Panitia Kerja DPR, Ketua Tim Independen Mabes Polri Inspektur Jenderal Mathius Salempang menjelaskan tentang keterangan Gayus yang memberikan uang Rp 5 miliar kepada jaksa, polisi, dan hakim. Ia juga mengatakan, ada 40 perusahaan yang kasus pajaknya diurus Gayus. Diduga PT Kaltim Prima Coal termasuk di dalamnya (Kompas, 4/6).
Namun, pengembangan penyidikan kasus yang diungkap Susno ini terkesan kurang maksimal. Jika polisi mau menelusuri lebih jauh, polisi kemungkinan besar dapat menemukan siapa lagi yang diduga berperan sebagai Gayus di Ditjen Pajak.
Fakta itu menunjukkan betapa dahsyat peran peniup peluit dalam mengungkap dan memberantas mafia hukum dan korupsi. Jika whistle blower diberi tempat, pemberantasan korupsi yang menjadi cita-cita reformasi dan pemerintahan yang bersih pun semakin dapat terwujud.
Perlindungan lemah
Sayangnya, perlindungan kepada whistle blower sangat lemah. Bahkan, peniup peluit cenderung dibungkam karena dinilai bisa merusak nama baik institusi. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur secara khusus perlindungan terhadap whistle blower. Karena itu, kata Abdul Haris, LPSK mengusulkan revisi terhadap UU No 13/2006. Dengan revisi itu, bisa diperjelas pengertian whistle blower, persyaratan whistle blower dapat dilindungi, serta bagaimana perlakuan terhadap whistle blower jika statusnya sebagai tersangka.
Dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No 13/2006 disebutkan, saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau diberikannya. Pasal itu sebenarnya kuat.
Namun, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU itu, perlindungan terhadap saksi diperlemah. Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana bila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Menurut Abdul Haris, dalam revisi UU No 13/2006, seorang peniup peluit yang menjadi tersangka dalam kasus yang sama dapat saja dibebaskan dari tuntutan pidana. Tetapi, ada beberapa persyaratan, misalnya, peran whistle blower dalam tindak pidana itu tak terlalu besar, kasus yang diungkap ternyata lebih besar, dan ada potensi kerugian negara yang dapat diselamatkan.
Penentuan seberapa jauh persyaratan itu terpenuhi dapat dilakukan tim independen, yaitu LPSK bersama penegak hukum, seperti Polri dan kejaksaan. Dengan demikian, peluang whistle blower mendapat perlindungan menjadi besar. Partisipasi masyarakat mengungkap praktik mafia hukum, korupsi, dan kejahatan lain pun kian terbuka.
Sebaliknya, jika perlindungan terhadap whistle blower lemah, partisipasi masyarakat dalam mengungkap praktik mafia hukum dan korupsi akan kendur. Akibatnya, upaya membentuk birokrasi pemerintahan yang bersih juga semakin sulit.
Lebih ironis lagi, jika whistle blower yang mengungkap suatu praktik mafia hukum diduga mendapat perlakuan atau tindakan balas dendam. Dalam kasus Susno, persepsi atau dugaan ia menjadi sasaran balas dendam memang sangat kental.
Kuasa hukum Susno, Mohamad Assegaf, menegaskan, ”Dengan rentetan tuduhan terhadap Susno, sulit untuk tak menduga, tak adanya unsur balas dendam.” Dugaan balas dendam itu wajar muncul karena tim yang memeriksa Susno adalah tim yang dibentuk Mabes Polri. Akibatnya, penanganan proses hukum pun dapat dinilai kurang independen. (Ferry Santoso)
Sumber: Kompas, 8 Juni 2010