Pemberantasan Korupsi Kontroversi Putusan MK
Sehari setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengadakan jumpa pers. Abdul Rahman Saleh menyatakan, putusan MK bakal makin mempersulit pemberantasan korupsi.
Gugatan uji materi UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diajukan Dawud Jatmiko, karyawan PT Jasa Marga yang tersangkut kasus korupsi pembangunan Jakarta Outer Ring Road/JORR) dan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Namun, apa jawaban Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie atas kritik keras Jaksa Agung. Pejabat laksanakan saja putusan MK. Pejabat tidak usah berpretensi ilmiah karena ini bukan persoalan ilmiah, katanya.
Ada dua persoalan dalam putusan MK, yakni persoalan teknis putusan, yaitu Mahkamah Konstitusi dinilai tidak hati-hati dalam memutus perkara yang diajukan Dawud Jatmiko, dan implikasi putusan MK ini terhadap upaya pemberantasan korupsi dan sistem hukum pidana Indonesia.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean yang hadir dalam sidang uji materi UU Nomor 31/1999 ini secara khusus menyoroti ketidakhati-hatian MK.
Siapa pun yang mengikuti persidangan MK pasti tercengang dengan putusan ini. Betapa tidak, putusan MK yang menyebutkan perbuatan melawan hukum materiil (onrechtmatigedaad) bertentangan dengan UUD 1945 adalah amar putusan yang sebenarnya tidak dimohonkan Dawud Jatmiko.
Dawud Jatmiko hanya memohonkan pengujian Pasal 2 Ayat 1 UU 31 Tahun 1999 tentang frase dapat merugikan keuangan negara, Pasal 3 juga menyangkut frase yang sama, serta Pasal 15 tentang percobaan korupsi.
Putusan MK menjawab dua hal, yakni menjawab soal frase dapat merugikan keuangan negara, yang memang diajukan Dawud Jatmiko, dan soal perbuatan melawan hukum materiil yang sama sekali tidak dimohonkan Dawud, baik dalam surat permohonannya maupun dalam sidang-sidang di MK.
Lalu dari mana MK bisa menyimpulkan kalau perbuatan melawan hukum materiil perlu dijawab dalam putusan perkara Dawud? Jimly Asshiddiqie yang dikonfirmasi pekan lalu tidak menjawab pertanyaan ini.
Panggabean mengungkapkan, Saya tidak melihat ada permohonan atau dalil pemohon yang berhubungan dengan perbuatan melawan hukum materiil. Kami bingung, kok itu yang dipermasalahkan dan menjadi amar putusan. Kalau tak ada argumentasi soal itu, apakah itu sah sebagai permohonan, katanya.
Padahal putusan MK yang mencabut onrechtmatigedaad dalam penjelasan Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 31/1999 membawa beberapa implikasi. Sebaliknya, Jimly Asshiddiqie membantah pencabutan onrechtmatigedaad ini akan berimplikasi pada pemberantasan korupsi. Betulkah?
Di dalam penjelasan umum UU Nomor 31/1999 paragraf kelima disebutkan alasan mengapa pembentuk undang-undang memasukkan perbuatan melawan hukum materiil di samping perbuatan melawan hukum formal. Alasannya, adalah untuk menjangkau modus operandi praktik korupsi yang sudah canggih dan rumit.
Panggabean mencontohkan, para broker yang menerima komisi sangat besar akibat kongkalikong dengan panitia pengadaan akan sulit dijangkau dengan Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 ini.
Begitu pula dengan anggota DPRD, yang seenaknya menyusun RAPBD untuk kepentingan dirinya, juga akan sulit dijerat, terlebih karena aturan hukum Peraturan Pemerintah Nomor 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan Daerah telah dicabut Mahkamah Agung. Banyak praktik korupsi lain yang canggih sulit dijerat dengan pasal ini.
Tampaknya spirit UU Nomor 31/1999 agar UU itu dapat menjangkau praktik korupsi yang canggih tidak menjadi pertimbangan para hakim konstitusi. Begitu pula dengan spirit dunia internasional yang kini gencar bersama-sama memerangi praktik korupsi, juga dimarjinalkan dalam pertimbangan MK.
Implikasi lain dari putusan MK ini adalah peran hakim yang akan mengalami simplifikasi peran, yakni hakim hanya akan menegakkan UU, bukan lagi menegakkan keadilan. Di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, hakim diberi satu kewajiban untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat dan hakim bisa menciptakan hukum (rechtsfinding).
Menurut Panggabean, putusan MK ini akan berimplikasi pada sistem hukum Indonesia karena menghambat pemikiran-pemikiran yang kini berkembang untuk mengurangi paham legalitas. Di dalam RUU KUHP yang hampir ditandatangani, khususnya Pasal 1 Ayat 1 yang mendasari paham legalitas, sekarang mulai berubah. Di dalam pasal itu yang sering disebut dengan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lega poenali saja, perbuatan melawan hukum materiil dimasukkan. Sepertinya sembilan hakim MK harus kembali ke asas legalitas, katanya.
Akibat riil, praktik pengungkapan kasus-kasus korupsi akan bertambah sulit. Para penyidik akan dihadang sejumlah persoalan, yakni pembuktian tindak pidana korupsi yang semakin sulit pascaputusan MK. Apalagi, jika kelak lahir sebuah aturan hukum yang memberi perlindungan bagi pejabat. Betulkah pemberantasan korupsi serius dilakukan? (Vincentia Hanni S)
Sumber: Kompas, 2 Agustus 2006