Pemberantasan Korupsi; Penyelamatan Uang Rakyat Lewat Penegakan Hukum
Penanganan kasus tindak pidana korupsi dana APBD di Jawa Tengah sepanjang 1999-2007 ternyata menunjukkan perkembangan maju.
Menurut Staf Divisi Pendidikan dan Jaringan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Muhadjirin, dalam sebuah diskusi akhir pekan lalu, terdapat 39 perkara penting atas pengusutan dugaan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Sebanyak 39 kasus korupsi dana APBD itu dilakukan oleh bupati dan wali kota, baik yang sudah tidak menjabat maupun yang masih aktif menjabat. Ada delapan bupati yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh tim penyidik korupsi, tetapi proses penyidikan masih berjalan. Dua bupati telah menjalani persidangan atas kasus korupsi yakni di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal.
Muhadjirin menilai, kasus-kasus penindakan korupsi terhadap bupati dan wali kota di Jateng cukup tinggi. Hal itu menunjukkan penyalahgunaan uang rakyat tinggi. Dana anggaran yang dikorupsi cukup mengejutkan, mulai Rp 150 juta hingga lebih dari Rp 10 miliar.
Modus penyelewengan uang rakyat itu berbagai macam, dari pemanfaatan dana tak tersangka hingga penyalahgunaan proyek pembangunan.
Sejak penindakan kasus korupsi terhadap pejabat negara gencar dilakukan, aparat penegak hukum baik itu kepolisian di tingkat Polda Jateng maupun aparat kejaksaan di Kejaksaan Tinggi Jateng seolah berlomba menuntaskan kasus dugaan korupsi. Dalam kasus korupsi yang nilai kerugian negara cukup besar, lebih dari Rp 20 miliar, adakalanya terjadi pelimpahan kasus ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Dari segi pelaku kejahatan korupsi, tren sebelum 2002 kasus dugaan korupsi lebih banyak dilakukan anggota DPRD di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Penajaman terhadap penyidikan kasus korupsi kemudian meningkat menjangkau pejabat di eksekutif mulai dari kepala dinas hingga bupati.
Sepanjang 1999-2007 terdapat tiga bupati dijatuhi pidana penjara, yakni Bupati Temanggung, mantan Wali Kota Tegal, serta mantan Wali Kota Solo. Saat ini proses persidangan atas kasus korupsi bergulir di pengadilan menimpa Bupati Kendal dan Bupati Semarang. Masyarakat menunggu hasil pengadilan itu, apakah keadilan berpihak kepada rakyat atau sebaliknya.
Hal yang menarik, menurut Ajun Komisaris Suhartono dari penyidik Polda Jateng, catatan penyidikan kasus korupsi 2001-2006 saja rata-rata per tahun jumlah perkara yang ditangani mencapai 11 hingga 20 kasus. Pada 2006 terdapat 20 perkara yang ditangani, sudah ditetapkan 20 tersangka. Darijumlah itu, proses persidangan sudah mengadili lima pelaku.
Memproses penyidikan kasus korupsi terhadap anggota legislatif maupun pejabat negara bukan hal mudah. Suhartono menunjuk ada dua faktor penting yang memengaruhi proses penyidikan korupsi, yakni faktor internal seperti terbatasnya tenaga penyidik dan terbatasnya biaya penyelidikan serta penyidikan.
Faktor internal justru lebih pada soal prosedur pemeriksaan terhadap calon tersangka, mulai dari membuka rekening tersangka harus ada izin Gubernur BI, memeriksa anggota DPRD harus ada izin Mendagri, dan memeriksa bupati atau wali kota harus ada izin Presiden RI sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Kendala ini belum lagi alasan saksi dari pejabat instansi pemerintah yang cuti, keluar kota, kunjungan kerja, sehingga memperlama proses penuntasan, katanya. Dengan rekor penyidikan kasus korupsi cukup tinggi itu, timbul pertanyaan, apakah semua bisa tuntas. Apakah tak ada praktik dikorupsinya kasus korupsi oleh aparat penegak hukum? Penyidik dari Kejaksaan Tinggi Yudi Kristiana memberi solusi perlunya mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam penanganan perkara korupsi.
Jangan sampai masyarakat bertanya, si bupati atau wali kota itu sudah ditetapkan tersangka, tetapi perkaranya tidak masuk persidangan maka perlu ada akuntabilitas publik. Penyidik di kepolisian maupun kejaksaan secara kelembagaan perlu melaporkan perkembangan tiap kasus penyidikan korupsi ke masyarakat hingga perkaranya disidangkan di pengadilan. (Oleh Winarto HS)
Sumber: Kompas, 26 Juni 2007