Pemberantasan Korupsi, Quo Vadis?
Pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla akan memasuki masa satu tahun
Pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla akan memasuki masa satu tahun. Tercatat setidaknya enam produk kebijakan khusus yang telah dikeluarkan untuk mendukung agenda ini. Satu di antaranya adalah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Yang lain adalah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ditilik dari substansi kebijakan, Presiden Yudhoyono tampaknya menekankan agenda pemberantasan korupsi pada penegakan hukum. Ini berarti penanganan kasus-kasus korupsi, baik yang dilaporkan masyarakat maupun hasil temuan aparat penegak hukum, menjadi prioritas untuk diselesaikan.
Dengan begitu, berapa jumlah koruptor yang diadili, ringan atau berat dan bebas atau bersalah vonis bagi mereka, berapa nilai kerugian negara yang dapat diselamatkan, siapa koruptor yang diadili, kelas kakap atau kelas teri, dan cepat atau lambat penanganan kasusnya diselesaikan menjadi standar penilaian kinerja pemberantasan korupsi pemerintah.
Pilihan untuk memprioritaskan aksi pemberantasan korupsi pada aspek penegakan hukum jelas maksudnya, yakni Yudhoyono hendak mengirimkan pesan kepada pelaku korupsi untuk tidak memulai, apalagi mengulangi, perbuatan korupsi karena hukum akan ditegakkan. Di sini, efek jera sebagai dampak dari penegakan hukum menjadi sesuatu yang sangat diharapkan timbul.
Namun, agaknya target yang diharapkan meleset. Hingga menjelang satu tahun usia pemerintah, perubahan yang berarti dalam pemberantasan korupsi belum tampak, kecuali satu-dua kasus korupsi yang terungkap. Ini pun dengan catatan kritis: tersendat proses hukumnya, karena faktor internal lembaga penegak hukum ataupun lantaran faktor eksternal yang sarat dengan kalkulasi politis.
Contoh paling konkret adalah kasus dana tantiem Perusahaan Listrik Negara dan dugaan korupsi di Sekretariat Negara. Benar bahwa Tim Pemberantasan Korupsi telah menyelesaikan kasus korupsi Dana Abadi Umat di Departemen Agama dan Bank Mandiri, yang kini kasusnya sudah dalam proses persidangan. Barangkali ini prestasi yang bisa dicatat. Selebihnya, masyarakat masih menunggu kasus besar apa yang akan dijadikan prioritas untuk ditangani.
Sebenarnya, jika pemberantasan korupsi diorientasikan pada penegakan hukum, prasyarat utamanya mutlak dipenuhi, yakni adanya penegak hukum yang kredibel, serius, profesional, dan bebas dari penyakit yang akan diberantasnya. Sehingga kendala-kendala teknis ataupun nonteknis dalam penanganan kasus dapat sedini mungkin dihindari. Belajar dari komisi independen pemberantasan korupsi (ICAC) di Hong Kong, mereka memulai pemberantasan korupsi dari pembersihan terhadap aparat penegak hukum lebih dulu.
Kendala penegakan hukum yang justru bersumber dari aparat penegak hukum sendiri dapat dilihat juga pada penanganan kasus korupsi di daerah yang melibatkan pejabat tinggi. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, hingga Oktober 2005, sudah ada 51 izin pemeriksaan yang dikeluarkan oleh Presiden Yudhoyono terhadap kepala daerah di Indonesia, terdiri atas 4 gubernur, 6 wali kota, 32 bupati, 1 wakil wali kota, dan 8 wakil bupati.
Namun, betapapun kemauan kuat telah diperlihatkan Yudhoyono, penanganan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara di sebagian besar daerah masih tergolong lamban. Cepatnya izin pemeriksaan terhadap kepala daerah tidak diikuti dengan cepatnya penanganan perkara korupsinya.
Dari 51 orang kepala daerah (gubernur, wali kota, bupati, wakil wali kota, dan wakil bupati) yang telah mendapatkan izin pemeriksaan dari Presiden, hasilnya satu orang divonis bebas di tingkat pertama, yakni Chalik Effendi (Wali Kota Bengkulu). Tiga orang masih dalam proses di pengadilan, yakni Djoko Munandar (Gubernur Banten), Imam Muhadi (Bupati Blitar), dan Totok Ary Prabowo (Bupati Temanggung). Perkembangan terakhir, Djoko Munandar oleh Presiden dinonaktifkan sebagai Gubernur Banten karena berstatus terdakwa.
Selebihnya masih dalam pemeriksaan (penyelidikan/penyidikan). Lambatnya penanganan perkara korupsi, khususnya yang melibatkan kepala daerah, menunjukkan bahwa komitmen Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi belum didukung oleh jajaran di bawahnya.
Demikian pula niat Kejaksaan Agung untuk membuka kembali beberapa perkara besar yang telah di-SP3-kan--termasuk surat perintah penghentian penyidikan terhadap Ginandjar Kartasasmita--merupakan sinyal positif penegakan hukum. Khusus untuk kasus Ginandjar, tim hukum Kejaksaan Agung bahkan telah rampung melakukan kajian terhadap keluarnya SP3, sekaligus memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung mengenai langkah-langkah yang harus diambil. Sayangnya, sampai saat ini, hasil kajian itu belum disampaikan kepada masyarakat sehingga berpotensi menimbulkan spekulasi dan persepsi negatif terhadap keseriusan Jaksa Agung.
Sebenarnya, dengan titik tekan pemberantasan korupsi pada penegakan hukum, tidak mungkin masalah korupsi bisa diselesaikan. Lahirnya Tim Pemberantasan Korupsi, Tim Pemburu Koruptor, dan Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi hanyalah perangkat yang mendukung. Apalagi, dengan realitas bahwa aparat penegak hukum justru selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perluasan dan perkembangan praktek korupsi itu sendiri, korupsi akan sulit diberantas.
Yang harus diyakini oleh Yudhoyono adalah korupsi akan selalu tumbuh jika tiga kondisi yang merusak tidak diperbaiki secara simultan, yakni peluang atau kesempatan melakukan korupsi tetap tinggi, kemungkinan koruptor tertangkap kecil dan kemungkinan lepasnya tinggi, dan hasil korupsi jauh lebih tinggi daripada risiko yang akan diterima koruptor. Sayangnya, Presiden, walaupun berkeinginan kuat untuk melakukan pemberantasan korupsi, menempuh pendekatan yang tidak terfokus, kurang sistematis, dan parsial.
Menempatkan agenda pemberantasan korupsi pada wilayah yang terpisahkan dari agenda perbaikan di sektor lainnya telah menghilangkan kesempatan untuk menciptakan peluang yang lebih baik dalam memperbaiki secara terpadu masalah-masalah di sektor ekonomi, pelayanan publik, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Padahal tiga hal itulah yang selama ini menjadi agenda prioritas pemerintahannya.
Adnan Topan Husodo
Anggota Badan Pekerja ICW
Koran Tempo, 19 Oktober 2005