Pemberantasan Korupsi Setengah Hati
Dalam menghadapi korupsi yang endemik dan sistemik, Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan untuk membentuk KPK sebagai suatu super body yang diberi wewenang besar untuk memberantas korupsi yang sudah masuk ke dalam sistem politik, ekonomi, dan hukum, serta meluas hampir ke semua bidang kehidupan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah payung hukum untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberi wewenang dan kekuasaan luar biasa, antara lain mencekal, menyadap telepon, photocopy, dan electronic banking dianggap sebagai bukti, menjalankan pembuktian terbalik (omkering van het bewijslast), mengambil alih perkara korupsi jika polisi atau jaksa dianggap kurang serius menangani suatu perkara korupsi, dan lain-lain.
Penilaian masyarakat
Namun, menjelang usia satu tahun pada bulan November nanti, sudah saatnya prestasi dan kinerja KPK dinilai masyarakat.
Banyak suara menyesalkan kelambanan penanganan dan penuntutan perkara korupsi, baik oleh polisi, jaksa, maupun KPK yang tergabung dalam Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor).
Beberapa hari lalu Ketua KPK Taufikqurahman, seperti dikutip Jakarta Post dan Harian Kompas, mengeluh tidak adanya dukungan kampanye pemberantasan korupsi dari kabinet SBY. Departemen-departemen pemerintah sepertinya tidak mendukung upaya KPK dan Tim Tastipikor dalam pemberantasan korupsi. Sekneg malah minta diundurkan waktu untuk di-audit oleh BPK. Padahal BPK adalah rekanan paling dekat KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Terlepas dari keluhan Ketua KPK tentang minimnya dukungan dan kelambanan penuntutan perkara-perkara korupsi, perlu ditinjau dan dinilai apakah KPK betul-betul telah menjalankan fungsi sesuai undang-undang.
Penggabungan KPK ke dalam Tim Tastipikor boleh jadi telah memperlambat proses penuntutan perkara-perkara korupsi karena status super body-nya KPK menjadi direduksi dengan bergabung dalam Tim Tastipikor.
Tidak pernah terdengar KPK mengambil alih perkara korupsi yang ditangani kejaksaan atau kepolisian. Pemeriksaan dan penuntutan para pengurus KPU akhir-akhir ini menunjukkan tak adanya equal treatment terhadap para tersangka. Ada kesan, beberapa orang dikorbankan, tapi lainnya, yang dekat dengan kekuasaan, lolos dari tuntutan hukum.
Proses hukum yang diskriminatif seperti ini menyebabkan KPK telah mengabaikan asas equality before the law.
Janji
Dalam pemilu lalu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjanji memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Janji itu, jika dilaksanakan, dapat mencegah pemberantasan korupsi setengah hati ini. Karena, jika keadaan ini tidak cepat diperbaiki, tak adanya equal treatment kepada para tersangka perkara pengadaan tinta, kotak suara, dan teknologi informasi di KPU, maka jangan harap kampanye pemerintahan SBY untuk memberantas berhasil.
KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia harus betul-betul berfungsi sebagai super body dan pembentukan Tim Tastipikor harus ditinjau kembali. Kalau tidak efektif, harus diubah dan dikembalikan KPK seperti amanah UU No 30/2002 tentang KPK.
Seharusnya dengan segala wewenang dan kekuasaan yang diberikan UU KPK harus bisa bekerja lebih cepat, tuntas, efisien, dan bebas dari segala campur tangan para pemegang kekuasaan karena KPK memegang amanat rakyat untuk memberantas korupsi. Pada waktunya kekuasaan yang dipegang KPK akan dikembalikan kepada rakyat seusai masa kerjanya dan dipertanggungjawabkan hasilnya.
Bagaimanapun pemerintahan SBY adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat (from the people, for the people and by the people) karena 60 persen pemilih telah menjatuhkan pilihan langsung kepada SBY. Artinya, rakyat telah memberi mandat penuh kepada SBY.
Jika pemberantasan korupsi gagal, rakyat akan kecewa, karena pemberantasan korupsi adalah salah satu amanat rakyat, dan dijanjikan SBY dalam kampanye. Kontrak sosial ini harus tuntas. Janji memberantas korupsi harus dipenuhi. Pacta sunt servanda.
Frans H Winarta Advokat; Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN)
Tulisan ini disalin dari Kompas, 3 ktober 2005