Pemberantasan Mafia Perpajakan
Pasca penyerahan diri di Singapura, tersangka Gayus P. Tambunan (GT) menjadi tokoh sentral dalam membongkar mafia hukum dan mafia perpajakan. Dengan membongkar mafia perpajakan, bisa jadi akan terkuak dengan siapa GT bekerja sama. Bahkan, adakah oknum aparat perpajakan yang menggunakan modus kejahatan seperti GT.
Menteri keuangan telah bertindak cepat dan nyata dalam pemberantasan mafia atau makelar kasus perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) maupun Direktorat Jenderal Bea Cukai (Ditjen Bea Cukai). Pemberantasan tidak saja bertujuan memastikan mereka yang tersangkut kasus untuk dikenai sanksi, tetapi lebih dari itu, yaitu menjaga kepercayaan masyarakat pada dua Ditjen yang melakukan tugas perpajakan.
Salah satu langkah penting yang telah diambil adalah permintaan agar pejabat dan pemeriksa perpajakan di Ditjen Pajak dan Bea Cukai menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak.
Langkah ini penting karena merupakan tindakan awal dari suatu pembuktian terbalik. LHKPN bisa menjadi indikasi bila ada kejanggalan harta yang dimiliki aparat perpajakan. Kejanggalan ini yang akan menjadi kecurigaan.
Mereka yang dicurigai harus membuktikan bahwa jumlah harta yang lebih besar daripada gaji yang diperoleh bukan karena penyelewengan atas jabatan.
Boleh jadi penyelewengan yang dilakukan GT tidak terdeteksi sejak dini karena tidak ada keharusan baginya untuk menyerahkan LHKPN.
Tindakan menonaktifkan para pejabat dan aparat yang terkait dengan GT juga merupakan langkah strategis dari menteri. Dikatakan strategis karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serius ingin menuntaskan proses investigasi oleh Direktorat Kepatuhan Internal Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda) dan Inspektorat Jenderal. Di samping itu, nilai strategis terletak pada keengganan Kemenkeu melindungi para oknum aparat perpajakan yang mungkin terkait.
Bahkan, permintaan menteri keuangan agar Komite Pengawas Perpajakan (KPP) memeriksa proses, kebijakan, dan administrasi pajak dan bea cukai yang rawan korupsi perlu diapresiasi. Titik-titik lemah dan rawan ini yang harus disempurnakan dalam kebijakan-kebijakan menteri keuangan.
Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi di lingkungan Ditjen Pajak dan Bea Cukai harus terus dilakukan. Terungkapnya kasus mafia perpajakan oleh GT bukan berarti kegagalan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi tidak dengan sendirinya mengakhiri atau menghilangkan mafia perpajakan dan kejahatan yang dilakukan oknum aparat perpajakan. Ini merupakan suatu mitos yang harus diluruskan.
Ada beberapa alasan mengapa mafia perpajakan akan terus ada sepanjang zaman meski sistem telah dibenahi dan disempurnakan.
Pertama, selama masih ada wajib pajak atau mereka yang dikenai pungutan, baik secara sendiri maupun melalui oknum konsulen pajak, yang menghendaki adanya keringanan atau pengurangan secara signifikan jumlah pajak yang harus dibayarkan secara melawan hukum, selama itu mafia perpajakan akan terus bergentayangan.
Kedua, mafia perpajakan akan terus ada bila masih ada aparat di Ditjen Pajak yang bermental korup dan bersedia menyalahgunakan jabatannya demi imbalan uang.
Ketiga, bila ada oknum hakim di pengadilan pajak yang turut bermain dalam memutus keberatan yang dilakukan wajib pajak.
Bila mencermati tiga alasan di atas, semuanya bertumpu pada manusia. Manusia berperan penting dalam menentukan ada tidaknya mafia perpajakan.
Pemberantasan
Memberantas mafia perpajakan tentu tidak cukup dengan membenahi sistem perpajakan. Ada sejumlah langkah penting yang perlu dilakukan berbagai instansi.
Pertama dan yang terpenting adalah diperlukannya mekanisme pengawasan dan penghukuman yang efektif (workable mechanism) bagi mereka yang melakukan kejahatan perpajakan. Tanpa mekanisme pengawasan dan penghukuman yang efektif, mafia perpajakan akan terus eksis. Ketiadaan pengawasan dan penghukuman merupakan insentif untuk tumbuh suburnya mafia perpajakan.
Pengawasan dan penghukuman tidak hanya ditujukan kepada para pelaku yang melakukan penyimpangan. Langkah itu juga dimaksudkan untuk memiliki dampak pencegahan (detterent effect) bagi individu yang mungkin memiliki, atau mencoba-coba berniat jahat.
Kedua, sebagaimana dijalankan saat ini, diperlukan perbaikan remunerasi bagi aparat perpajakan. Perbaikan remunerasi bertujuan agar dapat dibedakan antara mereka yang melakukan penyimpangan karena kebutuhan (need) untuk bertahan hidup, dengan mereka yang melakukan penyimpangan karena kerakusan (greed). Sebelum dilakukan perbaikan remunerasi, penindakan terkadang lemah karena memaklumi demi kebutuhan hidup.
Mereka yang melakukan penyimpangan karena kerakusan tentu harus mendapat sanksi tegas dan sepadan, baik bedasarkan kode etik, peraturan kepegawaian, maupun ketentuan pidana.
Ketiga, perlu diperhatikan rekrutmen para pegawai perpajakan. Perekrutan mereka tidak hanya didasarkan kepandaian yang dimiliki, tetapi juga harus dilihat pada dedikasi dalam menjalankan tugas sebagai pejabat dan aparat perpajakan.
Sekadar pandai tanpa memiliki dedikasi ataupun sense of belonging pada institusi, justru berpotensi mencemarkan institusi. Mereka akan sekadar mencari hidup, atau justru dengan kepandaiannya memanfaatkan peluang dari kelemahan yang ada pada sistem perpajakan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi.
Tentu masih banyak lagi langkah yang dapat diambil dalam rangka pencegahan dan penindakan terjadinya mafia perpajakan.
Namun, satu hal yang harus dicermati pengambil keputusan dalam upaya memberantas mafia perpajakan adalah kepercayaan publik terhadap Ditjen Pajak dan Bea Cukai harus menjadi prioritas dan terus dijaga.
Karena itu, publik harus diberi ruang untuk turut mengawal dan mengawasi berjalannya sistem dan perilaku manusia di instansi perpajakan. Masukan dari publik yang berdasar demi menjaga integritas institusi dan aparat harus diperhatikan.
Di sinilah salah satu tugas penting KPP (Komite Pengawas Pajak), yaitu mendengarkan dan menampung segala aduan dari masyarakat agar sistem perpajakan menjadi credible dan dapat dihindari adanya distrust dan mistrust dari publik.(c2/kum)
Hikmahanto Juwana, Anggota Komite Pengawas Perpajakan dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 April 2010