Pemberi Cek Masih Misterius
Jaksa Diminta Hadirkan Nunun
Pemberi cek perjalanan dalam kasus dugaan suap saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, yang dimenangi Miranda S Goeltom, masih misteri. Salah seorang saksi kunci pemberi cek perjalanan ini, Ferry Yen alias Suhardi, telah meninggal. Saksi kunci lain, Nunun Nurbaeti, belum bisa dihadirkan dengan alasan sakit lupa berat.
”Ferry Yen meninggal dunia tahun 2007,” kata Budi Santoso, Direktur Keuangan PT First Mujur Plantation and Industry, saat bersaksi untuk terdakwa Dudhie Makmun Murod, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (12/4).
Di depan majelis hakim, Budi mengatakan, pada pertengahan 2004, Direktur Utama PT First Mujur Plantation and Industry Hidayat Lukman membuat perjanjian bisnis dengan Ferry Yen. Keduanya sepakat membeli lahan seluas 5.000 hektar untuk perkebunan kelapa sawit sistem plasma senilai Rp 75 miliar di Sumatera.
Dalam perjanjian itu, Hidayat, yang juga pemilik PT First Mujur Plantation and Industry, menanggung 80 persen biaya pembelian dan sisanya ditanggung Ferry. Hidayat meminjam dana perusahaannya untuk investasi.
Oleh karena saat itu perusahaan tersebut tak memiliki dana tunai, Hidayat meminta Budi mengajukan kredit berjangka ke Bank Artha Graha. Saat kredit cair, dana dalam bentuk cek lantas diserahkan kepada Ferry. ”Tetapi, Ferry minta diubah menjadi cek perjalanan dalam pecahan Rp 50 juta,” katanya.
Budi lantas menukarkan cek itu ke Bank Artha Graha. Namun, karena Bank Artha Graha tak menerbitkan cek perjalanan, ia lantas memesan cek perjalanan Bank International Indonesia (BII). ”Saya yang tanda tangan di formulir pembelian dari BII, lalu saya cap perusahaan,” kata Budi.
Cek perjalanan, kata Budi, kemudian diserahkan kepada Ferry di ruangan rapat First Mujur. Namun, Budi mengaku tak mengetahui peredaran cek itu kenapa sampai kepada anggota Dewan.
”Saya baru tahu cek itu sampai ke anggota DPR saat kasus ini ramai di media,” katanya. Menurut Budi, sebelum kasus itu merebak, Ferry sempat mencicil uang Rp 24 miliar itu ke PT First Mujur Plantation and Industry. ”Tetapi, baru Rp 13 miliar, lalu dia meninggal,” ujarnya.
Nunun Nurbaeti, pengusaha dan istri mantan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Purn) Adang Daradjatun, yang diagendakan untuk bersaksi, tidak memenuhi panggilan pengadilan lagi. Sempat terjadi kericuhan di luar sidang ketika dua kelompok pengacara sama-sama mengaku sebagai kuasa hukum Nunun. Kedua kelompok pengacara ini juga mengklaim memiliki surat kuasa dari Nunun dan keluarga.
Awalnya, pengacara Ina Rahman menyatakan sebagai pengacara Nunun. Saat Ina diwawancarai, muncul dua pengacara lain, Petrus Bala Pattiona dan Partahi Sihombing. Melihat ada pengacara yang memberikan keterangan soal Nunun, keduanya pun gusar. ”Lho, dia itu siapa? Jangan sampai disesatkan. Kami ini kuasa hukum Ibu Nunun yang sah. Ada surat kuasa,” kata Petrus.
Nunun di Singapura
Kepada wartawan, Ina mengatakan, Nunun dipastikan tak bisa hadir sebagai saksi sebab berada di Singapura. ”Ibu Nunun di Singapura dari awal 2010 untuk berobat jalan di Rumah Sakit Mount Elizabeth,” katanya.
Ina menambahkan, selama ini pihaknya yang memberikan surat keterangan dokter ke pengadilan. Nunun sakit lupa berat, dimentia mengarah ke amnesia.
Namun, Partahi menyatakan, pernyataan Ina tidak valid. ”Saya tidak kenal dia. Kami dapat surat kuasa sejak September 2008 dari Ibu Nunun dan sampai sekarang belum dicabut. Secara etik advokat, dia (Ina) tidak etis. Memang bisa saja dia dapat surat kuasa, tetapi kapan?” tanyanya.
Ina menyatakan, dirinya mendapat surat kuasa dari Nunun pada Februari 2010. ”Sebelumnya saya sempat ketemu Ibu Nunun di Jakarta,” katanya.
Terhadap ketidakhadiran Nunun itu, ketua majelis hakim, Nani Indrawati, meminta jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar sekali lagi menghadirkannya dengan upaya yang lebih serius lagi. Hal ini guna mengungkap benang merah perkara ini.
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, ”KPK siap menjemput paksa jika sudah ada perintah dari hakim. Besok baru diputuskan langkah terbaik.” (aik)
Sumber: Kompas, 13 April 2010