PEMBERIAN MAHAR DALAM PILKADA MARAK, BAWASLU HARUS BERGERAK CEPAT UNTUK MEMPROSES HUKUM
Rilis Pendanaan Partai dan PILKADA
Dalam setiap perhelatan pemilihan umum, salah satu problem terbesar yang seringkali dihadapi adalah berbagai macam praktek politik uang. Pilkada serentak yang akan diselenggarakan Desember mendatang tidak luput dari persoalan yang sama.
Politik uang tidak hanya dilakukan oleh partai atau kandidat kepada pemilih/penyelenggara. Yang paling berbahaya salah satunya praktek politik uang dari kandida kepada partai. Praktek ini sering disebut beli perahu atau mahar dari kandidat kepada partai. Modus ini oleh elit partai untuk memalak setiap kandidat yang ingin diajukan menjadi bakal calon kepala daerah.
Transaksi dukungan terus terjadi di tengah pragmatisme kandidat dan partai. Diduga momentum pilkada justru menjadi kesempatan bagi partai “mencari uang”. Mahar politik sering dijadikan sumber pendanaan illegal bagi partai. Salah satu musababnya adalah minimnya keuangan partai yang diperoleh secara legal/sah. Modusnya bisa dalam bentuk pemerasan oleh elit partai kepada kandidat yang ingin diajukan atau bisa juga suap dari kandidat kepada partai.
Sejumlah daerah yang ikut menyelenggarakan Pilkada 2015 yang disebut-sebut terjadi praktek suap dukungan antara lain seperti : Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Toba Samosir. Sejumlah kandidat dan pengurus partai memberikan testimon mengenai permintaan uang kepada kandidat oleh partai.
Namun diyakini, tiga daerah di atas hanyalah sekedar fenomena gunung es. Praktek yang sama banyak terjadi di daerah lain. Namun sulit dibongkar karena adanya simbiosis mutualisme. Dalam anggapan partai, praktek semacam ini merupakan sesuatu yang lumrah untuk biaya operasional pilkada. Namun tentu tidak begitu halnya karena uang tersebut seringkali justru dinikmati segelintir elit partai.
Praktek ini harus ditindak tegas. Sudah pada kewajibannya partai menyodorkan orang-orang terbaik menjadi pasangan calon kepala daerah untuk dipilih oleh publik. Bukan calon kepala daerah yang lahir dari transaksi kepentingan dan uang belaka.
Badan pengawas Pemilu (BAWASLU) harus bergerak cepat untuk memproses informasi adanya praktek mahar pilkada tersebut. UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemililihan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota mengatur secara jelas sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada setiap orang dan partai yang memperdagangkan dukungan.
Dalam pasal 47 UU Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan :
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
(6) Setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Pasal tersebut sangat jelas memberikan aturan dan larangan adanya pemberian uang kepada partai dalam proses pencalonan. Bahkan bisa dikenakan denda sebesar 10 kali lipat dari nilai yang diterima. Tidak hanya penerima, namun pemberi suap politik ini juga bisa dijerat dengan pidana. Tentu ini merupakan ranah BAWASLU untuk menindaklanjutinya kedalam proses pidana pemilu.
Bahkan apabila ditemukan indikasi penerima merupakan penyelenggara negara, maka BAWASLU bisa bekerjasama dengan penegak hukumlain seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan untuk memproses dengan UU TINDAK PIDANA KORUPSI dengan pasal-pasal SUAP.
Desakan
1. BAWASLU harus serius dan bergerak cepat untuk memproses pelaku politik uang yang memperdagangkan dukungan partai kepada kandidat.
2. Kandidat dan masyarakat diharapkan turut aktif untuk membongkar serta melaporkan berbagai macam informasi terkait politik uang.
***
Jakarta, 12 Agustus 2015
ICW, Perludem, FORMAPPI