Pembobol BRI Dituntut 20 Tahun [08/06/04]
Mantan Kepala Cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) Segi Tiga Senen, Jakarta, Deden Gumilar dituntut 20 tahun penjara dipotong masa tahanan, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin.
Menurut Jaksa Penuntut Umum Tatang Sutarna dan A Aziz, Deden telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp190,55 miliar. Karena itu, jaksa meminta majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Soeripto menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara terhadap terdakwa.
Selain itu, jaksa juga menuntut terdakwa untuk membayar denda Rp1 miliar atau subsider lima bulan kurungan. Terdakwa juga dihukum membayar uang pengganti kerugian negara Rp30 miliar atau subsider tiga tahun penjara.
Dalam tuntutannya, jaksa mengatakan, sebagai kepala cabang BRI, Deden telah bertindak yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap BRI, sebagai bank pemerintah.
Terdakwa yang mengenakan kemeja lengan panjang putih dipadu celana hitam dan berkacamata minus itu tampak serius mendengarkan tuntutan jaksa.
Di kursi terdakwa, beberapa kali Deden tampak mengusap hidungnya dengan tangan kiri dan memejamkan mata. Ia juga terlihat gelisah selama sidang berlangsung. Sidang kasus pembobolan BRI tersebut dimulai sekitar pukul 13.45 WIB.
Dalam tuntutan setebal 200 halaman yang dibacakan secara bergantian, jaksa menyatakan terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No 31/1999, jo Undang-Undang No 20/2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Karena itu, sudah sepantasnya terdakwa dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi BRI sebesar Rp190,55 miliar, tegas Tatang.
Jaksa menguraikan, dalam melakukan aksinya, terdakwa selaku Kacab BRI Segi Tiga Senen dibantu Komisaris Utama PT Delta Makmur Ekspresindo (DME) Yudi Kartolo dan Hartono Tjahjadjaja, direktur utama DME, serta Richard Latief (kini masih buron).
Perbuatan terdakwa itu, jelas jaksa, dilakukan sekitar Januari hingga September 2003. Awalnya, terdakwa mengajukan kredit deposito fiktif ke BRI atas nama Afrida Gerung sebesar Rp20 miliar. Kemudian, terdakwa juga membuat deposito fiktif atas nama Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera sebesar Rp36 miliar.
Padahal, Afrida Gerung maupun AJB Bumiputera dalam kenyataannya tidak pernah mengajukan kredit. Uang tersebut oleh terdakwa ditransfer ke rekening PT DME atas nama Richard Latief, kata jaksa.
Tidak lama setelah itu terjadi kredit macet di BRI Segi Tiga Senen. Untuk menutupi itu, terdakwa meminta bantuan Yudi Kartolo dan Hartono Tjahjadjaja untuk mencarikan penempatan dana segar deposito di BRI dengan bunga sangat tinggi. Mereka kemudian berhasil mendapatkan penempatan dana sebesar Rp100 miliar dari BPD Kaltim dan Rp70,55 miliar dari Dana Pensiun Perkebunan.
Setelah mendapatkan dana tersebut, terdakwa kemudian membayar deposito fiktif AJB Bumiputera sebesar Rp36 miliar. Sedangkan sisanya, sebesar Rp190,55 miliar, oleh terdakwa, Yudi dan Hartono ditransfer ke rekening PT DME dengan menggunakan sistem prosedur RTGS (real time gross setlement/sistem transfer dana/penyelesaian transaksi antarbank seketika) hanya berdasarkan faksimile.
Padahal, berdasarkan peraturan perbankan sistem transfer lewat RTGS itu tidak dibenarkan, karena menyalahi peraturan. Sebab, dalam RTGS tidak dikenal faksimile, ujar jaksa.
Mengenai tuntutan itu, usai sidang, terdakwa hanya mengatakan, Tuntutan 20 tahun penjara itu sangat berat.
Dia menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada kuasa hukumnya, Ferry Juan. Sidang dilanjutkan Senin (14/6) dengan agenda pembacaan pembelaan terdakwa. (Sur)
Sumber: Media Indonesia, 8 Juni 2004