Pembreidelan Gaya Baru
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan gugatan perdata PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) atas Koran Tempo, pada 3 Juli 2008, tak hanya kontroversial secara substantif, tapi juga menjadi pertanda buruk bagi dunia pers di Tanah Air. Putusan yang menetapkan Koran Tempo membayar ganti rugi sebesar Rp 220 juta, membuat hak jawab dan hak koreksi, menyatakan penyesalan, serta mencabut berita, dan diwajibkan menyampaikan permohonan maaf di sejumlah media cetak dan elektronik selama tujuh hari berturut-turut, itu juga dinilai dapat membangkrutkan dan membunuh sebuah penerbitan pers.
Jika kewajiban permohonan maaf ini dipenuhi, diperkirakan Koran Tempo tak cuma rugi Rp 220 juta, tapi harus mengeluarkan biaya iklan yang diperkirakan mencapai Rp 20 miliar. Sebuah angka yang tidak sedikit di zaman yang masih serba sulit ini. Hakim sama sekali mengabaikan kerugian yang ditanggung publik jika sebuah media berhenti beroperasi dan tidak dapat menjalankan fungsi-fungsi sosialnya.
Dalam konteks yang lain, vonis PN Jakarta Selatan terhadap Koran Tempo dapat dilihat sebagai bentuk pembreidelan baru terhadap institusi media, yakni dengan menjatuhkan sanksi yang secara ekonomi memberatkan dan mengancam eksistensi media yang diperkarakan. Sementara di era Orde Baru pembreidelan atau penutupan sebuah media dilakukan dengan cara mencabut surat izin usaha penerbitan (SIUP), sekarang pembreidelan dilakukan dengan cara membangkrutkan sebuah media melalui perantara pengadilan.
Lebih dari itu, secara lebih luas, putusan PN Jakarta Selatan dalam perkara RAPP versus Koran Tempo tidak hanya dinilai secara sempit sebagai kekalahan pihak Koran Tempo semata, namun secara lebih luas merupakan ancaman terhadap kebebasan pers. Bagi insan pers, kebebasan atau kemerdekaan pers merupakan bagian penting atau roh dari hidup-matinya pers. Kebebasan pers merupakan suatu hal yang universal, hampir semua negara di dunia mengakui dan mengatur soal kebebasan pers dalam hukum positif di negara masing-masing. Di Indonesia, kemerdekaan pers dijamin secara tegas dan lugas dalam konstitusi melalui Amendemen Kedua UUD 1945.
Undang-Undang Pers menyebutkan kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dalam arti pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan/atau penekanan agar hak masyarakat memperoleh informasi terjamin.
Meskipun sudah diatur mengenai jaminan kebebasan pers, pada prakteknya kebebasan pers sering kali menghadapi beberapa persoalan. Setidaknya ada lima hal yang kini muncul dan mendistorsi kebebasan pers, yakni, pertama, peraturan perundang-undangan dengan substansi yang memberi peluang terjadinya distorsi atas kebebasan pers, seperti tercantum pada ketentuan dalam KUHP sekarang, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Perseroan Terbatas, atau Undang-Undang Hak Cipta.
Ancaman kedua datang dari birokrasi. Dahulu, pers lekat dengan “budaya telepon” dari pejabat. Kenyataannya, tindakan berlebihan oleh pejabat dan aparat dalam menanggapi pemberitaan pers justru semakin kerap terjadi. Ketiga, ancaman itu bisa datang dari masyarakat yang kerap main hakim sendiri. Selain kasus penyerbuan di kantor harian Indopos, masih hangat dalam ingatan kita peristiwa penyerbuan ke kantor majalah Tempo di Jakarta dan penyerbuan ke kantor Jawa Pos di Surabaya beberapa tahun lalu.
Ancaman keempat terhadap kebebasan itu bisa muncul dari kalangan pers itu sendiri. Ini bisa datang dari kalangan pemilik modal atau unsur pimpinan yang menekan wartawan agar tidak memberitakan atau membatasi pemberitaan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan mereka.
Ancaman kelima datang dari pihak pengusaha dengan cara melakukan kriminalisasi terhadap pers dan gugatan perdata terhadap pers atas pemberitaan yang dibuatnya. Dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers, sejak 2003 sampai 2007 sedikitnya ada 53 perkara pencemaran nama baik dan 108 gugatan perdata yang dialamatkan pada media pers. Dalam putusannya, mayoritas hakim pengadilan mengesampingkan Undang-Undang Pers dan mengadili berdasarkan hukum perdata dan hukum pidana. Pengadilan menganggap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sekadar mengatur hak jawab dan tidak mencakup semua delik pers.
Kriminalisasi atas berita-berita pers melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi ancaman baru bagi tampilnya kebebasan pers yang sesungguhnya. Ancaman atas kebebasan pers itu belakangan semakin tampak, seiring dengan makin banyaknya delik pers yang dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Banyak insan pers yang telah "dikriminalisasi" oleh aparat penegak hukum, di antaranya bahkan divonis bersalah oleh pengadilan.
Saat ini Koran Tempo yang menjadi korban ketidakpahaman institusi peradilan, khususnya pengadilan, terhadap kedudukan UU Pers. Namun, pada waktu mendatang, sangat mungkin hal yang sama akan juga terjadi pada media-media lainnya. Karena itu, vonis yang dijatuhkan kepada Koran Tempo harus dilihat dan disikapi sebagai problem pers Indonesia secara keseluruhan.
Jika kebebasan media untuk menyebarkan informasi kepada publik dibungkam dengan "pembreidelan gaya baru" sebagaimana telah terjadi, yang paling dirugikan sebenarnya bukan hanya kalangan media, tapi terutama sekali adalah publik, yang sangat bergantung pada media massa dalam memperoleh informasi tentang kinerja pemerintahan dengan segala skandal dan penyelewengannya.
Dampak negatif lain yang timbul dari kasus ini juga dapat mengendurkan upaya pers untuk mengungkap perkara korupsi maupun penyimpangan yang dilakukan oleh pengusaha dan/atau pengusaha yang merugikan negara. Putusan tersebut dapat menjadi sindrom yang menakutkan bagi pers untuk memberitakan perkara-perkara korupsi maupun penyimpangan lainnya di Indonesia.
Para pengusaha akan menjadikan putusan perkara RAPP versus Koran Tempo sebagai acuan untuk mengancam dan membungkam pers. Pers tidak lagi dapat kritis dan berpikir seribu kali untuk menginvestigasi atau membongkar praktek korupsi, pembalakan liar, maupun penggelapan pajak. Padahal, harus diakui bahwa pers memiliki peran yang sangat vital dalam upaya membongkar praktek korupsi dan penyimpangan di negara paling korup di dunia ini.
Jika media telah dibungkam dan dibatasi, masyarakat akan kehilangan sarana untuk mengontrol dan melakukan public scrutiny atas proses penyelenggaraan pemerintahan dalam berbagai bentuknya. Fungsi kebebasan pers tidak pernah berdiri sendiri, selalu seiring dengan fungsi kebebasan informasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia. Artinya, jika kebebasan pers terancam, maka kebebasan informasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia juga mengalami ancaman serupa.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 7 Agustus 2008