Pemekaran Daerah Diiringi KKN
Dampak positif pemekaran daerah sudah dirasakan masyarakat meski masih terbatas pada pembangunan fisik daerah. Peningkatan pelayanan kepada publik dan tingkat kesejahteraan dinilai belum berhasil. Pengurangan penganggur dan pemberantasan KKN juga sekadar menjadi kisah klasik.
Gambaran itu terungkap melalui penelusuran opini publik di enam provinsi yang telah berpisah dari provinsi induknya dalam kurun 1999 hingga 2004. Penilaian publik memang menyiratkan optimisme yang besar. Secara umum, separuh hingga tiga perempat bagian responden jajak pendapat merasa puas dengan kondisi pembangunan infrastruktur, gedung-gedung, sarana kesehatan, pendidikan, hingga ibadah.
Selain pembangunan sarana fisik, responden di Irian Jaya Barat (Irjabar), Gorontalo, dan Maluku Utara bahkan menilai kondisi ekonomi daerah lebih baik dibandingkan dengan sebelum dimekarkan. Pelayanan birokrasi dan pemeliharaan lingkungan hidup juga diakui lebih baik meski proporsi suara tidak mutlak. Alhasil, sebagian besar responden di Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara, dan Irjabar menilai kondisi daerah mereka memang kini lebih baik.
Pandangan publik di beberapa provinsi pemekaran mencerminkan pelaksanaan pemekaran daerah sejauh ini membawa dampak lebih dinamis bagi pembangunan fisik. Penilaian publik pun cenderung lebih banyak melihat sisi kasatmata dari apa yang dinamakan era desentralisasi dan otonomi daerah. Rasa kepuasan lebih menonjol dinyatakan terhadap pembangunan infrastruktur daerah, pusat bisnis, perkantoran, sarana kesehatan, dan sarana pendidikan meski ada pula responden di Irjabar, Kepri, dan Banten yang belum puas dengan pembangunan fasilitas bersosialisasi seperti sarana olahraga dan taman kota.
Opini itu tak lepas dari pengalaman keterpurukan dan ketertinggalan daerah di masa sebelumnya seperti terlihat di Irjabar dan Kepri yang sebenarnya justru kaya hasil sumber daya alam minyak, gas, dan logam mulia. Gorontalo, Maluku Utara, serta Banten, yang punya corak wilayah dengan etnisitas keagamaan khas, juga merasa kurang diperhatikan.
Maka, wajar optimisme publik lebih banyak tertuju pada pembangunan fisik. Lebih dari tiga perempat bagian responden di setiap provinsi yakin pemekaran merupakan pilihan tepat dan percaya daerahnya akan semakin maju setelah dipisahkan dari provinsi induk. Jika dibandingkan dengan suara publik pada jajak pendapat tentang pemekaran Irja tiga tahun lalu, Februari 2003, terlihat benang merahnya. Dua dari tiga responden pada jajak pendapat itu mendukung ide pemekaran Irian Jaya saat itu, terlepas dari situasi pro dan kontra di Irian. Ini tercermin dari jawaban 59,7 persen responden yang menilai kesejahteraan mereka lebih baik daripada sebelum pemekaran.
Otonomi daerah menjadi tren politik pascadesentralisasi kekuasaan setelah keluarnya UU No 22/1999. Konsep desentralisasi membawa dampak lebih jauh dengan dimekarkannya sejumlah daerah, yang lalu dijabarkan dalam PP No 129/2000.
Persoalan kemudian muncul karena masifnya upaya daerah untuk berlomba memekarkan diri. Upaya itu dilakukan baik oleh elite lokal, sekelompok massa, maupun politisi pusat. Akibatnya, kesan terjadinya lapar kekuasaan tak terhindarkan. Kondisi itu ditunjang mekanisme pemekaran suatu daerah yang relatif tidak sulit. Untuk mewujudkan sebuah kabupaten/provinsi baru, misalnya, diperlukan syarat berupa skor penilaian atas syarat teknis, minimal tiga kecamatan untuk kota/kabupaten baru atau tiga kabupaten/kota untuk provinsi baru. Sampai saat ini telah terbentuk 7 provinsi baru, 144 kabupaten, dan 27 kota yang merupakan hasil pemekaran. Sementara usulan yang masuk dan masih ditahan mencapai angka di atas seratus wilayah.
Dalam pandangan responden, jumlah daerah baru yang dibentuk memang masih menjadi tanda tanya. Secara garis besar, sebagian besar responden ingin kebijakan pemekaran daerah diteruskan.
Akan tetapi, kecenderungan usaha-usaha pemekaran tanpa mempertimbangkan potensi daerah agaknya juga cukup mengkhawatirkan responden. Oleh karena itu, terhadap penambahan provinsi, kabupaten, dan kota yang saat ini terjadi, sebagian besar responden di enam provinsi merasakan sudah cukup.
Kekhawatiran publik pertama-tama ditujukan kepada kondisi keuangan negara yang dipakai untuk membiayai daerah-daerah baru. Bukan rahasia lagi kalau terbentuknya daerah yang baru ujung-ujungnya akan membebani anggaran negara. Banyak daerah baru, khususnya di tingkat kabupaten/kota, yang masih bergantung pada subsidi daerah induknya. Pidato Presiden mengemukakan belanja negara untuk dana perimbangan ke semua daerah mencakup Rp 220,1 triliun atau menghabiskan sekitar sepertiga dari total belanja negara tahun 2006. Jika daerah terus berkembang, bukan tidak mungkin anggaran negara untuk sektor lainnya menjadi terpangkas.
Persoalan ketidakjelasan wilayah ibu kota, perebutan aset daerah, kekurangan sumber daya manusia, jumlah PNS, hingga penyediaan bangunan kantor pemerintahan daerah pun masih banyak terjadi, khususnya pada daerah tingkat II. Kajian Litbang Kompas terhadap potensi kemandirian 24 daerah kabupaten dan kota yang dimekarkan pada periode 2000-2001 menunjukkan hampir seluruhnya (88 persen) kondisi daerah hasil pemekaran berada di bawah level daerah lain dalam provinsi itu. Secara rata-rata, kondisinya di bawah standar penilaian kemampuan menghidupi diri dan menjalankan roda pembangunan. Wilayah kota yang baru mekar pun, meski potensi ekonominya kuat, ternyata menyimpan masalah dalam birokrasi. Jumlah PNS yang terlalu sedikit dan belum terampil sebagai pelayan publik menjadi kendala bagi kota itu (Kompas, 24 Mei 2006).
Kekhawatiran terhadap pelaksanaan pemekaran suatu daerah ini juga terkait dengan tidak siapnya daerah baru menghadapi persoalan mendasar yang berpotensi menumpulkan upaya pembangunan daerah tersebut. Persoalan mendasar itu, yakni pengangguran dan pemberantasan KKN, terungkap dalam pandangan responden di enam provinsi pemekaran yang secara umum menilai belum adanya perbaikan dalam upaya penyediaan lapangan kerja dan pemberantasan KKN. Bahkan, banyak yang khawatir bahwa terbentuknya daerah baru sebenarnya sama saja dengan membuka lahan korupsi baru. Kuatnya kedudukan pemimpin daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilihan kepala daerah membuat kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan makin besar, seperti tercermin dalam beberapa kasus korupsi yang menyeret kepala daerahnya ke hotel prodeo.
Di sisi lain, kesungguhan parlemen daerah (DPRD I dan DPRD II) dalam mengawasi sepak terjang kepala daerah kerap masih mengundang tanda tanya masyarakat daerah. Keleluasaan kepala daerah mengesahkan kenaikan gaji, pemberian tunjangan dan fasilitas terhadap anggota perwakilan rakyat daerah, sangat berpotensi menghadirkan kolusi halus antara pelaksana kekuasaan daerah dan lembaga pengontrolnya. Peranan partai politik, yang sejauh ini kehilangan banyak pamor dalam fungsinya mewakili aspirasi masyarakat, kian dipertanyakan. Parpol dipandang sekadar memperjuangkan kepentingan sendiri ketimbang menghitung keuntungan yang didapat masyarakat dengan manuver politiknya.
Sekitar separuh responden jajak pendapat di enam provinsi bahkan menilai pemekaran daerah saat ini pun, yang melibatkan peran parpol, sebetulnya lebih banyak menguntungkan parpol ketimbang menguntungkan masyarakat. Sementara yang menilai pemekaran lebih menguntungkan masyarakat hanya sekitar sepertiga responden. Kenyataannya, perolehan suara ataupun kursi parpol besar di kursi legislatif memang lebih besar setelah dilakukan pemekaran daerah. Akibatnya, meskipun gagasan bahwa kepentingan masyarakat mendasari pemekaran daerah bisa diterima sebagian besar responden, kecurigaan bahwa ini semua sebenarnya kerjaan politisi mengendap dalam benak publik. Hal itu akan semakin terbukti jika pemekaran akhirnya tidak menghadirkan kesejahteraan rakyat di daerah. (Litbang Kompas-Toto Suryaningtyas)
Sumber: Kompas, 25 September 2006