Pemerintah dari Aceh sampai Papua Terjerat
Korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua. Kasus korupsi yang muncul tak hanya menjerat sejumlah penyelenggara negara, tetapi juga menghambat penyejahteraan rakyat. Korupsi pun menimbulkan gejolak di daerah.
Maraknya korupsi di sejumlah daerah terungkap dari penelusuran data dan pemberitaan yang dilakukan Kompas. Sepanjang tahun 2008 saja, sejumlah kepala daerah dan pejabat di daerah berstatus tersangka, terdakwa, atau terpidana, bahkan dipenjara, terbelit korupsi dengan beragam kasus. Mereka pasti tidak bisa optimal melayani rakyat.
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Jusuf secara khusus melaporkan terjadinya dugaan korupsi pada tujuh pemerintahan kabupaten di wilayahnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Kompas, 19/3). Hal itu dilakukan karena korupsi ”mengganggu” upayanya mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pun memprihatinkan korupsi di negeri ini. Padahal, ibarat gunung es, kasus yang muncul hanyalah puncaknya. Masih banyak kasus yang belum terungkap.
Ia terutama memprihatinkan korupsi yang melibatkan kalangan eksekutif dan legislatif. Jelas ini akan memengaruhi kebijakan untuk menyejahterakan rakyat dan memerhatikan hajat hidup orang banyak.
Kian merajalela
Guru besar hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Adi Sulistyono, Minggu (20/7), menilai korupsi memang kian merajalela, merambah ke berbagai sektor, dari tingkat pusat hingga daerah. Itu terjadi karena selama ini proses hukum pada pelaku korupsi sama sekali tak menjerakan. ”Koruptor yang menimbulkan kerugian negara miliaran sampai triliunan rupiah paling hanya divonis tiga sampai empat tahun. Jadi, bagaimana ada efek jera,” ujarnya di Jakarta.
Menurut Adi, sanksi pidana yang rendah membuat koruptor tidak kapok. Apalagi, penegakan hukum di negeri ini penuh toleransi, memberi koruptor peluang menikmati berbagai fasilitas. ”Kalaupun masuk penjara, beberapa tahun saja. Dengan uang, di penjara dia bisa mendapat fasilitas,” ujarnya. Sanksi sosial pun tidak ada.
”Lihat saja di Solo. Ada anggota DPRD yang pernah dihukum karena korupsi bisa kembali menjalani tugas sebagai wakil rakyat lagi,” kata Adi.
Menghadapi korupsi yang kian parah, menurut Adi, seharusnya pelaku dihukum mati agar ada efek jera. ”Jika tidak dihukum mati, terpidana korupsi harus dimasukkan ke penjara khusus terisolasi sehingga tidak bisa melakukan kontak dengan siapa pun. Mungkin dengan cara seperti ini mereka bisa jera dan tak berani korupsi lagi,” ujarnya.
Banyak peluang
Pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Purwo Santoso, mengakui, praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah dan pejabat di daerah disebabkan terbuka lebarnya peluang korupsi, antara lain karena kekacauan administrasi keuangan pemerintahan. ”Kesempatan untuk korupsi terbuka lebar. Ada begitu banyak kesempatan bagi pejabat di daerah dan pusat untuk korupsi,” katanya.
Purwo mencontohkan, keberadaan dana taktis atau dana nonbudgeter yang hampir dimiliki setiap kantor pemerintahan di Indonesia sangat membuka peluang untuk korupsi. Hampir tidak ada lembaga pemerintahan yang bisa hidup tanpa dana nonbudgeter. ”Anggaran biasanya baru turun bulan Juni, padahal kantor sudah melakukan kegiatan sejak Januari. Dari mana dana kegiatan itu bisa diambil kalau bukan dari nonbudgeter,” ujarnya.
Selain itu, kata Purwo, tingginya biaya politik yang dikeluarkan kepala daerah selama pencalonan juga memicu tindakan korupsi. Korupsi bukan semata-mata dipicu keserakahan oknum. ”Saat kepala daerah diisi orang-orang politik dan orang politik itu masuk dunia politik dengan membayar, termasuk membayar pemilih, ia sedang memperlakukan jabatannya sebagai komoditas. Dan, saat menjabat, ia harus mencari dana untuk mengembalikan modal yang digunakannya,” katanya lagi.
Kondisi itu sulit dihentikan karena masyarakat pun sebenarnya juga menikmati ”penyuapan” yang dilakukan calon kepala daerah saat pemilihan kepala daerah. ”Kalau kondisi ini tak segera diatasi terus-menerus, kita akan dihadapkan pada situasi politik yang mahal,” ujarnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi pun mengakui, banyaknya pejabat publik melakukan korupsi karena besarnya biaya politik dan sosial yang harus mereka keluarkan, dan budaya hedonistik yang mereka anut. Kondisi itu diperparah oleh sikap sebagian rakyat yang selalu meminta kepada pejabat publik.
Ongkos politik untuk menjadi bupati/wali kota dalam pilkada langsung mencapai puluhan miliar rupiah. Jumlah yang lebih besar dikeluarkan jika mereka ingin menjadi gubernur. Selama menjabat, kepala daerah itu bergaya hidup hedonis, glamour, serta memiliki gengsi yang harus lebih tinggi daripada masyarakat. Kondisi itu berkebalikan dengan sikap pejabat publik negara lain yang mampu hidup sederhana.
Di sisi lain, lanjut Hasyim, dalam masyarakat juga berkembang budaya selalu meminta kepada pejabat, baik permintaan yang wajar maupun tidak wajar, permintaan yang terkait kebutuhan publik, individu, atau kelompok.
Menurut Hasyim, pejabat publik sebenarnya juga merasa ngeri melihat banyaknya pejabat lain yang ditangkap karena korupsi. Namun, mereka sulit keluar dari ”kubangan” yang membuat mereka tetap korupsi.
Sosiolog hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, Satjipto Rahardjo, menegaskan, penanganan korupsi di negeri ini cenderung masih konvensional sehingga korupsi tetap marak. Karena itu, perlu dibuat strategi total yang progresif untuk berperang melawan korupsi. Landasan perang total itu adalah keadilan yang diamanatkan dalam UUD 1945. (SON/MAM/MZW/BUR/ RWN/APO/TRA)
Sumber: Kompas, 21 Juli 2008